Kamis, 27 April 2017

filsafat jaina lengkap

PEMBAHASAN
FILSAFAT JAINA
A.                Definisi Filsafat Jaina
Filsafat Jaina di golongkan kedalam kelompok Nastika ( Heterodok ), mengakui empat aspek kebenaran yaitu : Atman, Karma, Punarbhawa, dan Moksa. Filsafat Jaina bersifat Atheis, namun mengakui jiwa-jiwa yang bebas disebut dengan Sidhas, menekankan pada ajaran Ahimsa Karma. Jaina selain sebagai filsafat juga merupakan agama, yang masih ada namun pengikutnya yang cenderung sedikit. Jaina didirikan sebagai gerakan yang memprotes pelaksanaan ritual yang berlebihan dan menekankan pada etika terutama komitmennya terhadap konsep Ahimsa.
 Filsafat Jaina memiliki 24 Thirthankara atau pendiri keyakinan sebagai yang meneruskan ajaran-ajaran Jaina. Thirthankara I bernama Rishabadeva adalah pendiri filsafat Jaina, disini tidak banyak diketahui tentangnya. Thirthankara II sampai yang XXII tidak juga banyak diungkap dan diketahui nama dan perkembangannya. Thirthankara XXIII  bernama Parsvanatha yang hidup pada abad 9 sebelum Masehi dan Thirthankara XXIV bernama Vidharmana Mahavira. Jaina terdiri dari dua golongan diantaranya : golongan khusus ( Para Pedeta ), dipandang  sebagai yang mampu memperkokoh faham Jaina dan golongan umum yaitu masyarakat biasa yang secara material dan moral membantu eksistensitas golongan khusus.
Kitab suci Jaina diambil dari pidato-pidato, pesan-pesan keagamaan Mahavira diterima para murid secara generatif atau lisan. Pada abad ke 4 Sebelum Masehi diadakan pertemuan untuk mengumpulkan sumber-sumber ajaran Jaina, namun muncul perbedaan pemikiran. Bahasa yang dipakai dalam kepustakaan Jaina adalah Bahasa Ardha Majdi, yang kemudian diganti kedalam Bahasa Sansekerta. Jaina memiliki tujuan diantaranya : 1). Sebagai gerakan yang memprotes pelaksanaan ritual yang berlebihan dan menekankan pada etika terutama komitmennya pada ahimsa. 2). Adanya peraturan kasta yang disusun oleh golongan Brahmana. 3). Peraturan tersebut memberi keuntungan kepada golongan Brahmana akibatnya timbul gerakan sewenang-wenang dari golongan Brahmana. 4). Kesewenangan ini ditentang kaum ksatria, mesti timbul pergolakan.
Svetambara dan Dirgambara  merupakan dua sekta yang lahir karena adanya perbedaan memahami ajaran-ajaran praktek agama Jaina, namun Jaina tetap Jaina meskipun ajaran-ajarnnya ditafsirkan berbeda. Pengikut Svetambara berpakain putih melambangkan penolakan terhadap dunia materi. Pengikut Dirgambara berpakaian biru langit sebagai symbol pemutusan hubungan dengan dunia. Svetambara lebih akomodatif dari pada Dirgambara yang ekstrim. Berpakaian putih bagi sekta  Svetambara diberlakukan bagi pendeta tinggi, bukan untuk orang kebanyakan dan pendeta rendah. Sekta Dirgambara yang ekstrim mengharuskan pendeta tinggi telanjang bulat (berpakaian biru langit) mempertahankan hidup dari meminta - minta, bertapa secara sempurna, tidur hanya tiga jam, sisa waktu untuk belajar dan mengajar, dan bagi kaum wanita tidak dapat mencapai pembebasan. Karena begitu ekstrim pengikutnya pun sedikit.
B.                 Aspek Religius Jaina
Munculnya Faham Jaina sebagai protes terhadap adanya peraturan-peraturan kasta yang disusun oleh golongan Brahmana. Peraturan tersebut banyak memberi keuntungan kepada golongan Brahmana sehingga timbul gerakan sewenang-wenang bagi golongan Brahmana. Yang menentang kesewenangan itu adalah golongan Ksatria. Mesti pergolakan timbul dan demi tetap eksisnya Jaina maka sikap menghormati kaum Brahmana tetap dilakukan.Namun pemikiran religius Jaina tetap bebas dari kekuasaan Veda. Hal ini disebabkan konsep ajaran Jaina menyebutkan sebagai berikut :
1.      Rasa takut dari pengulangan kelahiran.
2.      Menjalankan kehidupan kerohanian.
3.      Tidak peduli terhadap kenikmatan dan kepedihan.
4.      Berhemat dan cermat dalam hidup.
5.      Jalannya adalah ketuhanan tetapi bukan ketuhanan Hindu.
6.      Jaina mengobati keinginannya dengan melenyapkan keinginannya sendiri, caranya dengan hidup hemat, cermat, dan melakukan pemujaan kepada roh para  Thirthankara.
C.                Godaan penciptaan kepercayaan yang salah dan perilaku buruk
Konsep ini bertitik tolak dari pemikiran Jaina tentang kesalahan yang menghiasi hidup dan kehidupan manusia. Dikatakan kalau kehidupan itu selamanya derita dan siksa tak henti-hentinya, sehingga kenikmatannya hilang. Oleh Karena itu hidup ini adalah suatu kesalahan. Kebaikan yang diharapkan manusia, namun yang diperoleh adalah keburukan siksa yang membawa kekecewaan tak henti-hentinya hingga manusia menemukan ajalnya.
Manusia lahir kembali yang diperoleh dari amalnya sendiri. Perbuatan baik pun binasa apalagi yang perbuatan jahat. Inilah roda kehidupan, tidak ada obat untuk itu kecuali manusia mencabuti kesenangannya. Tapi ada sesuatu yang membuat manusia ingin menikmati kehidupan ini. Itulah “godaan” pencipta kepercayaan  yang buruk dan kebodohan yang mencolok mata dilakukan manusia. Roh menjadi buta terhadap kegelapan yang berlapis-lapis, berjalan  tidak tentu arah, mencintai hidup dan hawa nafsu. Oleh karena itu perlu peroleh cahaya pemimpin Jaina dengan mengikuti jalan segi tiga mutiara yaitu :
1.      Etikad yang sah artinya percaya kepada pemimpin Jaina tidak terkecuali, sekali diri terlepas dari kotoran dosa yang melekat yang menghalangi sampainya roh pada etikad tersebut.
2.      Ilmu yang benar tentang alam baik dari aspek rohani maupun jasmani. Kedua aspek ini memiliki perbedaan menurut penglihatan dan kejernihan roh. Bagi mereka yang mampu memisahkan pengaruh dari kekuatan rohani dapat melihat alam dalam keadaan yang sebenarnya, tabir alam tersikap sehingga dapat membedakan antara kebenaran dan kesalahan.
3.      Berakhlak yang benar artinya bersifat dengan akhlak Jaina seperti konsisten terhadap ahimsa, tidak berbohong, mencuri, curang dan puas dengan kepunyaan sendiri. Tiga jalan ini saling berkaitan dan dipandang sebagai jalan mencapai “ Penyelamatan “.
D.                   Pandangan Jaina tentang Tuhan
Sebagai faham yang bebas dari kekuasaan Veda, Jaina  juga merupakan sejenis gerakan keagamaan yang menentang agama Hindu dan memberontak atas kekuasaan kaum Brahmana. Atas dasar ini Jaina memandang Tuhan bukan roh Yang Maha Agung. Fahamnya dikatakan sebagai agama Iihad (tidak mempercayai Tuhan), namun percaya pada roh-roh yang telah terbebaskan (Sidas). Mereka itu adalah roh para Thirthankara. Jaina tidak menerima bukti-bukti perwujudan Tuhan sebagai mana agama Hindu mewujudkannya, yang diakuinya hanyalah roh para Thirthankara. Kondisi ini memunculkan kepentingan-kepentingan negatif seperti kepercayaan korban dalam ritual seperti agama Hindu lakukan, tidak mau mengklaim keistimewaan dan kelebihan kaum Brahmana seperti yang diklaim agama Hindu.
E.                    Penyelamatan menurut Jaina
Penyelamatan adalah sebutan yang diberikan kepada siapa saja yang rohnya telah mencapai kenikmatan dan kebahagiaan yang abadi. Penyelamatan bisa dicapai bila telah terlepas dari karma, kelahiran berulang-ulang hingga seseorang menjadi suci dan kemauan untuk lahir pun tidak ada lagi. Ketika penyelamatan terjadi, maka berhentilah amal dan karma serta kehidupan yang bersifat kebendaan, yang tinggal adalah roh dalam kenikmatan kebahagiaan yang abadi. Penyelamatan itu tidak terjadi kecuali melalui tingkat kemanusiaan yang penuh dengan halangan dan kesulitan sebagaimana yang dilakukan para pendeta, seperti tidak merasa kasih, suka dan duka, takut, malu, lapar, dahaga dan ahimsa. Semua ini sangat berat dilakukan oleh orang kebanyakan. Penyelamatan adalah suatu kejayaan mendapatkan kegembiraan yang kekal abadi, tidak dikotori kepedihan, kebimbangan dan kedukaan. Bagi yang telah mencapainya dikatakan berada diatas langit.
F.                    Jaina agama yang Pasrah
Jaina sesungguhnya adalah agama yang pasrah, baik dari aspek religi maupun filosofisnya. Untuk itu yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1.      Mengakui dan menghormati kaum Brahmana yang memiliki kedudukan istimewa dan mendominasi kehidupan keagamaan dalam upacara seperti yang ada dalam agama Hindu. Ini adalah kewajiban, yang tidak berarti ada kaum Brahmana di dalam Jaina.
2.      Jaina tidak menentukan keistimewaan bagi  pendeta sebagaimana agama Hindu lakukan, kecuali para pendeta itu telah dipandang sebagai Thirthankara ( telah mencapai penyelamatan).

G.                Karma dan pengembalian roh
Menurut jaina, karma adalah sesuatu yang wujud dan bersifat kebendaan bercampur dengan roh yang seolah-olah memegang kendali. Percampuran ini diibaratkan air bercampur dengan susu. Begitulah karma berbaur dengan roh dengan demikian jadilah roh sebagai tahanan dalam kekuasaan karma. Jaina adalah filsafat dan juga agama. Dalam aspek religinya ia percaya pada karma dan kelahiran kembali yang lazim diistilahkan sebagai pengembalian roh. Untuk lepas dari cengkraman karma, diperlukan kontinyuitas kelahiran hingga suatu saat menjadi suci, dan kemauan keduniawian menjadi hilang, yang ada hanya roh yang kekal dalam kenikmatan yang abadi. Roh dikatakan jamak, terdapat roh sebanyak tubuh yang ada baik manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan serta bahkan debu sekalipun, memiliki pengetahuan dan tingkat yang berbeda. Untuk membuktikan roh diperlukan persepsi artinya ketika seseorang secara internal memahami kenikmatan, penderitaan dan kualitas-kualitas lain, maka pada saat itulah roh dipandang sebagai roh yang terbelenggu, Jiwatman memiliki badan jasmani dan dihubungkan dengan kekuatan karma sehingga kemuliaannya ternoda. Oleh karena itu Jaina menyarankan agar mengeliminasi roh / jiwatman dengan karma, mengembalikan jiwa pada kemuliaannya, bila berhasil disebut penyelamatan.
H.                Metafisika Jaina tentang alam semesta
Alam semesta tidak diciptakan atau ditopang oleh sesuatu apapun yang super natural. Alam semesta tidak berawal dan tidak berakhir, bergerak karena berkenan dengan hukum alam. Realita memiliki dua katagori yang berbeda yaitu : 1). Jiwa yang memiliki kehidupan dan kesadaran, bisa dalam keadaan terbebaskan, itu berarti jiwa memiliki pengetahuan yang sempurna kemurnian, kedamaian, dan kekuatan. Ketika dalam keadaan tidak terbebaskan / terbelenggu, ia memiliki jasmani dan dihubungkan dengan kekuatan karma, sehingga kemuliaannya yang sejati ternoda. Ibarat logam yang tidak bersinar terbungkus karat. Eliminasilah jiwa dengan karma agar ia kembali kepada kemuliaannya. 2). Ajiwa tidak memiliki kesadaran sehingga tidak ada muncul kehidupan. Ajiwa terdiri atas lima kesatuan diantaranya :
1.      Zat / matter (Pudgala) sebagai pembentuk badan jasmani dan obyek-obyek material.
2.      Ruang (Akasa).
3.      Waktu (Kala) untuk eksistensi obyek-obyek.
4.      Dharma.
5.      Adharma.
Pandangannya terhadap alam semseta berpegangan pada tiga Pramana yaitu : Persepsi ( Pratyaksa), Inferensi ( Anumana) dan Otoritas ( Sruta). Melalui Inferensi Jaina percaya dengan adanya ruang ( akasa) karena substansi-substansi material eksis dalam ruang, percaya kepada waktu karena perubahan berurut dari suatu keadaan substansi tidak dapat difahami tanpa waktu, percaya kepada dharma dan adharma karena kedua unsur ini adalah dua penyebab gerakan dan penghentian. Tanpanya penggerak dan penghentian gerakan tidak bias dijelaskan, dan obyek-obyek material tidak dapat ditentukan eksis dalam ruang dan waktu. Ruang, waktu, dharma, dan adharma adalah empat elemen dunia pisik.
Persepsi dapat dipergunakan untuk membuktikan roh dalam setiap tubuh, caranya dengan memahami eksistensi setiap tubuh hidup (kenikmatan dan penderitaan dialami roh), itu mengindikasikan roh secara langsung diketahui melalui persepsi, dapat diketahui kualitas. Jaina berpendapat kalau dunia pisik dibentuk oleh kala, akasa, dharma dana dharma. Apabila ada elemen Pudgala (matter/zat) maka keseluruhan elemen tersebut menentukan fenomena alam semesta.
I.                   Epistimologi Jaina
Inferensi dikatakan valid apabila mengikuti kaidah-kaidah yang tepat. Testimoni verbal dikatakan pengetahuan yang valid apabila memberikan laporan dari otoritas terpercaya yang diterima dari orang-orang suci yang telah terbebaskan, dan pengikut Jaina yang telah mendapatkan pengetahuan yang benar tentang ajaran-ajaran jaina. Pengetahuan diklarifikasi sebagai berikut :
1.      Pengetahuan langsung (Aparakosa).
2.      Pengetahuan antara/tidak langsung ( Parakosa).
3.      Pengetahuan salah (Samsaya/keragu-raguan).
4.      Pengetahuan Pramana adalah pengetahuan tentang sesuatu seperti apa adanya.
5.      Naya adalah pengetahuan tentang benda dalam hubungannya dengan benda lain, Naya sama dengan titik pandang atau pendapat dari mana seseorang membuat pernyataan tentang sesuatu.
Tiga jenis aparakosa yaitu : 1). Avadhi adalah kemampuan terhadap hal-hal yang tidak tampak oleh indriya, 2). Manahparyaya adalah telepati, 3). Kevala adalah kemahatahuan.
Dua jenis pengetahuan parakosa yaitu : 1). Sruta adalah pengetahuan yang diambil dari otoritas. 2). Mati adalah pengetahuan yang mencangkup pengetahuan perseptual dan inferensial. Perseptual dalam arti pengetahuan itu diperoleh melalui panca indriya. Cakupan pengetahuan yang diperoleh melalui pikiran disebut pengetahuan konseptual. Inferensial dimaksudkan pengetahuan yang diperoleh dengan menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan faktual yang diambil sebagai bukti bagi kesimpulan.
Pernyataan-pernyataan itu mengandung dua aspek yaitu : 1). Aspek deduksi adalah suatu proses menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan (premis-premis) sehingga tercapai kesimpulan yang pasti dengan aturan-aturan logika. 2). Aspek induksi adalah menarik kesimpulan tidak berdasarkan pernyataan-pernyataan (premis-premis ) menurut keharusan logika.
J.                  Tentang Roh
Percaya adanya roh yang banyak artinya terdapat roh sebanyak tubuh hidup, tidak hanya dalam manusia, binatang, tetapi juga dalam tumbuh-tumbuhan dan bahkan dalam debu sekalipun ada roh. Tidak semua roh memiliki kesadaran yang sama, karena keterbatasan pengetahuan, tenaga, dan mengalami ragam penderitaan. Setiap roh suatu saat mampu mencapai kesadaran, kebahagiaan, dan kekuatan tak terbatas. Masalahnya ia terbelenggu. Belenggu roh harus disingkirkan   dengan cara : 1). Melalui keyakinan yang sempurna terhadap keyakinan ajaran guru Jaina. 2). Memahami dan berlaku benar sesuai ajaran-ajaran Jaina ( ahimsa, mencuri, kemelekatan obyek indriya).
K.                Teori Anekantavada dan Syadvada
Bermula dari keberadaan sifat obyek material (benda), dan kemampuan manusia melihat kapasitasnya yang terbatas adalah relatif. Adalah tidak mungkin mengetahui sifat-sifat benda yang pluralistis, karena tidak ada satupun pikiran berlaku benar bagi sebuah atau banyak benda. Untuk meneropong sifat pluralistis sebuah atau banyak benda, maka dikemukakan doktrin pluralistis material, menyebutkan setiap material (benda) memiliki karakter positif dan negatif yang tak terhitung banyaknya, tidak mungkin manusia mampu mengetahui semua sifat sebuah benda, dan semua sifat semua benda. Mengetahui salah satu sifat sebuah benda merupakan suatu keberuntungan besar bagi manusia, apalagi semua sifat semua benda.
Dari aspek metafisika realitas (eksistensi sebuah benda) yang mempunyai karakter yang tidak terhitung jumlahnya itulah disebut anekantavada atau realitas pluralistis, mengetengahkan tentang material, spirit, dan atom-atom. Tiga elemen ini dipandang sebagai realitas independen dan terpisah. Realitasnya sebuah benda memiliki karakter jamak. Pluralistisnya roh jamak masing-masing memiliki aspek diri yang tak terhitung, dan atom-atom material juga tak terhitung jumlahnya. Dari aspek logika dan epistimologi, manusia hanya mampu mengetahui beberapa aspek saja dari realitas (objek benda), oleh karena itu keputusan yang diambil ketika berhadapan dengan realitas itu relatif (Syadvada) atau Sapta Bhangi Naya artinya teori tujuh tahapan keputusan. Keputusan yang diambil relatif yaitu :
1.      Syadasti artinya secara relatif sebuah benda riil.
2.      Syanasti artinya secara relatif sebuah benda tidak riil.
3.      Syadasti Nasti artinya secara relatif sebuah benda riil dan tidak riil.
4.      Sydavaktavyam artinya secara relatif sebuah benda tidak bisa dijelaskan.
5.      Syadasti cah avaktavyam artinya secara relatif sebuah benda riil dan tidak riil dapat dijelaskan.
6.      Syannasti cah avaktavyam artinya secara relatif sebuah benda tidak riil bisa dijelaskan
7.      Syadasti cah nasti avaktavyam artinya secara relatif sebuah benda riil dan tidak riil tidak bias dijelaskan.
L.                 Disiplin jaina
1.      Ketat, kaku, dan fanatic.
2.      Lima disiplin ( Maha vrta) dalam kehidupan kependetaan harus dilaksanakan yaitu ahimsa, satya (kebenaran dalam pikiran), asetya (tidak mencuri), Brahmacari ( melakukan pikiran,perkataan dan laksana yang baik ), aparigraha ( melekatkan pikiran, perkataan dan perbutan yang baik).
3.      Disiplin untuk masyarakat umum (anu vrta/sumpah kecil), pelaksanaannya  bisa dimodifikasi dan disederhanakan.












KESIMPULAN
Filsafat Jaina di golongkan kedalam kelompok Nastika ( Heterodok ), mengakui empat aspek kebenaran yaitu : Atman, Karma, Punarbhawa, dan Moksa. Filsafat Jaina bersifat Atheis, namun mengakui jiwa-jiwa yang bebas disebut dengan Sidhas. Filsafat Jaina memiliki 24 Thirthankara atau pendiri keyakinan sebagai yang meneruskan ajaran-ajaran Jaina, Svetambara dan Dirgambara  merupakan dua sekta yang lahir karena adanya perbedaan memahami ajaran-ajaran praktek agama Jaina, namun Jaina tetap Jaina meskipun ajaran-ajarnnya ditafsirkan berbeda.
Konsep ajaran Jaina menyebutkan sebagai berikut :
1.      Rasa takut dari pengulangan kelahiran.
2.      Menjalankan kehidupan kerohanian.
3.      Tidak peduli terhadap kenikmatan dan kepedihan.
4.      Berhemat dan cermat dalam hidup.
5.      Jalannya adalah ketuhanan tetapi bukan ketuhanan Hindu.
6.      Jaina mengobati keinginannya dengan melenyapkan keinginannya sendiri, caranya dengan hidup hemat, cermat, dan melakukan pemujaan kepada roh para  Thirthankara.
Jalan segi tiga mutiara yaitu :
1.      Etikad yang sah artinya percaya kepada pemimpin Jaina tidak terkecuali, sekali diri terlepas dari kotoran dosa yang melekat yang menghalangi sampainya roh pada etikad tersebut.
2.      Ilmu yang benar tentang alam baik dari aspek rohani maupun jasmani. Kedua aspek ini memiliki perbedaan menurut penglihatan dan kejernihan roh. Bagi mereka yang mampu memisahkan pengaruh dari kekuatan rohani dapat melihat alam dalam keadaan yang sebenarnya, tabir alam tersikap sehingga dapat membedakan antara kebenaran dan kesalahan.
3.      Berakhlak yang benar artinya bersifat dengan akhlak Jaina seperti konsisten terhadap ahimsa, tidak berbohong, mencuri, curang dan puas dengan kepunyaan sendiri. Tiga jalan ini saling berkaitan dan dipandang sebagai jalan mencapai “ Penyelamatan “.
Pandangannya terhadap alam semseta berpegangan pada tiga Pramana yaitu : Persepsi ( Pratyaksa), Inferensi ( Anumana) dan Otoritas ( Sruta).
Pengetahuan diklarifikasi sebagai berikut :
1.      Pengetahuan langsung (Aparakosa).
2.      Pengetahuan antara/tidak langsung ( Parakosa).
3.      Pengetahuan salah (Samsaya/keragu-raguan).
4.      Pengetahuan Pramana adalah pengetahuan tentang sesuatu seperti apa adanya.
5.      Naya adalah pengetahuan tentang benda dalam hubungannya dengan benda lain, Naya sama dengan titik pandang atau pendapat dari mana seseorang membuat pernyataan tentang sesuatu.













Daftar Pustaka
Maswinara I Wayan.2006.Sistem Filsafat Hindu.Sarva Darsana Samgraha.Surabaya.Paramitha.

Sumawa, I Wayan dan Tjokorda Raka Krisnu. 1996. Materi Pokok Darsana. Universitas Terbuka : Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar