Kamis, 27 April 2017

Sāṁkhya Darśana

BAB I
PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang
Kata Tattva berasal dari bahasa Sansekerta “Tat” yang artinya itu,yang maksudnya adalah hakekat atau kebenaran (Thatnees). Dalam sumber lainya kata Tattva juga berarti falsafah (Filsafat agama). Maksudnya adalah ilmu yang mempelajari kebenaran sedalam-dalamnya (sebenarnya) tentang sesuatu seperti mencari kebenaran tentang Tuhan, tentang atma serta yang lainya. Sampai pada proses kepada kebenaran tentang reinkarnasi dan karmapala.) Dalam ajaran Tattva, kebenaran yang dicari adalah hakekat Brahman (Tuhan) dan segala sesuatu yang terkait dengan kemahakuasaan Tuhan, seperti yang disebutkan dalam buku Theologi Hindu, kata Tattva berarti hakekat tentang Tat atau Itu (yaitu Tuhan dalam bentuk Nirguṇa  Brahman ). Pengguna an kata Tat sebagai kata yang artinya Tuhan, adalah untuk menunjukan kepada Tuhan yang jauh dengan manusia. Kata “Itu“ dibedakan dengan kata “ Idam “ yang artinya menunjuk pada kata benda yang dekat (pada semua ciptaan Tuhan). Definisi di atas berdasarkan pada pengertian bahwa Tuhan atau Brahman adalah asal segala yang ada, Brahman merupakan primacosa yang adanya bersifat mutlak. Karena sumber atas semua yang ada, tanpa ada Brahman maka tidak mungkin semuanya ada.
Tattva juga dapat diartikan kebenaran yang sejati dan hakiki. Penggunaan kata Tattva ini sebagai istilah filsafat didasarkan atas tujuan yang hendak dicapai, oleh filsafat itu yakni kebenaran yang tertinggi dan hakiki. Didalam lontar-lontar di Bali kata Tattva inilah lebih sering diguṇakan jika dibandingkan dengan ke tiga istilah filsafat yang lainya, pendidikan, tempat suci, upacara yajňa, adat istiadat dan lainya, semua itu merupaka konsep dasar atau inti sarinya adalah Tattva. Dengan pengertian tersebut di atas maka dapat diartikan bahwa Tattva adalah suatu istilah filsafat agama yang diartikan kebenaran yang sejati dan hakiki yang didasari perenungan yang betul –betul memerlukan pemikiran yang cemerlang agar sampai kepada hakekat dan sifat kodrati
Ajaran Hindu kaya akan Tattva atau dalam ilmu modern disebut filsafat, secara khusus filsafat disebut Darśana. Dalam perkembangan agama Hindu atau kebudayaan Veda terdapat Sembilan cabang filsafat yang disebut Nawa Darśana. Pada masa  Upaniṣad, akhirnya filsafat dalam kebudayaan Veda dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu astika (kelompok yang mengakui Veda sebagai ajaran tertinggi) dan nastika (kelompok yang tidak mengakui Veda ajaran tertinggi ). Terdapat enam cabang filsafat yang mengakui veda yang disebut Ṣaḍ Darśana (Nyāyā, Sāṁkya, Yoga, Mīmāmsā, Vaisiseka, dan Vedānta) dan tiga cabang filsafat yang menentang Veda yaitu Jaina, Carvaka dan Buddha (agama Buddha).
Darśana merupakan bagian penulisan Hindu yang memerlukan kecerdasan yang tajam, penalaran serta perasaan, karena masalah pokok yang dibahasnya merupakan inti sari pemahaman Veda secara menyeluruh di bidang filsafat. Filsafat merupakan aspek rasional dari agama dan merupakan satu bagian integral dari agama. Nama atau istilah lain dari Darśana tersebut adalah; Mananaśāstra (pemikiran atau renungan filsafat), Vicaraśāstra (menyelidiki tentang kebenaran filsafat), tarka (spekulasi), Śraddhā (keyakinan atau keimanan).
Filsafat juga merupakan pencarian rasional ke dalam sifat Kebenaran atau Realitas, yang juga memberikan pemecahan yang jelas dalam mengemukakan permasalahan-permasalahan yang lembut dari kehidupan ini, di mana ia juga menunjukan jalan untuk mendapatkan pembebasan abadi dari penderitaan akibat kelahiran dan kematian. Filsafat bermula dari keperluan praktis umat manusia yang menginginkan untuk mengetahui masalah-masalah transcendental ketika ia berada dalam perenungan tentang hakekat kehidupan itu sendiri. Ada dorongan dalam dirinya untuk mengetahui rahasia kematian, rahasia kekekalan, sifat dari Jīva (roh), sang pencipta alam semesta ini. Dalam hal ini filsafat dapat membantu untuk mengetahu semua permasalahan ini, karena filsafat merupakan ekpresi diri dari pertumbuhan jiwa manusia, sedangkan filsuf adalah wujud lahiriahnya. Para pemikir kreatif dan para filsuf merupakan wujud muncul pada setiap jaman dan mereka mengangkat dan mengilhami umat manusia.
Pemikiran tentang kematian, selalu menjadi daya penggerak yang paling kuat dari ajaran agama dan kehidupan keagamaan. Manusia takut akan kematian dan tidak menginginkan untuk mati. Inilah yang merupakan titik awal dari filsafat, karena filsafat mencari dan menyelidiki. Pemahaman yang jelas dari manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, merupakan masalah yang sangat penting bagi para pelajar filsafat dan bagi para calon spiritual (sādhaka) sehingga berbagai aliran filsafat dan bermacam-macam aliran kepercayaan keagamaan yang berbeda telah muncul dan berkembang dalam kehidupan umat manusia.
Filsafat Hindu bukan hanya merupakan spekulasi atau dugaan belaka, namun ia memiliki nilai yang sangat luhur, mulia, khas, dan sistematis, yang didasarkan atas pengalaman spiritual mistis yang dikenal sebagai Aparokṣa Anubhūti. Para pengamat spiritual, para orang bijak, dan para Ṛṣi yang telah mengarahkan persepsi intuitif dari Kebenaran, adalah para pendiri dari berbagai sistem filsafat yang berbeda-beda, yang secara langsung maupun tidak langsung mendasarkan semuanya pada Veda. Mereka yang telah mempelajari kitab-kitab Upaniṣhad secara tekun dan hati-hati akan menemukan keselarasan antara wahyu-wahyu Śruti dengan kesimpulan filsafat. Ṣaḍ Darśana yang merupakan enam sistem filsafat Hindu, merupakan enam sarana pengajaran yang benar atau enam cara pembuktian kebenaran. Masing-masing kelompok telah mengembangkan, mensistematisir, serta menghubungkan berbagai bagian dari veda, dengan caranya masing-masing, sehingga masing-masing kelompok aliran filsafat tersebut memiliki seorang atau beberapa orang Sūtrakāra, yaitu penyusun doktrin-doktrin, dalam ungkapan-ungkapan pendek (aphorisma) yang disebut Sūtra.
Di dalam makalah ini kami akan membahas lebih mendalam mengenai Sankhya Darsana sebagai salah satu bagian dari filsafat hindu.

1.2  Rumusan Masalah
            1. Apakah Sad Darsana itu ?
2. Apakah Pengertian Sankhya Darsana ?     

1.3  Tujuan Penulisan
            1. Mengetahui apa itu Sad Darsana.
            2. Mengetahui Pengertian sankhya Darsana.

1.4    Manfaat Penulisan
      Ada banyak manfaat yang baik dari pembuatan makalah. Jika tidak ada manfaatnya maka tentu saja Sekolah atau instansi sejenisnya tidak akan menuntutnya. Beberapa manfaat antara lain :
1.      Melatih kreatifitas mahasiswa dalam menuangkan gagasan pemikirannya (ide-idenya) tentang suatu kajian atau topik dari ilmu-ilmu yang sudah didalami. Di sini secara tidak langsung penulis juga dilatih untuk menerapkan kemampuan berpikir secara logis-sistematis.
2.      Makalah ini, bukan hanya berguna bagi penulis saja tetapi juga sebagai bahan referensi ilmiah dan sumbangan pengetahuan bagi sekolah, bagi para pembaca tentang apa yang disumbangkan lewat ide penulis melalui makalah tersebut.
3.      Sebagai tuntutan akademik bagi para akademisi yang ingin berpetualang terus dalam dunia pengetahuan dan pendidikan. Dengan hasil makalah, penulis dilatih secara khusus untuk terbiasa menulis atau mengolah sesuatu yang menjadi obyek tulisan.
4.      Melatih berpikir tertib dan teratur karena menulis makalah harus mengikuti tata cara penulisan yang sudah ditentukan prosedur tertentu, metode dan teknik, aturan / kaidah standar, disajikan teratur, runtun dan tertib.
5.      Menumbuhkan etos ilmiah di kalangan mahasiswa, sehingga tidak hanya menjadi konsumen ilmu pengetahuan, tetapi juga mampu menjadi penghasil (produsen) pemikiran dan karya tulis dalam bidang ilmu pengetahuan.






BAB II
PEMBAHASAN
2.1.     Ṣaḍ Darśana
Kata Darśana berasal dari urat kata dṛś yang artinya melihat, menjadi kata Darśana (kata benda) artinya pengelihatan atau pandangan. Kata Darśana dalam hubungan ini berarti pandangan tentang kebenaran (filsafat). Ilmu Filsafat adalah sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana caranya mengungkapkan nilai-nilai kebenaran hakiki yang dijadikan landasan untuk hidup yang dicita-citakan. Demikian halnya ilmu filsafat yang ada di dalam ajaran Hindu yang juga disebut dengan Darśana, semuanya berusaha untuk mengungkapkan tentang nilai-nilai kebenaran dengan bersumber pada kitab suci Veda. Aliran atau sistem filsafat India dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu āstika dan nāstika. Kelompok pertama terdiri atas enam sistem filosofis utama yang secara populer dikenal sebagai Ṣaḍ Darśana yang dikenal dengan aliran orthodox, nukan karena mereka mempercayai adanya Tuhan, tetapi karena mereka menerima otoritas dari kitab-kitab Veda.
Sebagai catatan, dalam bahasa India modern, kata āstika dan nāstika umumnya berarti theis dan atheis, tetapi dalam kepustakaan filosofis Sanskṛta, kata āstika berarti ‘orang yang mempercayai otoritas kitab-kitab Veda, atau orang yang mempercayai kehidupan setelah kematian’, sedangkan kata nāstika berarti lawannya. Disini, kata tersebut diperguṇa kan dalam pengertian pertama karena dalam pengertian yang kedua, aliran filsafat Jaina dan Buddha pun adalah āstika, karena mereka percaya mempercayai kehidupan setelah kematian. Dalam kedua pengertian di atas, ke enam aliran filsafat orthodox adalah āstika dan aliran filsafat Cārvāka sebagai nāstika. Pada uraian berikut akan diuaraikan tentang aliran filsafat orthodox (Ṣaḍ Darśana) terutama mengenai Sankhya Darsana.

2.2.     Sāṁkhya Darśana
a. Pendiri dan pokok ajarannya
Sāṁkhya kata berasal dari kata Sanskṛta 'Sāṁkhya' (pencacahan, perhitungan). Dalam Filsafat, pencacahan akurat dari kebenaran telah ditentukan. Akibatnya, Filsafat ini bernama 'Sāṁkhya'. Mungkin ada alasan lain adalah bahwa salah satu arti dari 'Sāṁkhya' adalah musyawarah atau refleksi atas hal-hal yang berkaitan dengan kebenaran. Filsafat ini mengandung musyawarah tersebut dan kontemplasi atas kebenaran. Dalam Persepsi Filsafat, Pratyaksh (persepsi langsung melalui Rasa-Organ), Anumān (Inferensi atau kognisi mengikuti beberapa Pengetahuan lainnya), dan Śhabda (Kesaksian Verbal) adalah tiga pramānā yang diterima (sumber pengetahuan yang sah atau metode mengetahui benar). Misalnya, Nyāyikās (Pengikut Filsafat Nyāya) telah menerima empat Pramānā, para Mimāsakās (Pengikut Filsafats Mimāsa) telah menerima enam pramānā. Demikian pula, di Filsafat Sāṁkhya, tiga Pramānā telah diterimanya. Pendiri dari sistem filsafat ini adalah Śrī Kapila Muni, yang dikatakan sebagai putra Brahma dan Avatāra dari Viṣṇu. Pada sistem Sāṁkhya tak ada penyelidikan secara analitik ke dalam alam semesta, seperti keberadaan yang sesungguhnya yang merupakan susunan menurut topic-topik dan kategori-kategori, namun terdapat suatu sistem tiruan yang diawali dari satu Tattva atau prinsip mula-mula atau Prakṛti, yang berkembang atau yang menghasilkan (Prakaroti) sesuatu yang lain.
Didirikan oleh Mahaṛṣi Kapila Muni, ini adalah Filsafat yang paling kuno. Filsafat ini di bangun oleh ṛṣi Kapila. Sebuah teks yang ditulis oleh Ishwar Krishna disebut 'Sānkhyakārika' adalah sumber terpercaya prinsip pengetahuan dalam Filsafat ini. Hal ini ditulis dalam Aryan Chand (sejenis puisi Sanskṛta kuno) dan berisi 72 Karikas (koleksi memorial ayat tentang topik filosofis) yang menerjemahkan Sāṁkhya Siddhant (Doktrin Sāṁkhya) yang  jelas dan eksplisit. Para ahli merasa bahwa beberapa orang mungkin telah belajar menulis Sāṁkhya Sūtra dan Sūtra Sānkhyasamās dalam nama ṛṣi Kapila. Hal ini karena tidak ada menyebutkan bahwa dua teks tersebut ditulis 1500 SM. Oleh karena itu, apa pun pengetahuan yang kita dapat dari Ajaran Sāṁkhya sekarang didasarkan pada Sāṁkhya Karikas. Ajaran Sāṁkhya merupakan filsafat yang menerima 24 Kebenaran dari Prakṛti (Alam benda) dan 25 kebenaran Puruṣa (Jiwa).



b. Konsep Puruṣa dan Prakṛti           
Seperti yang telah disinggung di atas, Sāṁkhya memperguṇa kan 3 sistem atau cara mencari pengetahuan dan kebenaran, yaitu: Pratyakṣa (pengamatan langsung), Anumāṇa (penyimpulan), dan Apta Vākya (penegasan yang benar). Kata Apta artinya ‘pantas’ atau ‘benar’ yang ditunjukkan kepada wahyu-wahyu Veda atau guru-guru yang mendapatkan wahyu. Sistem Sāṁkhya umumnya dipelajari setelah sistem Nyāya, karena ia merupakan sistem filsafat yang hebat, dimana para filsuf barat juga sangat mengaguminya, karena secara pasti ia menekankan pluralitas dan dualitas, karena mengajarkan bahwa ada Puruṣa atau roh yang banyak sekali. Sāṁkhya menyangkal bahwa suatu benda dapat dihasilkan melalui ketiadaan. Prakṛti dan Puruṣa adalan Anādi (tanpa awal) dan Ananta (tanpa akhir;tak terbatas). Ketidak berbedaan (Aviveka) antara keduanya merupakan penyebab adanya kelahiran dan kematian. Perbedaan antara Prakṛti dan Puruṣa memberikan Mukti (pembebasan). Baik Prakṛti maupun Puruṣa adalah Sat (nyata). Puruṣa bersifat Asaṅga (tak terikat) dan merupakan keṢaḍaran yang meresapi segalanya dan abadi. Prakṛti merupakan si pelaku dan si penikmat, yang tersusun dari asas materi dan rohani yang memiliki atau terpengaruh oleh 3 Guṇa atau sifat, yaitu Sattvam, Rājas dan Tamas. Prakṛti artinya ‘yang mula-mula’, yang mendahului dari apa yang dibuat dan berasal dari kata”Pra”(sebelum), dan “Kri” (membuat yang mirip dengan Māyā dan Vedānta. Prakṛti merupakan sumber dari alam semesta dan ia juga disebut Pradhāna (pokok), karena semua akibat ditemukan padanya dan juga merupakan sumber dari segala benda.
            Pradhāna dan Prakṛti adalah kekal, meresapi segalanya, tak dapat digerakkan dan cma satu adanya. Ia tak memiliki sebab tapi merupakan sebab dari suatu akibat. Prakṛti hanya bergantung dari pada aktivitas dari unsure pokok Guṇa-nya sendiri. Ke-3 Guṇa tersebut tak pernah dan saling menunjang satu sama lainnya, serta saling bercampur. Ia membentuk substansi Prakṛti. Akibat dari pertemuan antara Puruṣa dan Prakṛti timbullah ketidak seimbangan tri guṇa tersebut yang menimbulkan evolusi atau perwujudan. Prakṛti berkembang dibawah pengaruh Puruṣa. produk awal dari evolusi Prakṛti adalah Mahat atau Kecerdasan Utama, yang merupakan penyebab alam semesta dan selanjutnya muncul Buddhi dan Ahaṁkāra. Dari Ahaṁkāra muncul Manas atau pikiran, yang membawa perintah-perintah dari kehendak melalui organ-organ kegiatan (Karma Indriya).
            Sattvam merupakan keseimbangan, sehingga apabila Sattvam lebih berpengaruh, terjadilah kedamaian atau ketenangan. Rājas merupakan aktifitas, yang dinyatakan sebagai Rāga-Dveṣa, yaitu suka atau tidak suka, cinta atau benci, menarik atau memuakkan. Tamas merupakan belenggu dengan kecenderungan dengan kelesuan, kemalasan, dan kegiatan yang dungu atau bodoh, yang menyebabkan khayalan atau Aviveka (tanpa perbedaan). Sāṁkhya menerima teori pengembangan dan penyusutan, di mana sebab dan akibat merupakan keadaan yang belum berkembang dan pengembangan dari suatu substansi yang sama. Gambaran sentral dari filsafat Sāṁkhya adalah bahwa akibat benar-benar ada sebelumnya di dalam penyebab, seperti seluruh keberadaan pepohonan yang dalam keadaan terpendam atau tertidur dalam benih (biji), demikian pula seluruh alam raya ini ada dalam keadaan tertidur dalam Prakṛti, yaitu Avyakṛta (tak terbedakan).
            Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang proses pengembangan dan penyusutan, Sāṁkhya menguraikannya sebagai berikut : Dari pertemuan antara Puruṣa dan Prakṛti, timbullah Mahat (yang agung), yang merupakan benih alam semesta, di mana segi psikologinya disebut sebagai Buddhi, yang memiliki sifat-sifat kebajikan, pengetahuan, tidak bernafsu. Perbedaan antara Mahat dan Buddhi adalah, Mahat merupakan asas kosmis sedangkan Buddhi merupakan asas kejiwaan (merupakan unsur kejiwaan tertinggi). Dari Buddhi timbullah Ahaṁkāra yang merupakan asas individuasi atau asas keakuan, yang menyebabkan segala sesuatu memiliki latar belakang sendiri-sendiri.
Perkembangan kejiawaan yang pertama adalah Ahaṁkāra adalah Manas yang merupakan pusat indra yang bekerja sama dengan indra-indra yang lain mengamati kenyataan di luar badan manusia. Tugas Manas adalah untuk menkoordinir rangsangan-rangsangan indra, dan mengaturnya sehingga menjadi petunjuk  dan meneruskannya kepada Ahaṁkāra dan Buddhi.sebaliknya Manas juga bertugas meneruskan putusan kehendak Buddhi  kepada peralatan indra yang lebih rendah. Buddhi, Ahaṁkāra dan Manas secara bersama-sama disebut sebagai peralatan bhatin atau Antaḥkaraṇa.
Perkembangan kejiwaan yang kedua adalah Pañca Indra persepsi (Buddhendriya atau Jñānendriya), yaitu :
1)      Pengelihatan
2)      Pendengaran
3)      Penciuman
4)      Perabaan, dan
5)      Perasa
Perkembangan kejiwaan yang ketiga disebut sebagai Karmendriya atau organ penggerak, yaitu :
1)      Daya untuk berbicara
2)      Daya untuk memegang
3)      Daya untuk berjalan
4)      Daya untuk membuang kotoran, dan
5)      Daya untuk mengeluarkan benih

Perkembangan fisik menghasilkan asas dunia luar, yang disebut 5 unsur dan perkembangan melalui 2 tahapan, yaitu :
1)      Pada tahap pertama, berbentuk unsure halus (Pañca Tanmātra) yaitu: sari suara, sari raba, sari warna, sari rasa dan sari bau.
2)      Pada tahapan kedua terjadi kombinasi dari unsur-unsur halus yang menimbulkan unsure-unsur kasar yang disebut pañca mahābhūta, yaitu :
a)      Ākāśa (ether, ruang)
b)      Vāyu (udara)
c)      Agni atau Tejah (api/panas)
d)      Āpah (air), dan
e)      Pṛthivī (tanah).

c.  Tri Guṇa
Prakṛti dibangun oleh guṇa yaitu, Sattva, Rājas, dan Tamas. Guṇa artinya unsur, atau komponen penyusunan. Guṇa itu tidak dapat kita amati dengan indra. Adanya itu disimpulkan atas obyek dunia ini yang merupakan akibat dari padanya. Karena adanya kesamaan azas antara akibat dan sebab, maka dapat kita ketahui sifat-sifat Guṇa itu dari alam yang merupakan wujud hasil dari padanya. Semua obyek dunia ini memiliki tiga sifat yaitu sifat-sifat yang menimbulkan rasa senang. Susah dan netral. Nyanyian burung yang menyenangkan seorang seniman, menyusahkan orang sakit, tak berpengaruh apapun untuk orang yang acuh. Sebab semua sifat ini merupakan akibat suatu sebab, maka sifat-sifat itu haruslah terkandung dalam Sattva, Rājas dan Tamas itu.
1)      Sattva adalah suatu Prakṛti yang merupakan alam kesenangan yang ringan, yang tenang bercahaya. Wujudnya berupa keṢaḍaran sifat ringan yang menimbulkan gerak keatas, angin dan air di udara dan semua bentuk kesenangan seperti kepuasan, kegirangan dan sebagainya.
2)      Rājas adalah unsur gerak pada benda-benda ini. Ia selalu gerak dan menyebabkan benda-benda ini bergerak. Ialah menyebabkan api berkobar, angin berhembus, pikiran berkeliaran kesaana kemari. Ialah yang menggerakan Sattva dan Tamas untuk melaksanakan tugasnya.
3)      Tamas adalah unsur yang menyebabkan sesuatu menjadi pasip dan bersifat negatif. Ia bersifat keras, menentang aktifitas menahan gerak pikiran hingga menimbulkan kegelapan, kebodohan sehingga mengantar orang pada kebingungan. Karena menentang aktifitas menyebabkan orang menjadi malas, acuh tak acuh, tidur.

Ketiga guṇa ini tidak dapat dipisahkan satu sama lainya karena masing-masing saling mengsuport yang lain sebagai satu kesatuan. Ibaratkan “lampu minyak” yang terdiri dari unsur nyala, unsur minyak dan unsur lampunya, yang secara sendiri-sendiri tidak akan dapat berfungsi. Dalam kaitan dengan konsep penciptaan, pemeliharaan dan peniadaan, Sattva adalah penciptaan, Rājas adalah pemeliharaan dan Tamas adalah peniadaan. Prakṛti dicirikan oleh adanya tiga guṇa diatas. Kata guṇa artinya adalah kualitas atau sifat dari Prakṛti, tetapi tidak sekedar aspek permukaan dari alam materiil ini, tapi hakekat intrinsik dari Prakṛti. Guṇa itu selalu berubah dari dalam dirinya sendiri walaupun dalam keadaan keseimbangan, hanya saja ia tidak menghasilkan apapun sepanjang keseimbangan tidak terganggu. Bila keseimbangan terganggu maka guṇa dalam situasi Guṇaksobha, dimana masing-masing guṇa beraksi satu sama lainnya yang disebabkan karena salah satu guṇa secara dominan tampil walaupun tidak meniadakan guṇa lainnya, dalam benda-benda material yang diam atau yang tidak bergerak maka yang dominan adalah Tamas Guṇa dibangdingkan dengan  dua guṇa lainnya. Dalam sesuatu ang bergerak maka Rājas Guṇa dominan dari pada dua guṇa lainnya. Demikianlah guṇa itu bekerja bersama-sama dalam membentuk alam semesta ini. Guṇa-Guṇa itu dapat di mengerti dari fakta berupa ciri-ciri dari dunia materiil ini, baik secara eksternal maupun secara internal, baik itu berupa unsur fisik atau pikiran, yang semanya itu memiliki kemampuan dalam menghasilkan kesenangan, penderitaan atau seimbang tidak keduanya. Suatu objek yang sama barangkali menyenangkan seseorang tapi menyakiti bagi yang lainnya atau sama sekali tidak keduanya itu. Seorang wanita yang cantik akan sangat menarik bagi pacarnya, tapi akan menyakitkan wanita lainnya yang juga tertarik pada laki-laki pacar wanita cantik itu, dan tidak ada apa-apanya bagi orang lain yang tidak terlibat ”kecantikan” dari wanita itu, menunjukkan adanya hubungan dengan orang-orang lainnya disekitarnya, yang muncul dari guṇa yang ada pada dunia ini. Dari contoh ini kita akan dibantu dalam memahami bagaimana asal-usul dari semua fenomena Prakṛti yang memiliki ciri-ciri yang dapat kita temukan. Pada obyek-obyek dunia ini. Prakṛti dan produk-produk yang dihasilkannya membutuhkan guṇa tersebut karena, Prakṛti dan produknya tidak mempunyai kekuatan untuk membedakan dirinya dengan Puruṣa. Mereka adalah Objek sedangkan Puruṣa adalah Subyek. Filsafat Sāṁkhya menyatakan bahwa keseluruhan alam semesta ini berkembang dari Guṇa, dimana dalam keadaan ketiga Guṇa itu seimbang alami disebut Prakṛti dan dalam keadaan tidak seimbang disebut sebagai Vikṛti, yaitu keadaan yang heterogen. Tiga Guṇa ini oleh filsuf Sāṁkhya yang beraliran nonteistik dinyatakan sebagai penyebab terakhir dari aktifitas dan Tamas adalah berat dan gelap, lesu atau menutupi. Guṇa itu tidak berbentuk dan selalu ada (omnipresent) yang dalam keadaan seimbang menyerahkan sifat-sifatnya kedalam yang satu dengan yang lainnya. Dalam keadaan tidak seimbang, Rājas dikatakan sebagai pusat dari Sattva dan Tamas, yang menghasilkan penciptaan karena memanifestasikan dirinya dengan demikian Rājas menghasilkan pasangan-pasangan yang berlawanan. sebaliknya Rājas juga tergantung dari Sattva dan Tamas, karena aktifitas tidakakan terjadi tanpa adanya obyek di mana ia beraktifitas. Dalam keadaan memanifestasikan diri, salah satu guṇa mendominasi dua guṇa lainnya, tetapi tidak pernah terjadi secara sepenuhnya terpisah atau absen satu sama lainnya karena secara keseimbangan mereka bereaksi antara satu dengan yang lainnya. Dengan pengaruh Rājas maka kekuatan Sattvika maka kecepatan yang tinggi dan unit kekuatan itu terpecah menjadi bagian-bagian. Dalam tahapan tertentu barang kali percepatan berkurang dan mereka mulai mendekat dan mendekat satu sama lainnya. Kontraksi dari kekuatan Sattvika maka akan terbentuk Tamas, dan dalam waktu yang bersamaan dorongan dari kekuatan aktif (Rājas) juga terjadi pada Tamas dan dalam kontraksi itu terjadilah ekspansi yang cepat. Dengan demikian guṇa itu secara terus menerus merubah keunggulan mereka mengatasi yang lainnya. Keunggulan Sattva dari Tamas dan sebaliknya, keunggulan Sattva pada Tamas terjadi secara bersamaan dalam proses tersebut, dan pergantiian itu terjadi pada setiap saat. Sattva dan Tamas dan dalam penampakannya merupakan terang dan tidak berbobot sedang yang lain merupakan gelap dan berat. Tapi pasangan ini bekerja secara bersama-sama dalam penciptaan dan peleburan seperti halnya benda-benda bergerak dari yang halus. Ekspansi kekuatan energi yang tertimbun dalam bentuk-bentuk yang halus, darimana ia memanifestasikan dari dalam bentuk keseimbangan yang baru. Keseimbangan yang sifatnya relatif ini merupakan suatu tahapan tertentu dari proses evolusi itu sendiri. Memang kelihatannya ada suatu konflik yang berkesinambungan antara Guṇa itu, tapi sesungguhnya ada kerjasama yang sempurna selama proses penciptaan oleh karena lewat interaksi yang berkesinambungan itulah aliran kosmis dan kehidupan individual terus berlangsung. Guṇa itu memiliki peranan yang sama dalam tubuh dan pikian manusia sepertihalnya yang terjadi pada alam semesta secara keseluruhan.

d.  Evolusi alam semesta.
      Prakṛti akan mengembang menjadi alam ini bila berhubungan dengan Puruṣa. Melalui perhubungan ini Prakṛti dipengaruhi oleh Puruṣa seperti halnya anggota badan kita dapat bergerak karena hadirnya pikiran. Evolusi alam semesta tidak mungkin terjadi hanya karena Puruṣa, karena ia bersifat pasif. Tidak juga hal itu dapat terjadi karena ia tanpa kesadaran. Hanya karena perhubungan Puruṣa dan Prakṛti ini adalah seperti kerja sama orang lumpuh dengan orang buta untuk dapat keluar hutan. Mereka bekarja sama untuk mencapai tujuannya.
      Hubungan antara Puruṣa dan Prakṛti menyebabkan terganggunya keseimbangan dalam Tri Guṇa. Yang mula-mula tergantung ialah Rājas yang menyebabkan Guṇa yang lain ikut terguncang pula. Masing-masing Guṇa itu berusaha mengatasi kekuatan Guṇa lainnya. Maka terjadilah pemisah dan penyatuan Tri Guṇa itu yang menyebabkan munculnya obyek yang kedua ini. Yang pertama terjadi dari Prakṛti ialah Mahat dan Buddhi. Mahat adalah benih besar alam semesta ini sedangkan Buddhi adalah unsur intelek.
Fungsi buddhi ialah untuk memberikan pertimbangan dan memutuskan segala apa yang datang dari alat-alat yang lebih rendah dari padanya. Dalam keadaannya yang murni ia bersifat dharma, jñana, vāiragya dan aiṣarya yaitu kebijakan, pengetahuan, tidak bernafsu dan ketuhanan. Ia berada amat dekat dengan roh. Ahaṁkāra atau rasa aku adalah hasil Prakṛti yang kedua. Ia langsung timbul dari mahat dan merupakan manifestasi pertama dari mahat. Fungsi Ahaṁkāra ialah merasakan rasa aku. Dengan Ahaṁkāra sang diri merasa dirinya yang bertindak, yang ingin, yang bermilik.
            Ada tiga macam Ahaṁkāra sesuai dengan Guṇa mana yang lebih unggul dalam keinginan itu. Ahaṁkāra itu disebut sattvika bila unsur Sattvam yang unggul, Rājasa bila Rājas yang unggul dan Tamasa bila Tamas yang unggul. Dari Sattvika timbullah pañca jñanendriya, pañca karmendriya dan manas. Dari Tamasa lahirlah pañca tanmātra sedangkan Rājasa memberikan tenaga baik pada Sattvika maupun Tamasa untuk merubah mana berfungsi menuntun alat-alat tubuh untuk mengetahui dan bertindak.
            Pañca tanmātra adalah sari-sari benih suara, sentuhan, warna, rasa dan bau. Semuanya ini hanya diketahui orang akibat yang ditimbulkannya, sedangkan ia sendiri tidak dapat dikenal karena amat halusnya. Dari semua anasir kasar itu berkembanglah alam semesta ini dengan segala isinya, namun perkembangan ini tidak menimbulkan azas-azas baru lagi seperti perkembangan Mahat. Alam semesta ini dengan segala isinya, namun perkembangan Mahat. Alam semesta adalah benda-benda yang dijadikan bukan benda-benda yang menjadikan.
            Suatu azaz lagi setelah terbentuknya alam semesta ini, belumlah sempurna sampai disitu, sebab ia memerlukan adanya dunia roh yang menjadi saksi dan yang menikmati isi alam ini. Bila roh nyata ada, maka perlulah adanya penyesuaian moral, kenikmatan dan kesusahan hidup ini. Evolusi Prakṛti menjadi dunia obyek memungkinkan roh nikmat atau menderita sesuai dengan baik buruk perbuatanya. Namun tujuan akhir evolusi Prakṛti ialah kelepasan.

e.  Ajaran tentang kelepasan.
            Hidup didunia ini adalah campuran antara senang dan susah. Banyak kesenangan dapat dinikmati, banyak pula kesusahan dan sakit yang diderita orang. Bila orang dapat menghindari diri dari kesusahan dan sakit, maka ia tak dapat menghindari diri dari ketuaan dan kematian. Ada tiga macam sakit dalam hidup ini yaitu Adhyātmika, Adhibāutika, dan Adhidāivika.
1)      Adhyātmika adalah sakit karena sebab-sebab dari dalam badan sendiri seperti kerja alat-alat tubuh yang tidak normal dan gangguan perasaan. Dengan demikian ia merupakan gangguan perasaan. Ia merupakan gangguan jasmani dan rokhani seperti sakit kepala, takut, marah, dan sebgainya.
2)      Adhibāutika adalah sakit yang disebabkan oleh faktor luar tubuh, seperti terpukul, kena gigitan nyamuk dan sebagainya, dan
3)      Adhidāivika adalah sakit karena tenaga gaib seperti setan, hantu dan lain-lainnya.
           
Tidak ada seorangpun yang ingin menderita sakit, semuanya ingin hidup bahagia lepas dari susah dan sakit. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Selama orang masih berbadan lemah, selama itu suka dan duka, sakit dan sehat selalu berdampingan. Dengan demikian kita perlu bercita-cita hidup bersenang-senang selalu, cukup hidup biasa-biasa saja dengan berusaha melepaskan penderitaan atas dasar pikiran sehat.
            Dalam ajaran Sāṁkhya kelepasan itu adalah penghentian yang sempurna dari semua penderitaan. Inilah tujuan terakhir dari hidup kita. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memperingan hidup kita, namun tidak dapat melepaskan kita dari penderitaan sepenuh-penuhnya. Sāṁkhya mengajarkan bahwa cara mencapai kelepasan itu ialah melalui pengetahuan yang benar atas kenyataan dunia ini. Tiadanya pengetahuan itulah yang menyebabkan orang menderita. Dalam banyak hal orang-orang yang tidak punya pengetahuan tentang hukum alam dan hukum kehidupan terbentur pada masalah yang membawanya pada kesedihan. Berbeda halnya orang-orang yang berpengetahuan akan menerima dan menikmati kenyataan itu tidak sempurna, maka ia tidak lepas dari penderitaan sepenuhnya. Kelepasan itu hanya akan dicapai bila pengetahuan orang akan kenyataan itu sudah sempurna.















  



BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tattva adalah ilmu yang mempelajari kebenaran sedalam-dalamnya (sebenarnya) tentang sesuatu seperti mencari kebenaran tentang Tuhan, tentang atma serta yang lainya. Darśana berasal dari urat kata dṛś yang artinya melihat, menjadi kata Darśana (kata benda) artinya pengelihatan atau pandangan. Istilah Nawadarśana sebenarnya adalah penggabungan Ṣaḍ Darśana dengan filsafat Nāstika yaitu aliran filsafat yang tidak mengakui otoritas Veda sehingga disebut dengan Nāstika atau filsafat heterodox.
Enam filsafat Hindu yang dikenal dengan Ṣaḍ Darśana adalah enam sistem filsafat orthodox yang merupakan enam cara mencari kebenaran, yaitu : Nyāyā, Sāṁkya, Yoga, VaisisekaMīmāmsādan Vedānta. Disamping enam Darśana pokok awal yang termasuk jaman Sūtra- sūtra juga terdapat beberapa darśana yang termasuk jaman scholastic, yaitu Dvaita, Viśiṣtādvaita dan Advaita.
Filsafat Hindu bukan hanya merupakan spekulasi atau dugaan belaka, namun ia memiliki nilai yang sangat luhur, mulia, khas, dan sistematis, yang didasarkan atas pengalaman spiritual mistis yang dikenal sebagai Aparokṣa Anubhūti. Para pengamat spiritual, para orang bijak, dan para Ṛṣi yang telah mengarahkan persepsi intuitif dari Kebenaran, adalah para pendiri dari berbagai sistem filsafat yang berbeda-beda, yang secara langsung maupun tidak langsung mendasarkan semuanya pada Veda.
            Sāṁkhya kata berasal dari kata Sanskṛta 'Sāṁkhya' (pencacahan, perhitungan). Dalam Filsafat, pencacahan akurat dari kebenaran telah ditentukan. Akibatnya, Filsafat ini bernama 'Sāṁkhya'. Mungkin ada alasan lain adalah bahwa salah satu arti dari 'Sāṁkhya' adalah musyawarah atau refleksi atas hal-hal yang berkaitan dengan kebenaran. Didirikan oleh Mahaṛṣi Kapila Muni, ini adalah Filsafat yang paling kuno. Filsafat ini di bangun oleh ṛṣi Kapila. Filsafat Sankhya darsana ini menekankan pada proses evolusi dan penciptaan alam semesta.

3.2 Saran
            Tentunya kami sebagai kelompok pembuat makalah sangat mengharapkan saran dari temen-temen dan dosen pembimbing mata kuliah ini, karena kami tau dalam makalah ini masih banyak kekurangan kami,tentunya kami meminta saran dan pendapat yang positif dan membangun.




DAFTAR PUSTAKA
I Wayan Maswinara,1999.Sistem Filsafat Hindu : Paramita Surabaya.
Hadiwijono, Harun, Sari Filsafat India, Jakarta, BPK Gunung Mulia Kwitang, 1985.

I GEDE RUDIA ADIPUTRA, TATTWA DARSANA, (Jakarta, yayasan dharma sarath, 1990)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar