Kamis, 27 April 2017

Implementasi Konsep Perkembangan Nitisastra Zaman Hindu Kuno Terhadap Zaman Modern

BAB I
PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang
Kata Niti Sastra memang sudah tidak asing lagi dikalangan tokoh terpelajar, akan tetapi bagi masyarakat yang awam masih terasa asing dengan kata ini. Pada masyarakat Hindu di Bali lebih mengenal dengan istilah Kekawin Niti Sastra. Kekawin Niti Sastra berisikan tentang ilmu kepemimpinan yang bisa digunakan dan diterapkan kedalam kehidupan masyarakat dan pendidikan. Banyak tokoh yang mengatakan bahwa Niti Sastra adalah ajaran tentang ilmu politik, dan tidak sedikit juga berpandangan bahwa Niti Sastra berarti ilmu kepemimpinan
Pemimpin merupakan sosok yang sudah dikenal di berbagai aspek kehidupan, baik di masyarakat, sekolah, maupun dalam sebuah negara. Tanpa sosok pemimpin kehidupan akan tidak terarah bagaikan ayam kehilangan induknya. Pemimpinlah yang akan menjadi otak sehingga segala aktivitas kehidupan akan lebih teratur, terkontrol dan terkendali. Pemimpin sudah dikenal bahkan sebelum zaman weda hanya generasinya yang berbeda. Pemimpin tidak harus orang yang secara fisik besar, ataupun secara umur paling tua, tetapi pemimpin adalah sosok yang bisa memimpin dan memiliki kelebihan yang bisa diayomi oleh para bawahan.
Generasi ke generasi terus berjalan hingga sampailah sekarang ini pada era globalisasi. Namun pada prinsipnya di generasi manapun sosok pemimpin akan selalu mengarahkan hal yang terbaik untuk bawahannya sehingga tujuan dari perkumpulan yang dipimpin bisa tercapai. Untuk menjadi seorang pemimpin yang disegani ada pedoman-pedoman yang sama di setiap zaman, yang mana dalam agama Hindu pedoman ini disebut Niti Sastra, Niti berarti kemudi, pemimpin, politik dan sosial etik, pertimbangan, dan kebijakan. Sedangkan Sastra berarti perintah, ajaran, nasehat, aturan, teori, dan tulisan ilmiah. sehingga Nitisastra berarti ajaran mengenai kepemimpinan menurut Hindu.
Terkait dengan kepemimpinan pula, sekarang sudah berkembang adanya sistem demokrasi, yang mana dalam sistem ini pemimpin tidak lagi diangkat berdasarkan garis keturunan, atau berdasarkan varna tetapi melalui pemilihan langsung oleh para bawahan. Para bawahan bebas memilih siapa yang dianggap mampu, dan bahkan diantaranya boleh mencalonkan diri kalau merasa diri mampu mangemban tanggung jawab sebagai seorang pemimpin. Hal ini sudah dirasakan sendiri oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang hidup di sebuah negara yang menganut asas demokrasi.
Ada banyak kelebihan dan kekurangan dari asas demokrasi ini. Salah satu kelebihannya adalah rakyat dapat memilih pemimpin sesuai dengan keinginannya sehingga orang yang akan menjadi pemimpin adalah orang yang mendapat suara terbanyak, dan akhirnya pemimpin akan lebih mudah medapat tempat di hati bawahan. Akan tetapi, salah satu kekurangan yang juga bisa dirasakan adalah rakyat terkadang salah pilih, pemimpin yang terpilih terkadang tidak melakukan hal-hal yang telah dijanjikan, sehingga akhirnya akan timbul penyesalan di kalangan bawahan.
Mencari pemimpin yang baik memang merupakan sesuatu yang sangat sulit di era globalisasi ini, banyak para pemimpin yang hanya ingin mencari keuntungan pribadi dari jabatan yang dipangku, sehingga tujuan utama pemimpin dalah tugas kepemimpinannya akan sangat sulit dipenuhi. Hal ini tentunya akan mengakibatnya ketidakseimbangan antara unsur pemimpin dengan yang dipimpin dan akhirnya akan timbul krisis kepercayaan. Berkaca dari hal ini penulis ingin mencoba mencari solusi agar bisa mendapat sosok pemimpin yang bisa dijadikan suri tauladan di era globalisasi ini dengan kembali membangkitkan ajaran niti sastra yang sarat dengan ajaran-ajaran kepemimpinan dalam agama hindu. Akan tetapi, walaupun niti sastra milik agama Hindu dalam praktiknya bisa diterapkan oleh semua kalangan, karena niti sastra ini universal hukumnya.
1.2  Rumusan Masalah
            1. Apakah Pengertian Nitisastra?
            2. Bagaimanakah Perkembangan Agama Hindu ?
            3. Bagaimanakah Kepemimpinan Hindu ?
            4. Bagaimanakah Pemimpin di Era Globalisasi?
            5. Bagaimanakah Ajaran Nitisastra di Era Globalisasi?
1.3  Tujuan Penulisan
            1. Untuk mengetahui Pengertian Nitisastra
            2. Untuk mengetahui Perkembangan Agama Hindu
            3. Untuk mengetahui Kepemimpinan Hindu
            4. Untuk mengetahui Pemimpin di Era Globalisasi
            5. Untuk mengetahui Ajaran Nitisastra di Era Globalisasi
           
1.4    Manfaat Penulisan
      Ada banyak manfaat yang baik dari pembuatan makalah. Jika tidak ada manfaatnya maka tentu saja Sekolah atau instansi sejenisnya tidak akan menuntutnya. Beberapa manfaat antara lain :
1.      Melatih kreatifitas mahasiswa dalam menuangkan gagasan pemikirannya (ide-idenya) tentang suatu kajian atau topik dari ilmu-ilmu yang sudah didalami. Di sini secara tidak langsung penulis juga dilatih untuk menerapkan kemampuan berpikir secara logis-sistematis.
2.      Makalah ini, bukan hanya berguna bagi penulis saja tetapi juga sebagai bahan referensi ilmiah dan sumbangan pengetahuan bagi sekolah, bagi para pembaca tentang apa yang disumbangkan lewat ide penulis melalui makalah tersebut.
3.      Sebagai tuntutan akademik bagi para akademisi yang ingin berpetualang terus dalam dunia pengetahuan dan pendidikan. Dengan hasil makalah, penulis dilatih secara khusus untuk terbiasa menulis atau mengolah sesuatu yang menjadi obyek tulisan.
4.      Melatih berpikir tertib dan teratur karena menulis makalah harus mengikuti tata cara penulisan yang sudah ditentukan prosedur tertentu, metode dan teknik, aturan / kaidah standar, disajikan teratur, runtun dan tertib.
5.      Menumbuhkan etos ilmiah di kalangan mahasiswa, sehingga tidak hanya menjadi konsumen ilmu pengetahuan, tetapi juga mampu menjadi penghasil (produsen) pemikiran dan karya tulis dalam bidang ilmu pengetahuan.

BAB II
PEMBAHASAN
Implementasi Konsep Perkembangan Nitisastra Zaman Hindu Kuno Terhadap Zaman Modern

2.1 Pengertian Nitisastra.
Kata Niti Sastra memang sudah tidak asing lagi dikalangan tokoh terpelajar, akan tetapi bagi masyarakat yang awam masih terasa asing dengan kata ini. Pada masyarakat Hindu di Bali lebih mengenal dengan istilah Kekawin Niti Sastra. Kekawin Niti Sastra berisikan tentang ilmu kepemimpinan yang bisa digunakan dan diterapkan kedalam kehidupan masyarakat dan pendidikan. Banyak tokoh yang mengatakan bahwa Niti Sastra adalah ajaran tentang ilmu politik, dan tidak sedikit juga berpandangan bahwa Niti Sastra berarti ilmu kepemimpinan. Berikut pandangan para ahli mengenai ajaran Niti Sastra:
Anandakusuma (1986) dalam kamus bahasa Balinya mengatakan bahwa Niti berarti undang-undang mengatur negeri sedangkan sastra berarti pelajaran agama dan pelajaran dharma.
Menurut Athur Antoni Macdonell mengatakan bahwa Niti Sastra berasal dari kata Niti dan Sastra. Niti dalam bahasa sansekertanya berarti kebijaksanaan duniawi atau juga berarti “etika sosial politik” Niti juga berarti menuntun. Sedangkan sastra diartikan doa berarti pujaan.
Menurut Dr. Rajendra Misrhra pengetahuan Niti Sastra adalah ditactic poem atau Upadesa Kavya yaitu karya sastra yang bersifat mendidik.
Dari sekian banyak pandangan mengenai Niti Sastra dapat disimpulkan bahwa Niti Sastra berarti ilmu pengetahuan tentang moralitas yang mengajarkan tentang bagaimana mendidik, membimbing, memimpin, bertingkal laku serta menjalani kehidupan berdasarkan dharma atau kebenaran.
  • Rsi Canakya
Dari beberapa pendapat para ahli memang meragukan bahwa yang menyusun Kitab Arthasastra adalah Canakya. Beliau juga mengakui bahwa penyusunan karyanya berdasarkan atas kitab-kitab serupa pada masa lalu. Penyusunan kitab Arthasastra memang sangatlah banyak ditemukan dan selalu bertuliskan tentang Canakya didalamnya. Rupanya ini ada kaitannya tentang ramalan bahwa Canakya adalah penghancur Raja Nanda yang ada dalam kitab-kitab Purana yaitu Visnu Purana dan Bhagavata Purana. Dari ramalan tersebut dapat disimpulkan bahwa memang benar Canakya yang menghancurkan Raja Nanda dan menempatkan Candragupta sebagai Raja. Canakya juga disebut dengan Wisnugupta yang berarti seorang menteri negara, ahli politik, tokoh agamawan (Brahmana) adalah orang yang dianggap sebagai penulis karya yang agung.
2.1.1        Tujuan Ajaran Niti Sastra
Berbicara mengenai ruang lingkup tentu saja Niti sastra mencakup ruang lingkup yang sangat luas. Cakupannya adalah dalam segi Pemerintahan, Kepemimpinan, Moralitas, Perekonomian, Bhakti dan segala yang berhubungan dengan kegiatan sehari-hari. Tujuan mepelajari Niti Sastra adalah agar tercapainya tujuan dharma atau disebut dengan dharma Sidhyartha. Dalam mencapai kebenaran hendaknya harus mempertimbangkan lima unsur yang disebut dengan Iksa, Sakti, Desa, Kala dan Tattwa. Dengan tercapainya Dharma Sidhyartha Hindu juga mempunyai tujuan yaitu mencapai Dharma, Artha, Kama dan Moksa.
2.1.2        Niti Sastra dalam Diri
          Ajaran Niti Sasrta hendaknya dipahami dan diterapkan dalam diri kita terlebih dahulu sehingga kita mudah memberikan contoh kepada oranglain sebelum masuk ke masyarakat. Ada tiga perbuatan dalam diri yang harus disucikan atau yang sering disebut dengan Tri Kaya Parisudha yaitu Manacika Parisudha (berfikir yang baik), Wacika Parisudha (berkata yang baik), Kayika Parisudha (berbuat baik).
2.1.3        Niti Sastra Dalam Keluarga
Keluarga adalah bagian terdekat dalam hidup kita, karena bersama mereka kita habiskan sisa waktu kita. Baik buruknya keluarga akan berpengaruh dalam diri kita. Kita sebagai anggota keluarga hendaknya berusaha selalu menciptakan suasana yang enak dalam keluarga.
  1. Peran seorang Suami/ayah
Dalam keluarga hendaknya ayah selalu berperan menjadi kepala keluarga, yang bertugas melindungi dan membimbing keluarganya. Seorang ayah hendaknya memberikan bekal kepada putra-putrinya untuk meniti masa depannya. Bekal yang diberikan tidak hanya berupa materi melainkan pengetahuan. Karena pengetahuan tidak akan pernah habis, dan dengan pengetahuan juga akan membuat orang di hormati.
2.      Peran seorang Istri
Seorang ibu yang baik harus bisa melayani suami serta anak-anaknya dengan tulus iklas. Suami serta putranya adalah tempat bergantung seorang istri apabila sudah tua nanti. Baik atau buruknya seorang istri akan berpengaruh kepada suami serta anak-anaknya, hendaknya seorang istri harus memiliki sifat yang suci dan mulia.
3.      Tugas seorang Putra
Seorang putra ataupun putri yang dilahirkan dalam keluarga tentu akan melewati empat tahapan yang sering disebut Catur Asrama. Pada seorang putra yang belum menikah dikatakan dalam masa Brahmacari yaitu masa menuntut ilmu. Ketika memasuki masa Brahmacari hendaknya memusatkan pikiran sepenuhnya pada ilmu pengetahuan agar ilmu yang didapat sempurna hasilnya.
2.1.4        Niti Sastra dalam Masyarakat
Penerapan ajaran Niti sastra dimasyarakat sudah ada sejak zaman dahulu meski belum diketahui sesungguhnya itu merupakan ajaran Niti Sastra. Karena pada masyarakat terdiri dari banyak keluarga dan memiliki pola pikir yang berbeda maka agak susah untuk menerapkan ajaran sastra kecuali mereka yang mengerti tentang makna sastra. Pada kehidupan dimasyarakat terdapat banyak sekali orang yang memiliki sifat-sifat yang berbeda, ada yang bersifat baik, ada juga yang bersifat kurang baik. Dengan pengetahuan seseorang mampu memilah mana yang baik dan mana yang kurang baik. Jadi hendaknya pengetahuan harus selalu dipraktekkan untuk membantu sesama.
·         Memilih Sahabat
Sahabat yang sejati adalah sahabat yang selalu datang dan menyelamatkan seseorang dkalam keadaan apapun. Tujuan memiliki sahabat adalah untuk berbagi antar suka dan duka. Dalam memilih sahabat juga harus mempertimbangkan banyak hal, jangan sampai memiliki sahabat yang hanya memanfaatkan kita saja.
·         Kewaspadaan
Kewaspadaan menuntun seseorang untuk selalu berkata, bersikap, dan melakukan seseuatu dengan hati-hati. Dengan kewaspadaan seseorang bisa mencapai atau meraih suatu keberhasilan. Sikap yang selalu waspada pada diri seseorang itu sangat diperlukan kapanpun dan dimanapun.
·         Kebahagiaaan
Semua makhluk yang masih mempunyai pemikiran pasti menginginkan kebahagiaan. Beranekaragam hal yang bisa membuat orang menjadi bahagia. Kebahagiaan itu akan hilang apabila orang tersebut selalu melihat hal yang lebih dengan ego dan tanpa mensyukuri apa yang dimiliki.
2.2      Perkembangan agama hindu
Awal agama Hindu muncul diperkirakan pada tahun 3000-1300 sebelum masehi. Agama Hindu merupakan agama yang berasal dari anak benua India, yang merupakan kelanjutan dari agama Weda (Brahmaisme) yang merupakan kepercayaan ras Indo-Iran (Arya). Akulturasi budaya adalah salah satu cara didalam penyebaran agama Hindu, budaya-budayaa setempat diberikan berkembang dan tumbuh, diberikan legalisasi sebagai bentuk perpaduan yang utuh antara unsur agama dan budaya.
Ketika kitab suci Weda diturunkan, manusia belum bisa membaca dan menulis, sehingga wahyu yang diterima cukup didengarkan saja dan diajarkan secara turun temurun. Setelah jaman sejarah, barulah wahyu itu ditulis kedalam bentuk kitab suci Weda, yang terdiri dari 4 bagian yang dikenal dengan Catur Weda. Pengetahuan suci yang diterima oleh para Rsi tersebut tidak hanya satu orang, melainkan banyak orang yang digolongkan kedalam kelompok Catur Weda. Penulisan kitab suci Weda pertama kali dilakukan oleh Bhagawan Wyasa yang dibantu 4 orang muridnya.
Berdasarkan data arkeologis, Agama Hindu merupakan agama yang tertua dan pertama didunia. Didalam perkembangannya, agama Hindu mengalami pasang surut, yang disebabkan oleh perkembangan peradaban manusia yang mengalami perubahan. Jika dicermati, agama Hindu tidak lepas dengan yang namanya budaya, kepercayaan, dan peradaban manusia. Terlebih-lebih hubungannya terhadap penguasa dan agama yang dijadikan symbol, makanya ada istilah Dharma Agama dan Dharma Negara.
Agama Hindu pernah berkembang di Negara Mesir, Arab Saudi, Australia, Jerman, Eropa, Indonesia, dan lain sebagainya. Didalam perkembangannya juga memanfaatkan perilaku budaya setempat, yang mempunyai karakternya yang berbeda-beda dan hal itu dikarenakan tiap negara mempunyai struktur budaya yang berbeda.
Didalam bidang kepercayaan juga sama. Nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengenal kepercayaan. Setelah itu, barulah agama Hindu masuk dan diterima dengan mudah. Ini disebabkan oleh kesamaan unsur-unsur kepercayaan. Keberadaan agama Hindu juga membuat semakin suburnya kepercayaan dan kebudayaan yang telah berkembang dan melahirkan kebudayaan baru.
1.      Hindu Kuno
 Di  mulai dengan adanya :
·         Agama Hindu di India pada zaman Veda
Zaman ini dimukai dengan kedatangan bangsa Arya 2500 SM ke India melalui lembah Sungai Sindhu. Pada zaman ini, mulainya penulisan Wahyu suci yitu Reg Veda. Kehidupan beragama pada zaman ini didasarka atas ajaran-ajaran yang tercantum pada Veda Samhita, yang lebih menekankan pada pembacaan perafalan ayat-ayat Veda secara oral, yaitu dengan menyanyikan dan mendengarkan secara berkelompok.
Selain itu, pada zaman ini orang-orang percaya dengan adanya dewa sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi, adapun dewa-dewa yang dimaksud yaitu, Dewa Agni, Indra, Rudra, dan Waruna.
·         Agama Hindu di India pada zaman Brahmana
Zaman ini adalah awal munculnya kitab Brahmana yang merupakan bagian dari Veda Sruti yang disebut Karma Kanda. Kitab ini memuat himpunan doa-doa serta penjelasan upacara korban dan kewajiban keagamaan. Oleh karena itu keberadaan umat Hindu pada zaman Brahmana ini didominasi oleh pelaksanaan upacara keagamaan dalam bentuk upacara korban.
·         Agama Hindu di India pada zaman Upanisad
Zaman Upanisad ini merupakan reaksi terhadap yang terjadi pada zaman Brahmana. Diman sejalan dengan berjalannya waktu, Agama Hindu terus berkembang yang meskipun umat terpecah mengikuti aliran yang berbeda, yang secara keseluruhan disebut aliran Nawa Darsana, yaitu enam aliran tergabung dalam kelompok Astika (yang masih meneima keberadaan Veda) dan tiga aliran tergabung dalam kelompok Nastika (yang menolak keberadaan Veda). Aliran Nastika inilah secara otomatis keluar dari agama Hindu, sedangkan kelompok Astika tetap mengikuti Agama Hindu dan kembali kepada Veda sebagai sumber segalanya bagi umat Hindu secara keseluruhan. Pada zaman ini, lahirlah kitab Upanisad yang merupaka bagian dari Jnana Kanda dan kitab Veda Sruti yang isinya bersifat ilmiah, spekulatif, tetapi tetap dalam ruang lingkup keagamaan.
·         Agama Hindu di India pada zaman Purana
Zaman Purana menandai terjadinya evolusi Hindu di India, yaitu munculnya berbagai macam mazhab atau sekte. Meskipun demikan, agama Purana mewarisi konsep-konsep kegamaan dari zaman Brahmana. Keduanya sama-sama menekankan praktik agama yang penuh dengan upacara. Agama Brahmana dan agama Purana mementingkan upacara yajna sebagai jalan untuk mencapai moksa. Hal ini diuraikan teliti dan mendalam dalam kitab Mimamsasutra. Ajaran yang mengajrkan pentingnya kedudukan yajna dalam Agama Hindu ini dikembangkan dan diajarkan oleh rsi pada zaman ini.
Sekte-sekte Agama Hindu di India
1.      Pemujaan kepada Dewa Wisnu.
2.      Pemujaan kepada Dewa Siwa.
3.      Pemujaan kepada Sakti para dewa.
4.      Pemujaan kepada Brahmana.
Pada abad 6 SM terjadi proses pembaharuan dalam bidang keagamaan yang terus berkembang dan berkelanjutan. Hal ini terjadi karena mereka ingin bebas dari dominasi para brahmana dalam melakukan aktivitas keagamaan. Akibatnya muncul dua ajaran yaitu jainisme dan budhisme. Kedua ajaran ini pada dasarnya tidak menolak keberadaan dewa-dewa karena itu banyak orang yang mudah masuk kedalam ajaran ini karena tanpa harus meninggalkan kepercayaan pada dewa-dewa, akan tetapi dalam ajaran budhisme dapat dikatakan anti kasta yang ada dalam masyarakat Hindu. tentu saja hal ini disambut baik oleh kaum yang merasa di diskriminasi oleh kasta tersebut, akibatnya muncullah agama baru di India
2.      Hindu Modern.
Seperti yang di lihat pada zaman sekarang, Agama Hindu sudah berkembang sesuai dengan zaman. Mulai dengan sarana prasarana dalam pembuatan upakara, dekorasi, keyakinan,pemikiran yang tentu tidak meningglkan dari jalannya Dharma.
Pada mulanya Hindu tidak memiliki pusat agama, tapi sekarang Hindu sudah mempunyai pusat Agama yang di namakan PHDI Parisada Hindu Dharma Indonesia, di mana terdapat banyak informasi tentang Hindu. Pada zaman sekarang Hindu sudah banyak mendirikan organisasi-organisasi yang berkaitan dengan Hindu, ada Juga yang mendirikan Asram-asram di mana untuk memperluas wawasan dan cakrawala tentang Hindu itu sendiri
3            Perbandingan Hindu kuno dengan Hindu Modern
Yang lebih menonjol pada hal ini adalah keyakinan/ kepercayaan dan sistem kehidupan Hindu Kuno dengan Hindu Modern.
Di mana pada Hindu kuno banyak sekali terdapat Sekte-sekte dan kepercayaan yang mereka percayai, misalnya pada waktu hindu kuno, mereka menyembah pada hal apa yang mereka takuti, yang memeberikan mereka penghidupan itu yang mereka sembah, contohnya misalnya kalau mereka pada saat itu mengalami kekeringan mereka pada saat itu pasti menyembah dewa hujan, dan pada kalau ada pohon besar di hutan yang pada saat itu di percayai mengeluarkan hal-hal gaib, itu yang akan mereka sembah. Dalam hal ini penyembaahan terhadap Tuhan pada saat itu belum mereka ketahui secara benar.
Dan Sistem Kehidupan yang terdapat di Hindu kuno pada saat itu masih belum tertata, waktu itu belum adanya sistem kepemimpinan yang benar.
Dan Di Hindu Modern, dalam sistem kepercayaanya itu sudah tidak terdapat sekte-sekte seperti dulu,dan pengetahuan tentang keagamaan sudah semakin luas dan baik, dimana mereka mendapatkan dari suatu buku-buku dan jejaring-jejaring yang terdapat dengan pemahaman tentang Hindu tersebut .tetapi ada juga ajaran yang di percayai, contohnya, mengikuti sai baba, alairan krisna dan lain-lain,tetapi itu tidak jadi permasalahan karena sesuai dengan kepercayaan penganutnya.
Dan Sistem kehidupan yang terdapat di Hindu Modern sudah tertata, mengingat sudah ada banyak cara untuk melakukan sistem kepemimpinan. Banyaknya terdapat pandangan tentang hindu yang memeberikan suatu ajaran yang sangat penting sehingga mudah untuk memahami karena penyampaian dan ajarannnya di permudah.

2.3       Kepemimpinan Hindu
2.3.1   Pengertian Pemimpin
Pemimpin berarti oarang yang memimpin atau menuntun, juga memiliki padanan kata dalam bahasa Ingris yaitu leader. Sedangkan Kepemimpinan adalah suatu kemampuan dalam membimbing atau menuntun yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Sifat sebagai seorang pemimpin sudah ada semenjak kita dilahirkan. Menurut Dr. Kartini Kartono (dalam Sudhardana, 2008;33) dikatakn bahwa ada tiga teori yang menonjol yang menjelaskan seorang pe.mimpin, yakni: Teori genetis, teori sosial, dan teori ekologis.
  1. Peranan Seorang Pemimpin
Dalam Niti Sastra diajarkan bagimana bersikap menjadi seorang pemimpin dan bagaimana bertindak sebagai seorang pemimpin. Pemimpin memiliki wewenang untuk mensejahterakan orang yang dipimpinnya. Pemimpin yang baik tidak pernah memikirkan drinya sendiri, akan tetapi lebih mementingkan kepentingan umum dibandingkan kepentingan pribadi. Dalam memimpin hendaknya dilakukan dengan sepenuh hati, dan jangan memimpin hanya untuk mencari keuntungan saja. Menjadi pemimpin harus siap menanggung resiko apapun demi menjalankan tugas negaranya.
2.      Syarat-syarat Pemimpin
Setiap orang bisa untuk menjadi seorang pemimpin, akan tetapi tidak semua orang bisa memimpin dengan baik. Dalam kitab Arthasastra dikatakan bahwa seorang pemimpin hendaknya memiliki sifat Uthana (giat) dan jangan memiliki sifat Pramada (lengah). Dalam sastra Hindu dikatakan seorang Pemimpin harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut: Catur Pariksa, Panca Stiti Dharmaning Prabhu, Sad Warnaning Rajaniti, Catur Kotamaning Nrpati, Tri Upaya Sandhi, Panca Upaya Sandhi, Asta Brata, Nawa Natya, Panca Dasa Pramiteng Prabhu, Sad Upaya Guna, Panca Satya.

3.      Catur Warna
Pandangan Catur Varna di masyarakat masih belum sepenuhnya dipahami. Titik lemah menghitami agama Hindu adalah penyimpangan pengertian Varna yang sebenarnya menurut kitab suci Veda, menjadi kasta yang berarti keturunan. Sesungguhnya kedudukan kasta dengan Varna adalah berbeda. Istilah Kasta dibuat oleh bangsa Portugis ketika menjajah Bali. Mereka membuat Kasta untuk memecah belah masyarakat yang ada di Bali. Sedangkan Varna memang diatur dalam kitab suci agama Hindu. Dalam kitab suci agama Hindu dikenal dalam istilah Catur Varna, kata Varna berarti sifat dan bakat kelahiran dalam mengabdi kepada masyarakat berdasarkan kecintaan yang menimbulkan kegairahan kerja (Sudharta dan Atmaja, 2001:49). Jadi Varna memiliki arti empat golongan kerja berdasarkan profesinya di Masyarakat. Adapun keempat golongan tersebut adalah: Brahmana, Ksatriya, Waisya, dan Sudra. Keempat golongan Varna adalah memiliki kedudukan yang sama di mata Tuhan, karena semua itu adalah ciptaan-Nya.
  • Brahmana
Brahmana ialah golongan karya yang setiap orangnya memiliki ilmu pengetahuan suci dan mempunyai bakat kelahiran untuk mensejahterakan masyarakat, Negara dan umat manusia dengan jalan mengamalkan ilmu pengetahuannya dan dapat memimpin upacara keagamaan. Beliau yang bisa desebut sebagai Brahmana tidak hanya yang memiliki profesi sebagai Pandita, melainkan sastrawan yang memiliki keahlian Veda juga bisa disebut Brahmana.
  • Ksatriya
Ksatrya adalah golongan karya yang setiap orangnya yang memiliki kewibawaan cinta tanah air serta bakat kelahiran untuk memimpin dan mempertahankan kesejahteraan masyarakat, Negara dan umat manusia berdasarkan dharmanya. Golongan Brahmana dan golongan Ksatruya sama-sama sebagai seorang pemimpin, akan tetapi yang membedakannya adalah Brahmana memimpin upacara Yadnya dan Ksatriya memimpin Rakyatnya.
  • Vaisya
Vaisya ialah golongan karya yang setiap orangnya memiliki watak-watak tekun, trampil, hemat, cermat, dan keahlian serta bakat kelahiran untuk menyelenggarakan kemakmuran masyarakatn kenegaraan dan kemanusiaan. Mereka yang bisa disebut vaisya adalah seperti pedagang, peternak dan pengusaha.
  • Sudra
Sudra ialah golongan karya yang setiap orangnya memiliki kekuatan jasmaniah, ketaatan serta kelahiran untuk sebagai pelaku utama dalam tugas-tugas memakmurkan masyarakat Negara dan umat manusia atas petunjuk-petujuk golongan karya lainnya. Mereka yang termasuk golongan Sudra adalah: petani, buruh, pelayan dan pekerja lainnya.
4.      Bhakti Dalam Niti Sastra
Agama Hindu memiliki keyakinan kepada Tuhan Yang maha Esa. Selain kepada Tuhan, ada empat keyakinan lagi yang sering disebut Panca Sradha. Panca Sradha berarti lima keyakinan atau kepercayaan. Kelimka kepercayaan itu antara lain:
  • Percaya dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).
  • Percaya dengan Atma
  • Percaya dengan hukum Karma Phala
  • Percaya dengan Punarbawa (reingkarnasi)
  • Percaya dengan Moksa (pelepasan)
Lima keyakinan atau Sradha diatas sebagai dasar umat Hindu melaksanakan Bhakti. Bhakti merupakan wujud cinta kasih serta penyerahan diri sepenuhnya kepada Ida Sang Hyang Widhi. Penyerahan diri dilakukan berdasarkan pemahaman serta keyakinan bahwa sesungguhnya apa yang ada dalam diri manusia adalah diciptakan oleh Beliau. Dalam pelaksanaa Bhakti kepada Tuhan, dilakukan dengan tiga cara yang disebut dengan Tri Kerangka Dasar Agama Hindu. Ketiga kerangka dasar tersebut antara lain: Tattwa/Filsafat, Etika/Susila, dan Ritual/Upacara.Ketiga ke4rangka dasar tersubutmerupakan wujud jalan Bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Seberapa besarpun penerapannya tanpa didasari rasa Bhakti tidak akan ada gunanya. Bhakti adalah sebagai dasar dari segala persembahan yang dilakukan karena Bhakti merupakan ketulus iklasan yang bersal dari lubuk hati yang paling dalam. 
5.      Wanita Dalam Niti Sastra
  • Kedudukan Wanita dan Sastra Hindu
Dalam sastra Hindu wanita memiliki kedudukan yang sangat uatama dalam kehidupan. Wanita dikatakan sebagai sumber kehidupan, kedamaian, serta kebahagiaan. Seperti diuraikan dalam kitab Manawa Dharmasastra III.56 diuraikan pandangan terhadap hakikat wanita yaitu:
Yatra naryastu pujyante
            Ramante tartra dewatah
            Yatraitastu na pujyante
            Sarvastalah kriyah
Terjemahan:
Diman wanita dihormati disanalah para Dewa senang dan melimpahkan anugrahnya. Dimana wanita tidak dihormati tidak ada upacar suci apapun yang memberikan pahala mulia (sudharta, 2009;105).
Wanita memiliki peranan yang sangat mulia karena telah berjuang sampai mempertaruhkan nyawa hanya untuk melahirkan seorang putra. Kakekat wanita lebih istimewa dibandingkan laki-laki, karena wanita memiliki peran yang multifungsi yaitu bisa menjadi seorang ibu yang bisa melahirkan dan bisa menjadi seorang ayah yang membesarkan dan menjaga putranya. Disamping sosok wanita yang agung dan mulia, ridah sedikit yang mengatakan wanita adalah sumber kesengsaraan bagi manusia. Dalam saastra diuraikan bahwa ada tiga hal penyebab kehancuran bagi seseorang yaitu Harta, Tahta dan Wanita. Wanita dikatakan sebagai sumber kehancuran bagi laki-laki karena dengan kecantikannya wanita akan memikat laki-laki dan tidak sedikit laki-laki yang rela melakukan apa saja demi wanita.
  • Swadharma Wanita
Wanita dan laki-laki dalam hindu memiliki tugas yang berbeda, baik dalam masa Brahmacari maupun sudah memasuki Grahasta. Selain tugas serta wewenang, wanita dan laki-laki juga memiliki sifat yang berbeda. Wanita sangat diperhatikan sebagai penerus keturunan dan sekaligus sarana terwujudnya Punarbawa atau reinkarnasi, sebagai salah satu srdha (kepercayaan/keyakinan Hindu.
  • Wanita pada masa Brahmacari
Masa Brahmacari adalah masa belajar, bisa juga dikatakan masa menuntut ilmu pengetahuan. Pada masa Brahmacari hendaknya seseorang bisa mengendalikan indriya-indriyanya. Wanita ketika memasuki masa-masa Brahmacari sama halnya dengan memasuki masa-masa yang rentan karena apabila benar melangkah ia akan menjadi emas dan apabila salah melangkah ia akan menjadi sampah. Mengingat demikian penting dan sucinya kedudukan wanita dalam rumah tangga, maka para orang tua memberikan perhatian khusus dibidang pendidikan dan pengajaran kepada anak wanita sejak kecil.
  • Wanita dalam masa Grahasta
Perikahan atau wiwaha dalam ajaran Hindu adalah Yajna dan perbuatan dharma. Wiwaha merupakan momentum awal dari Grahasta Ashram yaitu tahap kehidupan berumah tangga. Ketika sudah memasuki masa-masa Grahasta seorang wanita bisa disebut dengan istilah istri, dan apabila sudah memiliki putra bisa disebut dengan seorang ibu. Ketika sudah memasuki masa Grahasta tugas seorang wanita pun berbeda dengan masa brahmacari. Tugas seorang wanita ketika menjadi istri adalah melayani suami dan anak-anaknya.
  • Memperlakukan dan Menjaga Wanita
Wanita adalah makhluk yang kuat tetapi bisa menjadi sangat lemah baik dilihat secara fisik maupun psikis. Kelemahan pada wanita memberikan ciri bahwa ia memiliki sifat atau naluri yang lembut. Akan tetapi kelemahan dan kelembutannya bisa mengakibatkan kebahagiaan ddan juga kesengsaraan. Maka dari itu hendahnya seorang wanita harus dilindungi agar terciptanya keharmonisan dalam keluarga. Orang yang bertugas melindungi wanita yang tertera dalam Manawa Dharmasastra, IX. 3,6 dan 9: Ayah, Suami, dan Anak Lai-laki.
6.      Pengetahuan Dalam Niti Sastra
Artha yang paling abadi dan tak mungkin bisa dicuri oleh orang lain adalah pengetahuan. Dibandingkan dengan orang yang memiliki banyak harta benda, orang yang memiliki pengetahuan lebih dihormati dan dikenang. Orang yang memiliki ilmu pengetahuan akan selalu siap ditempatkan dimana saja, dan dengan mudah akan menyesuaikan diri dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan. Walaupun seseorang dikatakan kurang memiliki pengetahuan bukan berarti ia adalah orang bodoh seorang bisa mencari ilmu pengetahuan dengan cara belajar yang lebih tekun dan serius. Hambatan bagi seseorang yang ingin mendapatkan pengetahuan sesungguhnya adalah dirinya sendiri yaitu rasa malas. Selain karena faktor kemalasan diri sendiri dan faktor kelahiran juga dikarenakan faktor-faktor yang lainnya. Dalam Kekawin Niti sastra Sargah XIV, sloka 3 dan 4 dikatakan ada enam hambatan atau musuh seseorang dalam memperoleh ilmu pengetahuan yaitu:
  1. Kelalaian
  2. Kebiasaan melakukan hal-hal yang buruk atau dusta
  3. Penyakit atau kelemahan badan atau fisik
  4. Pada orang yang masih muda yaitu gila asmara dan berzinah
  5. Kemiskinan terus menerus
  6. Berjudi
Keenam musuh diatas sangatlah menjadi penghalang bagi seseorang yang ingin mendapatkan ilmu pengetahuan. Karena keenam musuh tersebut bisa mencuri pikiran seseorang, dan ilmu pengetahuan bisa didapat dengan pikiran yang suci dan jernih.
7.      Berbohong yang Dibenarkan
Setiap orang yang hidup di dunia ini pasti pernah melakukan kebohongan, yang membedakannya adalah besar dan kecilnya tingkat kebohongan tersebut. Walaupun kebohongan dikatakan sebagai perbuatan yang kurang baik, akan tetapi terkadang kita juga harus berbohong demi kebaikan. Selama kebohongan yang dilakukian untuk suatu kebaikan itu bisa dibenarkan. Dengan demikian kebohongan yang bisa dibenarkan dlam kehidupan sehari-hari yaitu:
  1. Berbohong kepada orang sakit
  2. Berbohong kepada anak kecil
  3. Berbohong kepada musuh yang mengancam
  4. Berbohong kepada orang jahat
  5. Berbohong demi menyelamatkan nyawa seseorang
  6. Berbohong pada saat bercumbu rayu
  7. Berbohong pada saat bercanda
  8. Berbohong disaat bergadang
Dosa dari kebohongan yang dilakukan tidak sepenuhnya diterima asalkan didasari dengan keinginan untuk kebaikan.
8.      Nilai Dharma
Pandangan dari para tokoh agama maupun masyarakat mengatakan bahwa Dharma adalah suatu yang bersifat baik atau kebenaran. Baik tingkah laku, perkataan serta pikiran harus berlandaskan atas kebenaran. Setiap orang terlahir di dunia ini diwajibkan untuk berbuat Dharma. Karena Dharma merupakan jalan untuk mencapai kebahagiaan. Hidup adalah untuk berbuat Dharma, karena dharma adalah satu-satunya bekal ketika kita meninggal nanti. Apabila dharma yang kita lakukan selama di dunia maka surga lah tempat kita, begitu juga sebaliknya apabila Adharma yang lebih dominan maka neraka lah rumah kita nanti. Ketika berbicara Dharma atau kebenaran itu bersifat relatif. Benar menurut kita sendiri dan belum tentu benar menurut orang lain. Pada dasarnya Dharma atau kebenaran memiliki lima dasar yang dijadikan acuan. Kelima dasar tersebut adalah:
  1. Sruti
  2. Smerti
  3. Sila
  4. Sadacara/acara
  5. Atmanastuti
Melaksanakan Dharma harus berdasarkan dari ketulusan hati yang paling dalam. Walaupun itu kecil akan tetapi dilaksanakan dengan keinginan yang tulus makan akan menjadi besarlah dharma itu, begitu juga sebaliknya walau sebesar apapun perbuatan apabila tidak dilandasi ketulusan maka tidak akan ada artinya. Mati dalam melakukan kewajiban kita adalah suatru hal yang agung dan sebaliknya Dharma yang seharusnya menjadi hak orang lain malahan akan menimbulakan bahaya spiritual bagi kita, seandainya kita memaksakannya juga. Jadi seorang yang bersifat Brahmana tidak perlu melakukan pekerjaan seorang waishya, dan begitu pula sebaliknya. Tidak ada masalah bagi Yang Maha Esa mengenai tinggi – rendahnya nilai suatu pekerjaan atau kewajiban, semuanya bagi Yang Maha Esa sama saja sifatnya.Tetapi mengerjakan kewajiban kita masing-masing secara baik dan penuh dedikasi nilanya lebih baik untuk kepuasan bantin kita sendiri, dan secara spiritual berkatNya ditentukan olehNya sesuai dengan kehendakNya juga.
2.3.2 Konsep-konsep Kepemimpinan Hindu
Dalam konsep kepemimpinan Barat yang lebih banyak dijadikan dasar adalah sikap dan tingkah laku dari para pemimpin-pemimpin besar di dunia. Oleh kerena itu mereka banyak mengemukakan jenis-jenis kepemimpinan yang sesuai dengan tokoh personalnya, seperti : kepemimpinan Karismatik, kepemimpinan Paternalistik, kepemimpinan Maternalistik, kepemimpinan Militeristik, kepemimpinan Otokrasi, kepemimpinan Lassez Faire, kepemimpinan Populistik, kepemimpinan Eksekutif, kepemimpinan Demokratik, kepemimpinan Personal, kepemimpinan Sosial dan masih banyak lagi lainnya.
Lain halnya dengan konsep kepemimpinan Hindu. Selain dasar tersebut, yang terutama sekali kepemimpinan Hindu bersumber dari kitab suci Weda dan diajarkan oleh para orang-orang suci. Kepemimpinan Hindu juga banyak mengacu pada tatanan alam semesta yang merupakan ciptaan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Adapun konsep-konsep Kepemimpinan Hindu yang banyak diajarkan dalam sastra dan susastra-nya antara lain : Sad Warnaning Rajaniti, Catur Kotamaning Nrpati, Tri Upaya Sandi, Pañca Upaya Sandi, Asta Brata, Nawa Natya, Pañca Dasa Paramiteng Prabhu, Sad Upaya Guna, Pañca Satya dan lain-lain. Berikut ini rincian dari konsep-konsep kepemimpinan Hindu.
·         Sad Warnaning Rajaniti
Sad Warnaning Rajaniti atau Sad Sasana adalah enam sifat utama dan kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang raja. Konsep ini ditulis Candra Prkash Bhambari dalam buku “Substance of Hindu Politiy”. Adapun bagian-bagian Sad Warnaning Rajaniti ini adalah :
  1. Abhigamika, artinya seorang raja atau pemimpin harus mampu menarik perhatian positif dari rakyatnya.
  2. Prajña, artinya seorang raja atau pemimpin harus bijaksana.
  3. Utsaha, artinya seorang raja atau pemimpin harus memiliki daya kreatif yang tinggi.
  4. Atma Sampad, artinya seorang raja atau pemimpin harus bermoral yang luhur.
  5. Sakya samanta, artinya seorang raja atau pemimpin harus mampu mengontrol bawahannya dan sekaligus memperbaiki hal-hal yang dianggap kurang baik.
  6. Aksudra Parisatka, artinya seorang raja atau pemimpin harus mampu memimpin sidang para menterinya dan dapat menarik kesimpulan yang bijaksana sehingga diterima oleh semua pihak yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda.
·         Catur Kotamaning Nrpati
Catur Kotamaning Nrpati merupakan konsep kepemimpinan Hindu pada jaman Majapahit sebagaimana ditulis oleh M. Yamin dalam buku “Tata Negara Majapahit”.  Catur Kotamaning Nrpati adalah empat syarat utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Adapun keempat syarat utama tersebut adalah :
  • Jñana Wisesa Suddha, artinya raja atau pemimpin harus memiliki pengetahuan yang luhur dan suci. Dalam hal ini ia harus memahami kitab suci atau ajaran agama (agama agëming aji).
  • Kaprahitaning Praja, artinya raja atau pemimpin harus menunjukkan belas kasihnya kepada rakyatnya. Raja yang mencintai rakyatnya akan dicintai pula oleh rakyatnya. Hal ini sebagaimana perumpamaan singa (raja hutan) dan hutan dalam Kakawin Niti Sastra I.10 berikut ini :
Singa adalah penjaga hutan, akan tetapi juga selalu dijaga oleh hutan. Jika singa dengan hutan berselisih, mereka marah, lalu singa itu meninggalkan hutan. Hutannya dirusak binasakan orang, pohon-pohonnya ditebangi sampai menjadi terang, singa yang lari bersembunyi dalam curah, di tengah-tengah ladang, diserbu dan dibinasanakan.
  • Kawiryan, artinya seorang raja atau pemimpin harus berwatak pemberani dalam menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan pengetahuan suci yang dimilikinya sebagainya disebutkan pada syarat sebelumnya.
  • Wibawa, artinya seorang raja atau pemimpin harus berwibawa terhadap bawahan dan rakyatnya. Raja yang berwibawa akan disegani oleh rakyat dan bawahannya.

·         Tri Upaya Sandhi
Di dalam Lontar Raja Pati Gundala disebutkan bahwa seorang raja harus memiliki tiga  upaya agar dapat menghubungkan diri dengan rakyatnya. Adapun bagian-bagian Tri Upaya Sandi adalah :
  • Rupa, artinya seorang raja atau pemimpin harus mengamati wajah dari para rakyatnya. Dengan begitu ia akan tahu apakah rakyatnya sedang dalam kesusahan atau tidak.
  • Wangsa, artinya seorang raja atau pemimpin harus mengetahui susunan masyarakat (stratifikasi sosial) agar dapat menentukan pendekatan apa yang harus digunakan.
  • Guna, artinya seorang raja atau pemimpin harus mengetahui tingkat peradaban atau kepandaian dari rakyatnya sehingga ia bisa mengetahui apa yang diperlukan oleh rakyatnya.
·         Pañca Upaya Sandhi
Dalam Lontar Siwa Buddha Gama Tattwa disebutkan ada lima tahapan upaya yang harus dilakukan oleh seorang raja dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang menjadi tanggung jawab raja. Adapun bagian-bagian dari Pañca Upaya Sandi ini adalah :
  • Maya, artinya seorang pemimpin perlu melakukan upaya dalam mengumpulkan data atau permasalahan yang masih belum jelas duduk perkaranya (maya).
  • Upeksa, artinya seorang pemimpin harus meneliti dan menganalisis semua data-data tersebut dan mengkodifikasikan secara profesional dan proporsional.
  • Indra Jala, artinya seorang pemimpin harus bisa mencarikan jalan keluar dalam memecahkan persoalan yang dihadapi sesuai dengan hasil analisisnya tadi.
  • Wikrama, artinya seorang pemimpin harus melaksanakan semua upaya penyelesaian dengan baik sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.
  • Logika, artinya seorang pemimpin harus mengedepankan pertimbangan-pertimbangan logis dalam menindak lanjuti penyelesaian permasalahan yang telah ditetapkan.
·         Asta Brata
Asta Brata adalah ajaran kepemimpinan yang diberikan oleh Sri Rama kepada Gunawan Wibhisana sebelum ia memegang tampuk kepemimpinan Alengka Pura pasca kemenangan Sri Rama melawan keangkaramurkaan Rawana. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pustaka Suci Manu Smrti IX.303 berikut ini
Hendaknya raja berbuat seperti perilaku yang sama dengan dewa-dewa, Indra, Surya, Wayu, Yama, Waruna, Candra, Agni dan Prthiwi (Pudja dan Sudharta,2002:607).
Hal itu kemudian ditegaskan dalam Kakawin Ramayana XXIV.52 sebagai berikut:
Sang Hyang Indra, Yama, Surya, Candra dan Bayu, Sang Hyang Kwera, Baruna dan Agni itu semuanya delapan. Semua beliau itu menjadi pribadi sang raja. Oleh karena itulah beliau harus memuja Asta Brata (Tim Penyusun,2004:98).
Ada perbedaan sedikit antara konsep Asta Brata dalam Pustaka Suci Manu Smrti dan Kakawin Ramayana. Pada Pustaka Suci Manu Smrti disebutkan Prthiwi Brata sementara itu pada Kakawin Ramayana disebutkan Kwera Brata. Semua raja harus memuja Asta Brata ini. Karena Asta Brata ini merupakan delapan landasan sikap mental bagi seorang pemimpin. Adapun delapan bagian Asta Brata tersebut adalah :
  • Indra Brata, kepemimpinan bagaikan Dewa Indra atau Dewa Hujan; Di mana hujan itu berasal dari air laut yang menguap. Dengan demikian seorang pemimpin berasal dari rakyat harus kembali mengabdi untuk rakyat.
  • Yama Brata, kepemimpinan yang bisa menegakkan keadilan tanpa pandang bulu bagaikan Sang Hyang Yamadipati yang mengadili Sang Suratma.
  • Surya Brata, kepemimpinan yang mampu memberikan penerangan kepada warganya bagaikan Sang Surya yang menyinari dunia.
  • Candra Brata, mengandung maksud pemimpin hendaknya mempunyai tingkah laku yang lemah lembut atau menyejukkan bagaikan Sang Candra yang bersinar di malam hari.
  • Bayu Brata,  mengandung maksud pemimpin harus mengetahui pikiran atau kehendak (bayu) rakyat dan memberikan angin segar untuk para kawula alit atau wong cilik sebagimana sifat Sang Bayu yang berhembus dari daerah yang bertekanan tinggi ke rendah.
  • Baruna Brata, mengandung maksud pemimpin harus dapat menanggulangi kejahatan atau peyakit masyarakat yang timbul sebagaimana Sang Hyang Baruna membersihkan segala bentuk kotoran di laut.  
  • Agni Brata, mengandung maksud pemimpin harus bisa mengatasi musuh yang datang dan membakarnya sampai habis bagaikan Sang Hyang Agni.
  • Kwera atau Prthiwi Brata, mengandung maksud seorang pemimpin harus selalu memikirkan kesejahteraan rakyatnya sebagaimana bumi memberikan kesejahteraan bagi umat manusia dan bisa menghemat dana sehemat-hematnya seperti Sang Hyang Kwera dalam menata kesejahteraan di kahyangan.

·         Nawa Natya
Dalam Lontar Jawa Kuno yang berjudul “Nawa Natya” dijelaskan bahwa seorang raja dalam memilih pembantu-pembantunya (menterinya). Ada sembilan kriteria yang harus diperhatikan oleh seorang raja dalam memilih para pembantunya. Sembilan kriteria inilah yang dikenal sebagai Nawa Natya. Adapun kesembilan kriteria itu adalah:
1.    Prajña Nidagda (bijaksana dan teguh pendiriannya).
2.    Wira Sarwa Yudha (pemberani dan pantang menyerah dalam setiap medan perang).
3.   Paramartha (bersifat mulia dan luhur)
4.   Dhirotsaha (tekun dan ulet dalam setiap pekerjaan)
5.   Wragi Wakya (pandai berbicara atau berdiplomasi)
6.   Samaupaya (selalu setia pada janji)
7.   Lagawangartha (tidak pamrih pada harta benda)
8.   Wruh Ring Sarwa Bastra (bisa mengatasi segala kerusuhan)
9.    Wiweka (dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk)

·         Pañca Dasa Pramiteng Prabhu
Dalam Lontar Negara Kertagama, Rakawi Prapañca menuliskan keutamaan sifat-sifat Gajah Mada sebagai Maha Patih Kerajaan Majapahit. Sifat-sifat utama itu pula yang mengahantarkan Majapahit mencapai puncak kejayaannya. Sifat-sifat utama tersebut ada 15 yang disebut sebagai Pañca Dasa Pramiteng Prabhu. Adapun kelima belas bagian dari Pañca Dasa Pramiteng Prabhu tersebut adalah :
1.        Wijayana (bijaksana dalam setiap masalah)
2.        Mantri Wira (pemberani dalam membela negara)
3.        Wicaksananengnaya (sangat bijaksana dalam memimpin)
4.        Natanggwan (dipercaya oleh rakyat dan negaranya)
5.        Satya Bhakti Prabhu (selalu setia dan taat pada atasan)
6.        Wagmiwak (Pandai bicara dan berdiplomasi)
7.        Sarjawa Upasama (sabar dan rendah hati)
8.        Dhirotsaha (teguh hati dalam setiap usaha)
9.        Teulelana (teguh iman dan optimistis)
10.    Tan Satrsna (tidak terlihat pada kepentingan golongan atau pribadi)
11.    Dibyacita (lapang dada dan toleransi)
12.    Nayakken Musuh (mampu membersihkan musuh-musuh negara)
13.    Masihi Samasta Bawana (menyayangi isi alam)
14.    Sumantri (menjadi abdi negara yang baik)
15.    Gineng Pratigina (senantiasa berbuat baik dan menghindari pebuatan buruk)
·         Sad Upaya Guna
Dalam Lontar Rajapati Gondala dijelaskan ada enam upaya yang harus dilakukan oleh seorang raja dalam memimpin negara. Keenam upaya ini disebut juga sebagai Sad Upaya Guna. Adapun keenam upaya tersebut adalah : Siddhi (kemampuan bersahabat); Wigrha (memecahkan setiap persoalan); Wibawa (menjaga kewibawaan); Winarya (cakap dalam memimpin); Gascarya (mampu menghadapi lawan yang kuat) dan Stanha (menjaga hubungan baik).
Dalam lontar yang sama disebutkan pula ada 10 macam orang yang bisa dijadikan sahabat oleh Raja. Kesepuluh macam tersebut adalah orang yang :
  1. Satya (jujur)
  2. Arya (orang besar/mulia)
  3. Dharma (baik)
  4. Asurya (dapat mengalahkan musuh)
  5. Mantri (bisa mengabdi dengan baik)
  6. Salya Tawan (banyak kawannya)
  7. Bali (kuat dan sakti)
  8. Kaparamarthan (mempunyai visi yang jelas)
  9. Kadiran (tetap pendiriannya)
  10. Guna (banyak ilmunya)
·         Pañca Satya
Selain upaya, sifat dan kriteria sebagaimana yang telah disebutkan di atas, masih ada satu lagi landasan bagi pemimpin Hindu dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari. Landasan ini ada lima yang dikenal sebagai Pañca Satya. Lima Satya ini harus dijadikan sebagai landasan bagi seorang pemimpin Hindu di manapun dia berada. Kelima landasan itu adalah :
  1. Satya Hrdaya (jujur terhadap diri sendiri / setia dalam hati)
  2. Satya Wacana (jujur dalam perkataan / setia dalam ucapan)
  3. Satya Samaya (setia pada janji)
  4. Satya Mitra (setia pada sahabat)
  5. Satya Laksana (jujur dalam perbuatan)
Kelima ini juga harus dijadikan pedoman dalam hidupnya. Sehingga ia akan menjadi seorang pemimpin yang hebat, berwibawa, disegani dan sebagainya.
Tingkat keberhasilan dari seorang pemimpin dalam memimpin itu sendiri ditentukan oleh dua faktor, yaitu : faktor usaha manusia (Manusa atau jangkunging manungsa) dan faktor kehendak Tuhan (Daiwa atau jangkaning Dewa). Sementara tingkat keberhasilannya bisa berupa penurunan (Ksaya), tetap atau stabil (Sthana) dan peningkatan atau kemajuan (Vrddhi) (Kautilya,2004:392-393)
2.3.3  Kriteria Pokok Pemimpin Bali
Dalam upaya menyambung kekokohan tradisi budaya yang luhur dan luhur (tekstual), mempertahankan prestasi pembangunan Bali yang terpuji serta kemampuan secara cerdas mengantisipasi berbagai peluang dan tantangan ke depan (kontekstual), maka kriteria utama pemimpin yang diharapkan Provinsi Bali adalah sebagai berikut:
§  Kriteria kualitatif
Kokoh dalam jati diri, mampu berpijak dan menerapkan konsep Asta Bratha yang berlandaskan Tri Kaya Parisudha. Profil ini sangat  Ideal dari berbagai aspek secara komprehensif dan punya komitmen tinggi dalam perwujudan Jagadhita Bhuana Agung dan Bhuana Alit.
Visioner dan Bersih, profil pemimpin visioner memiliki wawasan luas berdimensi lokal yang mampu melindungi local Genius dan berdimensi keandalan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta menjunjung tinggi moral, etika, kejujuran dan kebenaran (Dharma)
Reformis, Nasionalis, dan Kokoh kebaliannya, Profil pemimipin ini mampu menawarkan ide-ide pembaharuan kearah perbaikan, kokoh dalam jiwa nasionalisme yang berpijak kepada aplikasi konsep Bhineka Tunggal Ika, serta loyal dalam membangun kesatuan dan keragaman Indonesia. Juga loyal, berani dan mampu menjaga keajegan Bali dari tiga aspek yaitu 1) Adat dan Budaya yang dilandasi atas nuansa religius dan spiritual, 2) Mengajegkan Tanah Bali, 3) Menjaga Populasi orang bali demi menjaga Bali yang utuh, maju dan beradab.
Modern dan profesional, profil pemimpin ini mampu menerapkan asas-asas kepemimpinan dan manajemen yang modern dan profesional, kuat dalam nuansa perencanaan, implementasi, koordinasi dan pengawasan. Mereka adalah sosok negarawan yang kharismatik mampu membangun pemerintahan yang baik dan bersih, serta menghidupkan komuniti yang partisipasif dan mengembangkan jaringan secara luas.
§  Kriteria Kuantitatif
Sehat secara fisik dan mental, juga secara hukum, social, ekonomi, pilitik dan agama yang dapat diukur dengan parameter yang jelas. Berusia 45-55 tahun
Rentangan usia tersebut dianggap cukup memadai memiliki kematangan psikologis-emosional-nasional, serta masih cukup tegas secara fisik jasmaniah.
Pendidikan minimal sarjana (S1), pemimpin masa depan harus kokoh dalam dasar pendidikan. Sarjana adalah modal dasar untuk kualitas SDM. Dengan latar belakang kesarjanaan, pemimpin tersebut akan memiliki PD yang tinggi, cendrung terbuka dan kritis terhadap ide-ide baru, peka terhadap peluang kemajuan, mampu mengedepankan otak dari pada otot.
Memiliki jenjang karier yang bagus. Secara kuantitatif, jenjang karier ini dapat dicermati melalui Curiculum Vitae pemimpin yang bersangkitan. CV mengakumulasikan komponen basik dan jenjang pengalaman sebagai refliksi kematangan psiko-kutural-agama.

§  Kriteria Khusus dan Perspektif Agama, Sosial, Budaya dan Seni.
Memiliki apresiasi seni tinggi dan berwawasan budaya dan menjungjung Dharma agama yang mapan berjiwa reigius. Profil pemimipin ini diharapkan benar-benar memahami hakekat, jiwa dan inti kehidupan masyarakat dan kebudayaan sebagai masyarakat seni. Mereka adalah tokoh yang mengakar masyarakat, berkharisma dan dipercaya, mampu bersama publikmengantarkar kemajuan dan mewujudkan kesejahteraan yang merata. Pemimpin yang mengedepankan wawasan budaya, berpotensi lebih mampu menggerakkan dinamika pembangunan secara harmonis , arif, sejuk, damai dan humanis.
Provinsi Bali adalah provinsi berbudaya Hindu dan seni dalam citra, rencana dan realitas. Sepuluh tahun terakhir, Bali mencapai prestasi dan kemajuan yang amat pesat dan berarti dan dapat berfungsi sebagai modal dasar (inner and outer power) bagi pembangunan Bali berkelanjutan. Kedepan dalam kurun waktu 20010-2015 peluang dan tatanan Bali makin besar dan kompleks secara sektoral, lintas sektor dalam konteks lokal, nasional, global. Untuk mampu merespon kondisi aktual secara positif dan konstruktif diperlukan figur pemimpin yang unggul dan berkualitas tinggi: (1) kokoh dalam jati diri, pijakan tradisi dan budaya:(2) cerdas dengan wawasan modern yang visioner dan profesional; (3) mampu berbuat dan mengantarkan masyarakat Bali melalui aksi nyata yang bertumpu pada paradigma kenyataan, demokrasi dan keadilan.
Maka demi menjaga keajegan segala aspek Agama, sosial, budaya dan seni di Bali, sudah seyogyanya pemimpin dan rakyat Bali berbuat lebih maksimal lagi, untuk menjaga nilai-nilai kearifan lokal agar tetap ajeg. Hal itu sangat jelas dan dipandang sebagai sesuatu yang wajar, karena Bali memiliki ciri-ciri khas di bidang religi, sosial, dan budaya dan seni. Keempat hal itu perlu dipupukkembangkan selain demi kesejahteraan umat Hindu di Bali, juga karena memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan industri pariwisata nasional. Para pemimpin Bali seharusnya bertekat bulat agar rakyat Bali menjadi tuan di tanah kelahirannya sendiri, ingin mengatur rumah tangganya dengan kekuatan sendiri, mandiri, dan ingin mempertahankan warisan leluhurnya yang bernilai sangat tinggi. Rakyat Bali-pun ingin anak-cucunya dikemudian hari mencapai moksartham jagaditaya ca iti dharmah yakni kebahagiaan lahir dan bathin sesuai dengan ajaran Agama Hindu. Politik pemerintahan yang sesuai di Bali adalah seperti yang diatur dalam Reg Veda II sampai IX, di mana secara panjang lebar telah diulas tentang persyaratan pemimpin, pengambilan sumpah jabatan, swadharma pemimpin, dan model demokrasi menurut ajaran Veda.
Apabila pemimpin itu mampu mewujudkan secara keseluruhan, maka para pemimpin mulai tingkat Gubernur sampai Kepala Desa di Bali diharapkan melaksanakan pola dan kebijakan pemerintahan menurut Veda, dan untuk ini pihak legislatif dan eksekutif didampingi pemimpin-pemimpin umat Hindu terlebih dahulu merancangnya dengan matang. Sekolah dan lembaga pendidikan di semua tingkatan dapat pula ditata bernuansa Hindu, sosial, budaya dan seni. Dengan kata singkat, kriteria khusus itu diperlukan agar Bali dapat menata kehidupan religi, sosial, seni dan budaya menurut ajaran Agama Hindu.
2.4. Pemimpin di Era Globalisasi
            Era globalisasi yang ditandai dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit. Dalam kondisi seperti ini, kepemimpinan menjadi hal yang sangat penting bahkan menentukan dalam pencapaian suatu tujuan kelompok atau organisasi, untuk mengarahkan dan mengatur orang-orang untuk mencapai tujuan.
Orang yang mau menjadi pemimpinpun semakin banyak bermunculan, tanpa memandang kasta, asal, maupun umur. Ketika seseorang merasa mampu maka dia akan mencoba menjadi seorang pemimpin. Proses pemilihan pemimpin yang sarat dengan permainan politik sudah tidak asing bagi semua kalangan di era globalisasi ini. Akan tetapi, dari banyaknya orang yang mencalonkan diri menjadi pemimpin sangat sulit ditemukan pemimpin yang baik, tetapi kalau pemimpin yang pintar dan hebat banyak.
Mencari pemimpin yang baik inilah menjadi kendala bagi seluruh lapisan masyarakat, banyak pemimpin yang mendapatkan jabatannya karena permainan uang (money politic), alhasil setelah naik yang menjadi prioritas adalah mengembalikan modal awal. Lalu bagaimana dengan bawahan? Akan menjadi urusan ke sekian dalam benaknya, malahan rakyat akan tidak diperhatikan. Yang lebih parah lagi, penyimpangan wewenang sering terjadi hanya dengan maksud mengutamakan kepentingan pribadi.
Berkaca dari hal tersebut, sudah sewajibnya kepemimpinan di era globalisasi ini mendapat perhatian khusus dari berbagai kalangan. Kepemimpinan pada zaman terdahulu, seperti masa-masa kerajaan sepintas terlihat lebih bagus padahal kalau dilihat dari proses penentuan pemimpin sekarang ini lebih terstruktur. Peradaban memang terus berganti, pembaharuan dalam tatanan kehidupan juga terus terjadi, akan tetapi perubahan yang terjadi tidak selamanya membawa kebaikan bagi semua pihak.
2.5 Ajaran Niti Satra di Era Globalisasi
Kitab atau susastra Hindu yang banyak mengulas tentang konsep-konsep kepemimpinan termasuk etika dan moral di dalamnya disebut dengan kitab “Niti Sastra”. Kata ini berasal dari Kata Sanskerta “ niti ” yang berarti bimbingan, dukungan, bijaksana, kebijakan, etika. Sedangkan “ sastra “ berarti perintah, ajaran, nasihat, aturan, teori, dan tulisan ilmiah. Berdasarkan uraian diatas di atas maka kata Nitisastra berarti ajaran pemimpin. Dengan demikian ruang lingkup niti sastra tentu sangat luas mencakup pula etika, moralitas, sopan santun dan sebagainya. Dari pemahaman etimologis tersebut maka “ niti sastra ” dapat diartikan sebagai keseluruhan sastra yang memberikan ketentuan, bimbingan, arahan bagi umat manusia dalam berbagai aspek kehidupan agar menjadi lebih teratur, terarah, dan lebih baik.
Untuk memahami kepemimpinan Hindu atau kepemimpinan yang universal, seseorang dianjurkan untuk mempelajari niti sastra. Mengingat, pengetahuan dan pemahaman sejarah/konsep pemikiran Hindu (niti sastra) di bidang Politik, ketatanegaraan, ekonomi, dan hukum yang masih relevan sampai kini. Konsep-konsep tersebut adalah sumber penting yang memberi kontribusi perkembangan konsep-konsep selanjutnya  di India, Asia bahkan, dunia. Adapun kontribusi niti sastra dalam peradaban global antara lain:
a)      Pemikiran dalam niti sastra dapat memberi masukan penting berupa konsep dan nilai positif dalam pengembangan, pembaharuan, penyusunan kembali konsep-konsep politik, ketatanegaraan, ekonomi, peraturan hukum era kini.
b)      Usaha menggali, mengangkat nilai-nilai Hindu sebagai sumbangan Hindu dalam percaturan dunia keilmuan. Paradigma sosial bahwa politik itu kotor dapat hilang.
Apabila ajaran nitisastra dibangkitkan kembali di era globalisasi ini, maka pemimpin dalam kepemimpinannya akan lebih mampu mengemban tugas yang harus dikerjakan. Sebagaimana pemimpin dalam ajaran nitisastra sesuai yang tertuang dalam dalam lontar Raja Pati Gondala harus memiliki sepuluh hal yang selalu melekat pada dirinya, yaitu:
a)      Satya, artinya kejujuran
b)      Arya, artinya orang besar
c)      Dharma, artinya kebajikan
d)     Asurya, artinya orang yang dapat mengalahkan musuh
e)      Mantri, artinya orang yang dapat mengalahkan kesusahan
f)       Salyatawan, artinya orang yang banyak sahabatnya.
g)      Bali, artinya orang yang kuat dan sakti.
h)      Kaparamarthan, artinya kerohanian
i)        Kadiran, artinya orang yang tetap pendiriannya
j)        Guna, artinya orang yang pandai.
Dengan perpaduan antara sistem demokrasi di era globalisasi ini dengan ajaran nitisastra, maka tidak akan kesulitan menemukan seorang pemimpin yang baik. Pemimpin yang mampu menjalankan tapuk kepemimpinan sesuai keinginan rakyat. Pemimpin akan mampu menjalankan tugas-tugasnya sesuai dengan Dharma Agama dan Dharma Negara. Masyarakat akan menjadikan pimpinannya sebagai panutan tanpa lagi ada istilah memaksakan bahwa yang boleh menjadi pemimpin hanya dari satu garis keturunan. Semua orang yang memiliki kriteria dalam ajaran nitisastra layak menjadi pemimpin.


















BAB III
PENUTUP
3.1      Kesimpulan
Kata Niti Sastra memang sudah tidak asing lagi dikalangan tokoh terpelajar, akan tetapi bagi masyarakat yang awam masih terasa asing dengan kata ini. Pada masyarakat Hindu di Bali lebih mengenal dengan istilah Kekawin Niti Sastra. Kekawin Niti Sastra berisikan tentang ilmu kepemimpinan yang bisa digunakan dan diterapkan kedalam kehidupan masyarakat dan pendidikan. Banyak tokoh yang mengatakan bahwa Niti Sastra adalah ajaran tentang ilmu politik, dan tidak sedikit juga berpandangan bahwa Niti Sastra berarti ilmu kepemimpinan.
Awal agama Hindu muncul diperkirakan pada tahun 3000-1300 sebelum masehi. Agama Hindu merupakan agama yang berasal dari anak benua India, yang merupakan kelanjutan dari agama Weda (Brahmaisme) yang merupakan kepercayaan ras Indo-Iran (Arya). Akulturasi budaya adalah salah satu cara didalam penyebaran agama Hindu, budaya-budayaa setempat diberikan berkembang dan tumbuh, diberikan legalisasi sebagai bentuk perpaduan yang utuh antara unsur agama dan budaya.
Pemimpin berarti oarang yang memimpin atau menuntun, juga memiliki padanan kata dalam bahasa Ingris yaitu leader. Sedangkan Kepemimpinan adalah suatu kemampuan dalam membimbing atau menuntun yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Sifat sebagai seorang pemimpin sudah ada semenjak kita dilahirkan. Menurut Dr. Kartini Kartono (dalam Sudhardana, 2008;33) dikatakn bahwa ada tiga teori yang menonjol yang menjelaskan seorang pe.mimpin, yakni: Teori genetis, teori sosial, dan teori ekologis.
Era globalisasi yang ditandai dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit. Dalam kondisi seperti ini, kepemimpinan menjadi hal yang sangat penting bahkan menentukan dalam pencapaian suatu tujuan kelompok atau organisasi, untuk mengarahkan dan mengatur orang-orang untuk mencapai tujuan.
Kitab atau susastra Hindu yang banyak mengulas tentang konsep-konsep kepemimpinan termasuk etika dan moral di dalamnya disebut dengan kitab “Niti Sastra”. Kata ini berasal dari Kata Sanskerta “ niti ” yang berarti bimbingan, dukungan, bijaksana, kebijakan, etika. Sedangkan “ sastra “ berarti perintah, ajaran, nasihat, aturan, teori, dan tulisan ilmiah. Berdasarkan uraian diatas di atas maka kata Nitisastra berarti ajaran pemimpin. Dengan demikian ruang lingkup niti sastra tentu sangat luas mencakup pula etika, moralitas, sopan santun dan sebagainya. Dari pemahaman etimologis tersebut maka “ niti sastra ” dapat diartikan sebagai keseluruhan sastra yang memberikan ketentuan, bimbingan, arahan bagi umat manusia dalam berbagai aspek kehidupan agar menjadi lebih teratur, terarah, dan lebih baik
3.2      Saran
Tentunya kami sebagai kelompok pembuat makalah sangat mengharapkan saran dari temen-temen dan dosen pembimbing mata kuliah ini, karena kami tau dalam makalah ini masih banyak kekurangan kami,tentunya kami meminta saran dan pendapat yang positif dan membangun.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar