BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Dalam kehidupan manusia, agama dan
budaya jelas tidak berdiri sendiri, keduanya memiliki hubungan yang sangat erat
dalam dialektikanya; selaras dalam menciptakan ataupun kemudian saling
menegasikan.
Agama sebagai pedoman hidup manusia
yang diciptakan oleh Tuhan, dalam menjalani kehidupannya. Sedangkan kebudayaan
sebagai kebiasaan tata cara hidup manusia yang diciptakan oleh manusia itu
sendiri dari hasil daya cipta, rasa dan karsanya yang diberikan oleh Tuhan. Agama
dan kebudayaan saling mempengaruhi satu sama lain. Agama mempengaruhi
kebudayaan, kelompok / masyarakat / suku / bangsa. Kebudayaan cenderung
mengubah-ubah keaslian agama sehingga menghasilkan penafsiran berlainan.
Agama merupakan
sistem kepercayaan yang meliputi tata cara peribadatan hubungan manusia dengan
sang mutlak, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam
lainnya sesuai dengan kepercayaan tersebut. Berdasarkan klasifikasi manapun
diyakini bahwa agama memiliki peranan signifikan bagi kehidupan manusia,
disebabkan agama terdapat seperangkat nilai yang menjadi pedoman dan pegangan
manusia. Salah satunya adalah dalam hal moral.
Moral adalah sesuatu yang berkenaan dengan baik dan buruk.
1.2 Perumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Agama?
2. Apa yang dimaksud dengan Kebudayaan?
3. Apa yang dimaksud dengan moralitas ?
4. Apa hubungan Agama dan Kebudayaan?
5. Apa hubungan Agama dan moralitas ?
1.3 Tujuan
Penulisan
Tujuan utama dari penyusunan makalah
ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Agama.
1.4 Manfaat
Penulisan
Manfaat yang dapat diambil dari
penulisan ini ialah penyusun dan pembaca dapat mengerti hubungan agama dan
kebudayaan serta hubungan Agama dan moralitas dengan lebih jelas.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Agama dan Kebudayaan
2.1.1
Agama
A. Pengertian Agama
Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti
tidak dan gama berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti
sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara
integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan,
sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama
sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau
sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan
alam sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama
tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan
diberlakukan.
Sebagian lain
mengatakan a adalah cara, gama adalah jalan, agama
berarti cara jalan, maksudnya cara berjalan untuk menempuh keridhaan Tuhan. Dalam bahasa
inggris agama disebut religion, berasal dari bahasa latin leregele artinnya
mengumpulkan, membaca. Relegion mengandung pengertian kumpulan cara-cara
peribadatan yang terdapat dalam kitab suci yang harus dibaca.
Dalam bahasa
arab agama adalah din yang secara
etimologis memiliki arti balasan atau
pahala, ketentuan, kekuasaan,
pengaturan, perhitungan, taat, patuh
dan kebiasaan. Agama memang membawa peraturan, hukum yang harus dipatuhi,
menguasai dan menuntut untuk patuh kepada Tuhan dengan menjalankan ajarannya,
membawa kewajiban yang jika tidak dilaksanakan akan menjadi hutang yang akan
membawa balasan baik kepada yang taat memberi balasan buruk kepada yang tidak
taat.
Secara
terminologis, Hasby as-siddiqi mendefinisikan agama sebagai dustur (undang-undang) ilahi yang
didatangkan Allah untuk menjadi pedoman hidup dan kehidupan manusia didunia
untuk mencapai kerajaan dunia dan kesejahteraan akhirat. Agama adalah peraturan
Tuhan yang diberikan kepada manusia yang berisi sistem kepercayaan, sistem
penyembahan dan sistem kehidupan manusia untuk mencapai kebahagiaan didunia dan
diakhirat.
Menurut endang
saefudin anshari (1990) Agama meliputi sistem kredo kepercayaan atas adanya
sesuatu yang mutlak diluar manusia, sistem ritus tatacara peribadatan manusia
kepada yang mutlak dan sistem norma atau tata kaidah yang mengatur hubungan
manusia dengan sesama manusia dan hubungan dengan alam lainnya sesuai dan
sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan tersebut.
Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion
(bahasa Inggris) yang berasal dari kata religio (bahasa Latin), yang berakar
pada kata religare yang berarti mengikat. Dalam pengertian religio termuat
peraturan tentang kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya dengan
realitas tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungan antar sesamanya
(horizontal).
Agama itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan
realitas tertinggi secara misterius yang menakutkan tapi sekaligus
mempesonakan Dalam pertemuan itu manusia tidak berdiam diri, ia harus
atau terdesak secara batiniah untuk merespons.Dalam kaitan ini ada juga yang
mengartikan religare dalam arti melihat kembali kebelakang kepada hal-hal yang
berkaitan dengan perbuatan tuhan yang harus diresponnya untuk menjadi pedoman
dalam hidupnya.
B. Unsur-Unsur Agama
Unsur-unsur penting yang terdapat dalam
Agama ialah :
1.
Unsur
Kekuatan Gaib : Manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan gaib
itu sebagai tempat minta tolong. Oleh karena itu, manusia merasa harus
mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Hubungan baik ini dapat
diwujudkan dengan mematuhi perintah dan larangan kekuatan gaib itu sendiri.
2.
Keyakinan
Manusia : bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di akhirat
tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Dengan
hilangnya hubungan baik itu, kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari akan
hilang pula.
3.
Respons
yang bersifat Emosionil dari manusia : Respons itu bisa mengambil bentuk
perasaan takut, seperti yang terdapat dalam agama – agama primitif, atau perasaan
cinta, seperti yang terdapat dalam agama – agama monoteisme. Selanjutnya
respons mengambil bentuk penyembahan yang terdapat dalam agama primitif, atau
pemujaan yang terdapat dalam agama – agama monoteisme. Lebih lanjut lagi
respons itu mengambil bentuk cara hidup tertentu bagi masyarakat yang
besangkutan.
4.
Paham
adanya yang kudus (saered) dan suci : dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk
kitab yang mengandung ajaran – ajaran agama bersangkutan dan dalam bentuk
tempat – tempat tertentu.
C. Cara Beragama
Berdasarkan
cara beragamanya:
a)
Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara
beragamanya nenek moyang, leluhur atau orang-orang dari angkatan sebelumnya.
b) Formal,
yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya atau
masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang yang
berkedudukan tinggi atau punya pengaruh.
c) Rasional,
yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka
selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan,
ilmu dan pengamalannya.
d) Metode
Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan)
dibawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran
agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah)
D.
Agama
di Indonesia
Enam agama
besar yang paling banyak dianut di Indonesia,
yaitu: agama Islam,
Kristen (Protestan)
dan Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Sebelumnya, pemerintah Indonesia pernah melarang pemeluk Konghucu melaksanakan
agamanya secara terbuka. Namun, melalui Keppress No. 6/2000, Presiden
Abdurrahman Wahid mencabut larangan tersebut. Tetapi sampai kini masih banyak
penganut ajaran agama Konghucu yang mengalami diskriminasi dari pejabat-pejabat
pemerintah.
2.1.2
Kebudayaan
A.
Pengertian
kebudayaan
Kata budaya menurut Koentjaraningrat (1987:180) adalah
keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil kerja manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.
Jadi budaya diperoleh melalui belajar. Tindakan-tindakan
yang dipelajari antara lain cara makan, minum, berpakaian, berbicara, bertani,
bertukang, berrelasi dalam masyarakat adalah budaya. Tapi kebudayaan
tidak saja terdapat dalam soal teknis tapi dalam gagasan yang terdapat dalam
fikiran yang kemudian terwujud dalam seni, tatanan masyarakat, ethos kerja dan
pandangan hidup. Yojachem Wach berkata tentang pengaruh agama terhadap budaya
manusia yang immaterial bahwa mitologis hubungan kolektif tergantung pada pemikiran
terhadap Tuhan. Interaksi sosial dan keagamaan berpola kepada bagaimana mereka
memikirkan Tuhan, menghayati dan membayangkan Tuhan (Wach, 1998:187).
Kebudayaan adalah suatu tata cara hidup sekelompok manusia
yang menyangkut / menghasilkan :
1.
Kebiasaan
2.
Kepercayaan
3.
Keyakinan
4.
Pedoman-pedoman
5.
Mental
6.
Akhlaq
7.
Kejiwaan
8.
Ritual-ritual / Upacara-upacara
9.
Adat
10.
Ikatan
11.
Kekuatan spiritual
Kesemuanya ini dipupuk sedikit demi sedikit dari tatacara
hidup para leluhur di sekelompok masyarakat pada suatu daerah /
negeri. Perpaduan antara 2 masyarakat yang berlainan kebudayaan
menimbulkan pengaruh terhadap kebudayaan yang telah ada dan lahirlah
suatu kebudayaan komposisi baru. Perubahan ini berlaku dari masa kemasa.
Hal-hal yang mempengaruhi kebudayaan terdiri atas perbagai
faktor antara lain :
1.
Perkembangan teknologi (phenomena-phenomena)
2.
Perubahan cara hidup.
3.
Pengaruh materi
4.
Pengaruh lingkungan
5.
Kesenian
6.
Pendidikan
7.
Perjuangan / persaingan antara bangsa (perang)
8.
Perubahan mental sebab teknologi.
9.
Kepadatan penduduk.
10. Pengaruh-pengaruh
alam setempat (iklim, daerah tandus, pegunungan, air )
Budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi
manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu
agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis,
budaya dan beberapa kondisi yang objektif.
Kebudayaan merupakan gambaran totalitas manusia dalam semua
lini kehidupan masyarakat yang merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia.
Sifat hakiki dari
kebudayaan antara lain
·
Budaya
terwujut dan tersalurkan dari perilaku manusia
·
Budaya
telah ada terlebih dahulu dari pada lahirnya suatu generasi dan tidak akan mati
dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan
·
Budaya
diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya
·
Budaya
mencakup aturan-aturan yang berisi kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan yang
diterima dan ditolak, dilarang dan di izinkan
Menurut
Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya,
rasa, dan cipta masyarakat.
i. Perwujudan Kebudayaan
Menurut
pandangan Koentjaraningrat, kebudayaan itu paling sedikit
memiliki 3 (tiga) wujud, yaitu:
a) Keseluruhan ide, gagasan, nilai, norma,
peraturan, dan sebagainya yang berfungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi
arah pada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat, yang disebut “adat
tata kelakuan”.
b) Keseluruhan aktivitas kelakuan berpola
dari manusia dalam masyarakat, yang disebut “sistem sosial”. Sistem sosial
terdiri dari rangkaian aktivitas manusia dalam masyarakat yang selalu mengikuti
pola-pola tertentu berdasarkan adat tata kelakuan, misalnya gotong-royong dan
kerja sama.
c) Benda-benda hasil karya manusia yang
disebut “kebudayaan fisik”, misalnya pabrik baja, Candi Borobudur, pesawat
udara, computer, atau kain batik.
B.
Ciri-ciri Kebudayaan
Kebudayaan sebagai bagian dari
kehidupan manusia mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a.
Adanya wujud dari budaya berupa ide, gagasan dan
pemikiran serta hasil cipta, rasa dan karsa manusia.
b.
Adanya tujuan berbudaya berupa pemenuhan kebutuhan
hidup.
c.
Adanya proses dalam berbudaya berupa belajar.
d.
Adanya kegunaan berbudaya berupa pewarisan pada
generasi sesudahnya.
2.1.3
Hubungan
Agama Dan Kebudayaan
Jika kita
teliti budaya Indonesia, maka budaya itu terdiri dari 5 lapisan. Lapisan
itu diwakili oleh budaya agama pribumi, Hindu, Buddha, Islam dan Kristen
(Andito, ed,1998:77-79)
Lapisan pertama
adalah agama pribumi yang memiliki ritus-ritus yang berkaitan dengan
penyembahan roh nenek moyang yang telah tiada atau lebih setingkat yaitu
Dewa-dewa suku seperti sombaon di Tanah Batak, agama Merapu di Sumba,
Kaharingan di Kalimantan. Dari agama pribumi bangsa Indonesia mewarisi
kesenian dan estetika yang tinggi dan nilai-nilai kekeluargaan yang sangat
luhur.
Lapisan kedua
dalah Hinduisme, yang telah meninggalkan peradaban yang menekankan pembebasan
rohani agar atman bersatu dengan Brahman maka dengan itu ada solidaritas
mencari pembebasan bersama dari penindasan sosial untuk menuju kesejahteraan
yang utuh.
Lapisan ketiga
adaalah agama Buddha, yang telah mewariskan nilai-nilai yang menjauhi ketamakan
dan keserakahan. Bersama dengan itu timbul nilai pengendalian diri dan mawas
diridengan menjalani 8 tata jalan keutamaan.
Lapisan keempat
adalah agama Islam yang telah menyumbangkan kepekaan terhadap tata tertib
kehidupan melalui syari’ah, ketaatan melakukan shalat dalam lima waktu,kepekaan
terhadap mana yang baik dan mana yang jahat dan melakukan yang baik dan
menjauhi yang jahat (amar ma’ruf nahi munkar) berdampak pada pertumbuhan akhlak
yang mulia. Inilah hal-hal yang disumbangkan Islam dalam pembentukan budaya
bangsa.
Lapisan kelima
adalah agama Kristen, baik Katholik maupun Protestan. Agama ini menekankan
nilai kasih dalam hubungan antar manusia. Tuntutan kasih yang dikemukakan
melebihi arti kasih dalam kebudayaan sebab kasih ini tidak menuntutbalasan
yaitu kasih tanpa syarat. Kasih bukan suatu cetusan emosional tapi sebagai
tindakan konkrit yaitu memperlakukan sesama seperti diri sendiri. Dipandang
dari segi budaya, semua kelompok agama di Indonesia telah mengembangkan budaya
agama untuk mensejahterakannya tanpa memandang perbedaan agama, suku dan ras.
Disamping
pengembangan budaya immaterial tersebut agama-agama juga telah berhasil
mengembangkan budaya material seperti candi-candi dan bihara-bihara di Jawa
tengah, sebagai peninggalan budaya Hindu dan Buddha, sedang budaya Islam antara
lain telah mewariskan Masjid Agung Demak (1428) di Gelagah Wangi Jawa Tengah.
Masjid ini beratap tiga susun yang khas Indonesia, berbeda dengan masjid Arab
umumnya yang beratap landai. Atap tiga susun itu menyimbolkan Iman, Islam dan
Ihsan. Masjid ini tanpa kubah, benar-benar has Indonesia yang mengutamakan
keselarasan dengan alam.Masjid Al-Aqsa Menara Kudus di Banten bermenaar dalam
bentuk perpaduan antara Islam dan Hindu. Masjid Rao-rao di Batu Sangkar
merupakan perpaduan berbagai corak kesenian dengan hiasan-hiasan mendekati gaya
India sedang atapnya dibuat dengan motif rumah Minangkabau (Philipus Tule
1994:159).
Kenyataan
adanya tersebut membuktikan bahwa agama-agama di Indonesia telah membuat
manusia makin berbudaya sedang budaya adalah usaha manusia untuk menjadi
manusia.
Pengaruh timbal
balik antara agama dan budaya:
1.
Agama mempengaruhi kebudayaan, kelompok / masyarakat /
suku / bangsa.
2.
Kebudayaan cenderung mengubah-ubah keaslian agama
sehingga menghasilkan penafsiran berlainan.
Hal pokok bagi
semua agama adalah bahwa agama berfungsi sebagai alat pengatur dan sekaligus
membudayakannya dalam arti mengungkapkan apa yang ia percaya dalam
bentuk-bentuk budaya yaitu dalam bentuk etis, seni bangunan, struktur
masyarakat, adat istiadat dan lain-lain. Jadi ada pluraisme budaya berdasarkan
kriteria agama. Hal ini terjadi karena manusia sebagai homoreligiosus merupakan
insan yang berbudidaya dan dapat berkreasi dalam kebebasan menciptakan berbagai
objek realitas dan tata nilai baru berdasarkan inspirasi agama
Kebudayaan
dikenal karena adanya hasil-hasil atau unsur-unsurnya. Unsur-unsur kebudayaan terus
menerus bertambah seiring dengan perkembangan hidup dan kehidupan. Manusia
mengembangkan kebudayaan; kebudayaan berkembang karena manusia. Manusia disebut
makhluk yang berbudaya, jika ia mampu hidup dalam atau sesuai budayanya.
Sebagian makhluk berbudaya, bukan saja bermakna mempertahankan nilai-nilai
budaya masa lalu atau warisan nenek moyangnya; melainkan termasuk mengembangkan
(hasil-hasil) kebudayaan.
Di samping
kerangka besar kebudayaan, manusia pada komunitasnya, dalam interaksinya
mempunyai norma, nilai, serta kebiasaan turun temurun yang disebut tradisi.
Tradisi biasanya dipertahankan apa adanya; namun kadangkala mengalami sedikit
modifikasi akibat pengaruh luar ke dalam komunitas yang menjalankan tradisi
tersebut. Misalnya pengaruh agama-agama ke dalam komunitas budaya (dan tradisi)
tertentu; banyak unsur-unsur kebudayaan (misalnya puisi-puisi, bahasa,
nyanyian, tarian, seni lukis dan ukir) di isi formula keagamaan sehingga
menghasilkan paduan atau sinkretis antara agama dan kebudayaan.
Kebudayaan dan
berbudaya, sesuai dengan pengertiannya, tidak pernah berubah; yang mengalami
perubahan dan perkembangan adalah hasil-hasil atau unsur-unsur kebudayaan.
Namun, ada kecenderungan dalam masyarakat yang memahami bahwa hasil-hasil dan
unsur-unsur budaya dapat berdampak pada perubahan kebudayaan.
Perbedaan
antara agama dan budaya tersebut menghasilkan hubungan antara iman-agama dan
kebudayaan. Sehingga memunculkan hubungan (bukan hubungan yang saling
mengisi dan membangun) antara agama dan budaya. Akibatnya, ada beberapa
sikap hubungan antara Agama dan Kebudayaan, yaitu:
1. Sikap Radikal: Agama menentang Kebudayaan. Ini merupakan
sikap radikal dan ekslusif, menekankan pertantangan antara Agama dan
Kebudayaan. Menurut pandangan ini, semua sikon masyarakat berlawanan dengan
keinginan dan kehendak Agama. Oleh sebab itu, manusia harus memilih Agama
atau Kebudayaan, karena seseorang tidak dapat mengabdi kepada dua tuan.
Dengan demikian, semua praktek dalam unsur-unsur kebudayaan harus ditolak
ketika menjadi umat beragama.
2. Sikap Akomodasi: Agama Milik
Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan keselarasan antara Agama dan kebudayaan.
3. Sikap Perpaduan: Agama di atas Kebudayaan. Sikap ini
menunjukkan adanya suatu keterikatan antara Agama dan kebudayaan. Hidup dan
kehidupan manusia harus terarah pada tujuan ilahi dan insani; manusia harus
mempunyai dua tujuan sekaligus.
4. Sikap Pambaharuan: Agama
Memperbaharui Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan bahwa Agama harus memperbaharui
masyarakat dan segala sesuatu yang bertalian di dalamnya. Hal itu bukan
bermakna memperbaiki dan membuat pengertian kebudayaan yang baru; melainkan
memperbaharui hasil kebudayaan. Oleh sebab itu, jika umat beragama mau
mempraktekkan unsur-unsur budaya, maka perlu memperbaikinya agar tidak
bertantangan ajaran-ajaran Agama. Karena perkembangan dan kemajuan masyarakat,
maka setiap saat muncul hasil-hasil kebudayaan yang baru. Oleh sebab itu, upaya
pembaharuan kebudayaan harus terus menerus. Dalam arti, jika masyarakat lokal
mendapat pengaruh hasil kebudayaan dari luar komunitasnya, maka mereka wajib
melakukan pembaharuan agar dapat diterima, cocok, dan tepat ketika
mengfungsikan atau menggunakannya.
Karena adanya aneka ragam bentuk hubungan Agama dan
Kebudayaan tersebut, maka solusi terbaik adalah perlu pertimbangan –
pengambilan keputusan etis-teologis (sesuai ajaran agama). Dan untuk mencapai
hal tersebut tidak mudah.
Seperti halnya kebudayaan agama sangat menekankan makna dan
signifikasi sebuah tindakan. Karena itu sesungguhnya terdapat hubungan yang
sangat erat antara kebudayaan dan agama bahkan sulit dipahami kalua
perkembangan sebuah kebudayaan dilepaskan dari pengaruh agama. Sesunguhnya
tidak ada satupun kebudayaan yang seluruhnya didasarkan pada agama. Untuk
sebagian kebudayaan juga terus ditantang oleh ilmu pengetahuan, moralitas
secular, serta pemikiran kritis.
Meskipun tidak dapat disamakan, agama dan kebudayaan dapat saling
mempengarui. Agama mempengaruhi system kepercayaan serta praktik-praktik
kehidupan. Sebalikny akebudayaan pun dapat mempengaruhi agama, khususnya dalam
hal bagaimana agama di interprestasikan/ bagaimana ritual-ritualnya harus
dipraktikkan. Tidak ada agama yang bebas budaya dan apa yang disebut Sang
–Illahi tidak akan mendapatkan makna manusiawi yang tegas tanpa mediasi budaya,
dlam masyarakat Indonesia saling mempengarui antara agam dan kebudayaan sangat
terasa. Praktik inkulturasi dalam upacara keagamaan hamper umum dalam semua
agama.
Budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan
kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi
dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan
beberapa kondisi yang objektif.
Budaya agama tersebut akan terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan
perkembangan kesejarahan dalam kondisi objektif dari kehidupan penganutnya.
Hubungan kebudayaan dan agama tidak saling merusak, kuduanya
justru saling mendukung dan mempengruhi. Ada paradigma yang mengatakan bahwa ”
Manusia yang beragma pasti berbudaya tetapi manusia yang berbudaya belum tentu
beragama”.
2.1.4
Penerapan Hubungan agama dan kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari
Dalam kehidupan sehari-hari dapat
diambil beberapa contoh hubungan agama dan kebudayaan.
Pertama, ketika seseorang berpindah agama cara berfikir dan
cara hidupnya dapat berubah secara signifikan. dapat dilihat seseorang yang
beragama Kristen pindah menjadi agama islam maka pandangan hidupnya akan
berubah pula, missal: cara pandang mareka dalam berpakaian ketika mereka
beragama Kristen cara berpakain mereka kurang menutup aurat tetapi ketika
mereka telah beragam islam cara berpakaian mereka menutup aurat.
Kedua, ketika ibadah hari raya idul fitri, hari raya ini
dalam praktiknya tidak lagi menjadi perayaan “khas” penganut agama islam tetapi
sudah lebih merupakan tradisi bagi segenap masyarakat Indonesia. Saling maaf
memaafkan yang dulu tidak pernah terjadi di negeri-negeri timur tengah tetapi
masyarakat Indonesia justru di jadikan momemtum untuk membangun kembali tali
persaudaraan seta kesetiakawanan lintas etnoreligius.
Jadi agama dan kebudayaan sebenarnya tidak pernah
bertentangan karena kebudayaan bukanlah sesuatu yang mati, tapi berkembang
terus mengikuti perkembangan jaman. Demikian pula agama, selalu bisa berkembang
di berbagai kebudayaan dan peradaban dunia.
2.2 Agama Dan Moralitas
2.2.1
Agama
Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti
tidak dan gama berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti
sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara
integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan,
sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama
sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau
sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan
alam sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama
tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan
diberlakukan.
2.2.2 Moralitas
Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata ‘moral’
yaitu mos sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai
arti yang sama yaitu kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata
‘etika’, maka secara etimologis, kata ’etika’ sama dengan kata ‘moral’ karena
kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat. Dengan kata
lain, kalau arti kata ’moral’ sama dengan kata ‘etika’, maka rumusan arti kata
‘moral’ adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang
atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan
hanya bahasa asalnya saja yaitu ‘etika’ dari bahasa Yunani dan ‘moral’ dari
bahasa Latin.
Kewajiban – kewajiban yang berasal dari hati nurani kita,
dari kesadaran moral kita itu justru akan menghilangkan rasa nyaman, tentang
jiwa kita, pada saat kita tidak melaksanakan kewajiban/ yang diperintahkan oleh
hati nurani kita. tetapi pada saat kita sudah melaksanakan kewajiban kita yang
diperintahkan oleh moral kita, justru sebaliknya kita akan merasa nyaman,
tenang, tidak ada beban yang mengganjal, dan sebagainya
Contoh ; ketika mengerjakan soal ujian sudah ada kesadaran
moral terlebih dahulu / suara batin dalam diri kita. Sehingga kita akan
memperkuat motifasi kita atau memperlemah motifasi kita itu di sebabkan
karena suara batin. Suara batin pada kesadaran moral. Kalau kita mengingkari
kesadaran moral itu berarti kita tidak akan menjalankan menjalankan
kewajiban moral/ melanggar kesadaran moral. Kalau kita mengingkari suara batin,
kalau kita mengingkari kesadaran moral nanti kita tidak akan menjalankan
kewajiban moral . yang berarti nanti kita akan memiliki kebebasan moral, pada
saat kita sudah mendengar menjalankan kesadaran moral kedalam suara batin kita.
‘Moralitas’ (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti
yang pada dasarnya sama dengan ‘moral’, hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara
tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya segi moral suatu perbuatan atau
baik buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan
asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.
Menurut
para sosiolog agama dipandang sebagai institusi yang mengemban tugas agar
masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup lokal, regional, nasional
maupun mondial.
Secara
bahasa moralitas diartikan sebagai kesusilaan atau kedisiplinan batin.
moralitas juga disinonimkan dengan akhlak, budi pekerti, tabiat dan tingkah
laku.
Adapun
secara istilah moralitas diartikan dengan kualitas dalam perbuatan manusia yang
menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk yang mencakup
juga tentang pengertian tentang baik buruknya perbuatan manusia.
Moralitas
juga bisa diartikan sebagai serangkaian aturan, kebiasaan atau prinsip yang
mengatur prilaku manusia dalam hubungannya dengan sesama atau suatu prilaku
yang mencerminkan keluhuran manusia.
Adapun
sosial merupakan hal yang berkenaan dengan masyarakat atau hal-hal yang
bersifat kepentingan umum.
Jadi,
moralitas sosial dengan demikian berarti tindakan-tindakan individu dan
masyarakat yang merujuk pada atau berdasarkan kebiasan-kebiasan atau
nilai-nilai tertentu yang telah disepakati bersama.
A.
Aspek
Moralitas Sosial
Pertama,
Durkheim yakin bahwa moralitas adalah suatu fakta sosial, dengan kata
lain, bahwa moralitas dapat dipelajari secara empiris, eksternal bagi individu,
bersifat memaksa individu, dan dijelaskan oleh fakta-fakta sosial yang lain.
Hal itu berarti bahwa moralitas bukan sesuatu yang dapat difilsafati orang, tetapi sesuatu yang harus dipelajari
sebagai suatu fenomena empiris. Hal itu khususnya benar karena moralitas
berhubungan erat dengan struktur sosial. Untuk memahami moralitas suatu lembaga
tertentu, anda terlebih dahulu harus mempelajari cara lembaga itu dibentuk,
cara ia menerima bentuknya yang sekarang, bagaimana tempatnya di dalam struktur
keseluruhan masyarakat, bagaimana berbagai kewajiban kelembagaan dihubungkan
dengan kebaikan sosial dan seterusnya.
Kedua, Durkheim adalah seorang
sosiolog moralitas karena studi-studinya didorong oleh perhatiannya kepada
"kesehatan" moral masyarakat modern.
Banyak sosiologi Durkheim dapat dilihat sebagai produk sampingan
perhatiannya kepada isu-isu moral. Sungguh, seorang kolega Durkheim menulis di
dalam tinjauan mengenai karya seumur hidup Durkheim bahwa orang akan gagal
memahami karya-karyanya jika tidak memperhitungkan fakta bahwa moralitas adalah
pusat dan objeknya.
Point kedua tersebut membutuhkan
penjelasan yang lebih banyak jika kita ingin mengerti perspektif Durkheim.
Durkheim tidak menganggap bahwa masyarakat telah menjadi atau sedang terancam
menjadi, tidak bermoral. Hal itu benar-benar mustahil karena moralitas bagi
Durkheim disamakan dengan masyarakat. Oleh karena itu masyarakat tidak mungkin
tidak bermoral, tetapi tentu saja ia ia dapat kehilangan kekuatan moralnya jika
kepentingan kolektif masyarakat menjadi
sekedar jumlah total kepentingan-kepentingan diri. Hanya pada tingkatan
moralitas bahwa adalah fakta sosial maka ia dapat memaksakan kewajiban kepada
para individu yang menggantikan kepentingan diri mereka. Akibatnya, Durkheim
percaya bahwa masyarakat membutuhkan suatu moralitas umum yang kuat. Seperti
apa seharusnya masyarakat kurang mendapat perhatiannya.
B.
Moralitas Perintah Agama
Dalam perspektif berbagai agama,
pedoman untuk hidup berdasarkan moral agama dirumuskan dalam bentuk
perintah-perintah agama.
Dari segi asal-usulnya, perintah agama itu ada yang diambil dari Kitab
Suci, ada yang dikembangkan dari pemikiran tokoh-tokoh keagamaan yang
terkemuka, ada juga yang lahir dari praktik penghayatan iman umat yang
terkumpul dalam tradisi, dan ada juga yang muncul karena menghadapi masalah
hidup baru.
Jika dilihat dari segi isinya, perintah agama ada yang
bersifat umum, berlaku bagi semua orang dan masyarakat, berlaku juga bagi orang
yang tak menjadi penganut agama apapun. Misalnya larangan untuk mencuri,
menipu, membunuh atau perintah menghormati orang tua. Ada juga yang khusus yang
hanya berlaku bagi penganut agama yang bersangkutan, misalnya larangan memakan
makanan dan minuman tertentu.
Dilihat dari lingkup berlakunya, ada perintah agama yang
berlaku dalam hidup pribadi, ada perintah agama yang berlaku bagi penganut
agama dalam hubungan antara mereka, dengan umat kelompok agama lain, dengan
masyarakat luas, dan dengan negara.
Dilihat dari bidangnya, ada perintah agama di
bidang ibadat, upacara dan praktek keagamaan, ada perintah dalam hidup pribadi,
keluarga, dan masyarakat, dan ada perintah agama yang menyangkut kehidupan
bernegara dan pergaulan antar negara.
C.
Tujuan
Moral
Secara
umum, keberadaan moral pada seseorang bertujuan untuk Menumbuhkan sikap dan
tekad kemandirian manusia dan masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas
serta sumber daya manusia untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin yang
lebih selaras, adil dan merata.
D.
Nilai-nilai Moral
Pengamalan atau pemilikan bersama
kepercayaan-kepercayaan dan ritus-ritus menunjukkan bahwa hubungan antara
anggota-anggota kelompok dengan hal-hal yang sakral dalam beberapa hal erat
sekali hubungannya dengan nilai-nilai moral kelompok tersebut.
Hubungan
tersebut tampak jelas dalam sikap para anggota kelompok pemeluk agama tertentu
misalnya, perihal memantang makanan tertentu atau tidak menyembelih binatang
tertentu. Menurut Ghandi pemujaan terhadap lembu adalah nilai keagamaan yang
dimiliki bersama oleh seluruh penganut Hindu. Dengan demikian lembu merupakan
suatu hal yang sakral bagi umat Hindu dan keharusan untuk tidak memakan
dagingnya adalah nilai-nilai moral yang bersumber pada fakta tersebut, dan hal
itu membantu mempersatukan para pemeluk agama Hindu serta membedakan mereka
dengan orang-orang Muslim dan Yahudi yang makan daging sapi dan tidak makan
daging babi. Dari dari dua kasus yang disebutkan tadi, hubungan antara
nilai-nilai moral kelompok yang dipakai bersama dengan perintah-perintah Tuhan
atau dewa-dewa yang ada di alam gaib sangat jelas. Kenyataan menunjukkan bahwa
keanekaragaman adat kebiasaan pada kelompok manapun jika dianalisa dengan
seksama sangat boleh jadi timbul dari (keanekaragaman) konsepsi kelompok
tersebut mengenai hubungannya dengan yang sakral, atau dengan kata lain, adat
kebiasaan (moral) berasal dari suatu agama.
Hubungan
antara konsepsi masyarakat tentang yang sakral dan nilai-nilai moral kelompok
bisa dijelaskan dengan cara lain. Jenis hubungan-hubungan yang oleh kelompok
tertentu dipercayai adanya di antara makhluk-makhluk sakral di alam gaib, dan
juga diantara makhluk-makhluk tersebut dengan umat manusia sering dianggap
sebagai pola ideal dari hubungan sesama manusia yang seharusnya ada dalam
masyarakat itu sendiri. Sebagai contoh, masyarakat pengembala domba mungkin
menggambarkan Tuhan mereka sebagai pengembala yang baik, dan bagi mereka
kesetiaan pengembala kepada dombanya pada saat yang sama menjadi pola dasar
(prototipe) hubungan Tuhan dengan mereka, yaitu para penyembah-Nya, dan juga
merupakan model ideal bagi hubungan sesama mereka sendiri. Dalam kasus ini
maknanya bagi moral manusia tampak jelas, masalah penting dalam hubungan ini
bukan apakah manusia menciptakan dewa-dewanya menurut khayalannya sendiri,
tetapi adakah persesuaian antara nilai-nilai moral yang diterapkan kepada umat
manusia para penyembah mereka. Nilai-nilai moral yang diperlakukan pada para
penghuni alam gaib itu jelas memberi pengakuan yang sakral terhadap nilai-nilai
moral bagi manusia di dunia nyata.
Secara
ringkas, telah terlihat unsur-unsur penting agama yang terdiri dari ide tentang
yang sakral, sikap-sikap yang dituntun oleh perasaan yang berhubungan dengan
sakral, kepercayaan-kepercayaan dan pengamalan-pengamalan yang mengekspresikan
dan memperkuat sikap-sikap ini dan akhirnya pemilikan dan pelaksanaan bersama
kepercayaan-kepercayaan dan pengamalan-pengamalan oleh kelompok pemeluk dalam
masyarakat yang ditandai oleh nilai-nilai moral yang sama. Intinya, ketaatan
terhadap nilai-nilai moral berfungsi menyatukan kelompok pemeluk agama
masing-masing ke dalam suatu masyarakat sosial.
2.2.3 Hubungan Agama Dan Moralitas
Agama menjelaskan dan menunjukan nilai-nilai bagi pengalaman
manusia yang sangat penting. Melalui agama, kehidupan lebih dapat dipahami dan
secara pribadi lebih bermakna. Apakah system nilai dan moralitas merupakan
bagian dari agama? Hal itu tergantung kepada bagaimana kita mendefinisikan.
Geertz menganggap bahwa etos (seperangkat moral dan motivasi) bagian dari
agama.
Jika agama memfokuskan kepada sesuatu yang member makna
kepada seluruh kehidupan, maka obyek yang dipuja harus menjadi sesuatu nilai
yang signifikan atau sesuatu tang menjadi sumber ini. Didalam pemujaan, maka
nilai sentral yang dipuja itu dikagumi, dihormati dan diyakini mempunyai sifat-sifat
kesempurnaan, serta diyakini mampu memberikan pertolongan dan sanksi kepada
penganutnya (Djamari, 1988).
Jika kita mempelajari sistem kepercayaan dan persoalan
ibadat para penganut, maka nilai-nilai agama atau obyek yang dipuja mungkin
mempengaruhi perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi survei
terhadap orang-orang amerika, bahkan orang-orang yang menganggap agama penting
bagi mereka, menunjukkan bahwa agama sedikit sekali pengaruhnya terhadap idea
moralitas sosial mereka. Penelitian menunjukkan bahwa 54% dari orang amerika
yang menganggap agama sangat penting, tidak merasa bahwa agama berpengaruh
terhadap cita-cita politik dan bisnis atau terhadap kehidupan mereka
sehari-hari. Orang merasakan agama sangat penting tetapi tidak tercermin dalam
perilakunya (Djamari, 1988).
Nilai moral sendiri merujuk kepada nilai-nilai kemanusiaan,
itu tidak serta merta berarti bahwa nilai-nilai moral yang bersumber pada agama
itu dinafikan. Justru ketika dialog dilakukan, nilai-nilai agama yang dianut
pasti secara tidak langsung akan melebur di sana. Orang-orang yang terlibat
dalam dialog pasti akan membawa aspirasi dan nilai-nilai agama yang diimaninya.
Agama dan moralitas itu tidak sama. Namun, nilai-nilai agama dan nilai-nilai
kemanusiaan itu sebetulnya tetap saling mengandaikan, saling memperkuat, dan
mengembangkan satu sama lain. Antara moralitas dan agama itu sama sekali tidak
saling menafikan dan meniadakan satu sama lain.
Menurut Yinger (dalam Djamari, 1988), moralitas sering
dipandang oleh kelompok agamis sebagai bagian dari domein agama. Cara seseorang
merespon tetangganya pun langsung berhubungan dengan aturan Tuhan. Ada pula
yang menganggap agama dan etika sama. Kelompok ekumene kontemporer di AS
menekankan adanya kesatuan antara perilaku religious dan moral. Para anggotanya
menegaskan bahwa seseorang dianggap munafik, jika menyembah Tuhan, tetapi ia
tidak mau memberikan paling sedikit 1% dari pendapatannya untuk menonolong
orang kelaparan.
Menurut
kesimpulan A.H. Muhaimin dalam bukunya Cakrawala Kuliah Agama bahwa ada beberapa
hal yang patut dihayati dan penting dari agama, yaitu :
1.
Agama itu mendidik manusia menjadi
tentram, damai, tabah dan tawakal, ulet serta percaya pada diri sendiri.
2.
Agama itu dapat membentuk dan mencetak
manusia menjadi, berani berjuang menegakan kebenaran dan keadilan dengan
kesiapan mengabdi dan berkorban, serta sadar, enggan dan takut untuk melakukan
pelanggaran yang menuju dosa dan noda.
3.
Agama memberi sugesti kepada manusia
agar dalam jiwanya tumbuh sifat-sifat mulia dan terpuji, penyantun, toleransi
dan manusiawi.
Karena itu,
menempatankan agama pada posisi semula bisa menjadi penawar kebingungan manusia
moderen. Moral yang bersumber agama bersifat mutlak, permanen, eternal dan
universal. Nilai-nilai moral dalam islam berlaku untuk semua orang dan semua
tempat tanpa memandang tanpa memandang latar belakang etnis kesukuan,
kebangsaan, dan sosial kultural.
Kekuatan pengaruh agama terhadap
nilai dan norma dalam kehidupan sehari-hari akan bervariasi antara berbagai
jenis agama dan terganmtung kepada ideology masyarakat penganut agama
itu. Selain itu hubungan kode moral dengan agama juga bervariasi, tergantung
kepada struktur masyarakat. Bagaimanapun semua agama tampaknya berpengaruh
kepada moralitas personal maupun sosial.
Kebanyakan kajian mengenai agama dam
moral dibuat atas referensi agama tertentu dimasyarakat tertentu pula. Keith A.
Roberts menyetujui pernyataan Geertz bahwa umumnya individu penganut agama pada
kebanyakan masyarakat menganggap agama sangat erat berhubungan dengan ajaran
moralitas kehidupan sehari-hari. Banyak moral masyarakat terkait erat dengan
kepercayaan agama. Misalnya incest dilarang oleh masyarakat dan oleh agama.
Tetapi tidak semua tabu masyarakat mendapat dukungan kepercayaan agama. Dalam
beberapa hal agama membantu mengatur tabu, misalnya umumnya masyarakat tabu
untuk merusak bagian organ mayat. Tetapi pengobatan modern dapat mencangkokkan
bagian organ tubuh, seperti kornea. Jelas disini kepercayaan agama mendukung
manusia untuk merelakan bagian bagian dari tubuhnya untuk kepentingan orang
lain setelah ia meninggal (Djamari, 1988).
Fungsi agama terpenting adalah
memberikan dasar metafisika bagi tatanan moral kelompok sosial dan memperkuat
ketaatan terhadap norma. Sebagaimana dinyatakan oleh Thomas O’dea bahwa dengan
menunjukkan norma-norma atau aturan masyarakat sebagian bagian dari tatanan
etik superempirik yang lebih besar, berarti norma atau aturamn masyarakat telah
disucikan oleh agama dan kepercayaan. Karena agama dalam hal ini membantu
memperkuat pelaksanaan norma dan aturan itu, bila ternyata tindakan individu
bertentangan dengan keinginan atau kepentingan norma tersebut. Manusia
membutuhkan jawban masalah makna, baik dalam arti orientasi kognitif terhadap
dunianya maupun untuk memenuhi kebutuhan hubungan dengan Tuhannya. Agama
menjawab masalah tersebut. Agama menyajikan berbagai fungsi antara lain
memberikan wawasan dunia yang mengurangi kebingungan dan berusaha menafsirkan
makna ketidakadilan, penderitaan dan kematian; membentuk dasar-dasar kosmik
bagi nilai dan system moralitas personal maupun sosial; merupakan sumber
identitas rasa keanggotaan pada suatu kelompok agama tertentu, dll (Djamari,
1988).
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti
tidak dan gama berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti
sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara
integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan,
sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama
sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau
sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan
alam sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama
tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan
diberlakukan.
Kebudayaan adalah suatu tata cara hidup sekelompok manusia
yang menyangkut / menghasilkan : Kebiasaan, Kepercayaan, Keyakinan,
Pedoman-pedoman, Mental, Akhlaq, Kejiwaan, Ritual-ritual / Upacara-upacara,
Adat, Ikatan, Kekuatan spiritual.
Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai
yang berkenaan dengan baik dan buruk.
Beberapa sikap hubungan antara Agama dan Kebudayaan, yaitu:
1. Sikap Radikal: Agama menentang
Kebudayaan.
2. Sikap Akomodasi: Agama Milik
Kebudayaan.
3. Sikap Perpaduan: Agama di atas
Kebudayaan.
4.
Sikap Pambaharuan: Agama
Memperbaharui Kebudayaan.
Kebanyakan kajian mengenai agama dam moral dibuat atas
referensi agama tertentu dimasyarakat tertentu pula. Keith A. Roberts
menyetujui pernyataan Geertz bahwa umumnya individu penganut agama pada
kebanyakan masyarakat menganggap agama sangat erat berhubungan dengan ajaran
moralitas kehidupan sehari-hari. Banyak moral masyarakat terkait erat dengan
kepercayaan agama. Misalnya incest dilarang oleh masyarakat dan oleh agama.
Tetapi tidak semua tabu masyarakat mendapat dukungan kepercayaan agama. Dalam
beberapa hal agama membantu mengatur tabu, misalnya umumnya masyarakat tabu
untuk merusak bagian organ mayat. Tetapi pengobatan modern dapat mencangkokkan
bagian organ tubuh, seperti kornea. Jelas disini kepercayaan agama mendukung
manusia untuk merelakan bagian bagian dari tubuhnya untuk kepentingan orang
lain setelah ia meninggal (Djamari, 1988).
3.2
Saran
Diharapkan kepada semua
pihak yang membaca makalah ini, agar kiranya dapat menjadikan sebagai salah
satu rujukan yang sifatnya membangun dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Orang
bijak mengatakan bahwa manusia perlu berfikir untuk mengetahui siapa dirinya
dan kemana arah tujuan perjalanan hidupnya, sehingga tidak hanya berfikir
secara materialistik dan hedonis.
DAFTAR
PUSTAKA
Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta:
Kanisius.
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. 1990.
Jakarta: PT Ranaka Cipta.
Joeyz, Iwan. Hubungan Agama dan Budaya. 2009.
Mustopo,
M. Habib, dkk, 1983, Ilmu Budaya Dasar, Surakarta: Usaha Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar