Kamis, 27 April 2017

agama,kebudayaan dan moralitas

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan manusia, agama dan budaya jelas tidak berdiri sendiri, keduanya memiliki hubungan yang sangat erat dalam dialektikanya; selaras dalam menciptakan ataupun kemudian saling menegasikan.
Agama sebagai pedoman hidup manusia yang diciptakan oleh Tuhan, dalam menjalani kehidupannya. Sedangkan kebudayaan sebagai kebiasaan tata cara hidup manusia yang diciptakan oleh manusia itu sendiri dari hasil daya cipta, rasa dan karsanya yang diberikan oleh Tuhan. Agama dan kebudayaan saling mempengaruhi satu sama lain. Agama mempengaruhi kebudayaan, kelompok / masyarakat / suku / bangsa. Kebudayaan cenderung mengubah-ubah keaslian agama sehingga menghasilkan penafsiran berlainan.
Agama merupakan sistem kepercayaan yang meliputi tata cara peribadatan hubungan manusia dengan sang mutlak, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam lainnya sesuai dengan kepercayaan tersebut. Berdasarkan klasifikasi manapun diyakini bahwa agama memiliki peranan signifikan bagi kehidupan manusia, disebabkan agama terdapat seperangkat nilai yang menjadi pedoman dan pegangan manusia. Salah satunya adalah dalam hal moral.  Moral adalah sesuatu yang berkenaan dengan baik dan buruk.

1.2  Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan Agama?
2.      Apa yang dimaksud dengan Kebudayaan?
3.      Apa yang dimaksud dengan moralitas ?
4.      Apa hubungan Agama dan Kebudayaan?
5.      Apa hubungan Agama dan moralitas ?

1.3  Tujuan Penulisan
Tujuan utama dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Agama.
1.4  Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat diambil dari penulisan ini ialah penyusun dan pembaca dapat mengerti hubungan agama dan kebudayaan serta hubungan Agama dan moralitas dengan lebih jelas.















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Agama dan Kebudayaan
2.1.1 Agama
A. Pengertian Agama
Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.
Sebagian lain mengatakan a adalah cara, gama adalah jalan, agama berarti cara jalan, maksudnya cara berjalan untuk menempuh keridhaan Tuhan. Dalam bahasa inggris agama disebut religion, berasal dari bahasa latin leregele artinnya mengumpulkan, membaca. Relegion mengandung pengertian kumpulan cara-cara peribadatan yang terdapat dalam kitab suci yang harus dibaca.
Dalam bahasa arab agama adalah din yang secara etimologis memiliki arti balasan atau pahala, ketentuan, kekuasaan, pengaturan, perhitungan, taat, patuh dan kebiasaan. Agama memang membawa peraturan, hukum yang harus dipatuhi, menguasai dan menuntut untuk patuh kepada Tuhan dengan menjalankan ajarannya, membawa kewajiban yang jika tidak dilaksanakan akan menjadi hutang yang akan membawa balasan baik kepada yang taat memberi balasan buruk kepada yang tidak taat.
Secara terminologis, Hasby as-siddiqi mendefinisikan agama sebagai dustur (undang-undang) ilahi yang didatangkan Allah untuk menjadi pedoman hidup dan kehidupan manusia didunia untuk mencapai kerajaan dunia dan kesejahteraan akhirat. Agama adalah peraturan Tuhan yang diberikan kepada manusia yang berisi sistem kepercayaan, sistem penyembahan dan sistem kehidupan manusia untuk mencapai kebahagiaan didunia dan diakhirat.

Menurut endang saefudin anshari (1990) Agama meliputi sistem kredo kepercayaan atas adanya sesuatu yang mutlak diluar manusia, sistem ritus tatacara peribadatan manusia kepada yang mutlak dan sistem norma atau tata kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan dengan alam lainnya sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan tersebut.
Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa Inggris) yang berasal dari kata religio (bahasa Latin), yang berakar pada kata religare yang berarti mengikat. Dalam pengertian religio termuat peraturan tentang kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya dengan realitas tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungan antar sesamanya (horizontal).
Agama itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas tertinggi secara misterius yang menakutkan tapi sekaligus mempesonakan  Dalam pertemuan itu manusia tidak berdiam diri, ia harus atau terdesak secara batiniah untuk merespons.Dalam kaitan ini ada juga yang mengartikan religare dalam arti melihat kembali kebelakang kepada hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan tuhan yang harus diresponnya untuk menjadi pedoman dalam hidupnya.

B. Unsur-Unsur Agama
        Unsur-unsur penting yang terdapat dalam Agama ialah :
1.      Unsur Kekuatan Gaib : Manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan gaib itu sebagai tempat minta tolong. Oleh karena itu, manusia merasa harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Hubungan baik ini dapat diwujudkan dengan mematuhi perintah dan larangan kekuatan gaib itu sendiri.
2.      Keyakinan Manusia : bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Dengan hilangnya hubungan baik itu, kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari akan hilang pula.
3.      Respons yang bersifat Emosionil dari manusia : Respons itu bisa mengambil bentuk perasaan takut, seperti yang terdapat dalam agama – agama primitif, atau perasaan cinta, seperti yang terdapat dalam agama – agama monoteisme. Selanjutnya respons mengambil bentuk penyembahan yang terdapat dalam agama primitif, atau pemujaan yang terdapat dalam agama – agama monoteisme. Lebih lanjut lagi respons itu mengambil bentuk cara hidup tertentu bagi masyarakat yang besangkutan.
4.      Paham adanya yang kudus (saered) dan suci : dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab yang mengandung ajaran – ajaran agama bersangkutan dan dalam bentuk tempat – tempat tertentu.
C. Cara Beragama
Berdasarkan cara beragamanya: 
a) Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara beragamanya nenek moyang, leluhur atau orang-orang dari angkatan sebelumnya.
b) Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh.
c) Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya.
d) Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan) dibawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah)


D.     Agama di Indonesia
Enam agama besar yang paling banyak dianut di Indonesia, yaitu: agama Islam, Kristen (Protestan) dan Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Sebelumnya, pemerintah Indonesia pernah melarang pemeluk Konghucu melaksanakan agamanya secara terbuka. Namun, melalui Keppress No. 6/2000, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut larangan tersebut. Tetapi sampai kini masih banyak penganut ajaran agama Konghucu yang mengalami diskriminasi dari pejabat-pejabat pemerintah.
2.1.2        Kebudayaan
A.          Pengertian kebudayaan
Kata budaya menurut Koentjaraningrat (1987:180) adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.
Jadi budaya diperoleh melalui belajar. Tindakan-tindakan yang dipelajari antara lain cara makan, minum, berpakaian, berbicara, bertani, bertukang, berrelasi dalam masyarakat  adalah budaya. Tapi kebudayaan tidak saja terdapat dalam soal teknis tapi dalam gagasan yang terdapat dalam fikiran yang kemudian terwujud dalam seni, tatanan masyarakat, ethos kerja dan pandangan hidup. Yojachem Wach berkata tentang pengaruh agama terhadap budaya manusia yang immaterial bahwa mitologis hubungan kolektif tergantung pada pemikiran terhadap Tuhan. Interaksi sosial dan keagamaan berpola kepada bagaimana mereka memikirkan Tuhan, menghayati dan membayangkan Tuhan (Wach, 1998:187).
Kebudayaan adalah suatu tata cara hidup sekelompok manusia yang menyangkut / menghasilkan :
1.    Kebiasaan
2.    Kepercayaan
3.    Keyakinan
4.    Pedoman-pedoman
5.    Mental
6.    Akhlaq
7.    Kejiwaan
8.    Ritual-ritual / Upacara-upacara
9.    Adat
10.   Ikatan
11.   Kekuatan spiritual
Kesemuanya ini dipupuk sedikit demi sedikit dari tatacara hidup para leluhur di sekelompok masyarakat  pada suatu daerah / negeri.  Perpaduan antara 2 masyarakat yang berlainan kebudayaan menimbulkan pengaruh terhadap  kebudayaan yang telah ada dan lahirlah suatu kebudayaan komposisi baru. Perubahan ini berlaku dari  masa kemasa.
Hal-hal yang mempengaruhi kebudayaan terdiri atas perbagai faktor antara lain :
1.    Perkembangan teknologi (phenomena-phenomena)
2.    Perubahan cara hidup.
3.    Pengaruh materi
4.    Pengaruh lingkungan
5.    Kesenian
6.    Pendidikan
7.    Perjuangan / persaingan antara bangsa (perang)
8.    Perubahan mental sebab teknologi.
9.    Kepadatan penduduk.
10.  Pengaruh-pengaruh alam setempat (iklim, daerah tandus, pegunungan, air )
Budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif.
Kebudayaan merupakan gambaran totalitas manusia dalam semua lini kehidupan masyarakat yang merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia.
Sifat hakiki dari kebudayaan antara lain
·         Budaya terwujut dan tersalurkan dari perilaku manusia
·         Budaya telah ada terlebih dahulu dari pada lahirnya suatu generasi dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan
·         Budaya diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya
·         Budaya mencakup aturan-aturan yang berisi kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, dilarang dan di izinkan
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. 
  i.      Perwujudan Kebudayaan
Menurut pandangan Koentjaraningrat, kebudayaan itu paling sedikit memiliki 3 (tiga) wujud, yaitu:
a)      Keseluruhan ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan sebagainya yang berfungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah pada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat, yang disebut “adat tata kelakuan”. 
b)      Keseluruhan aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, yang disebut “sistem sosial”. Sistem sosial terdiri dari rangkaian aktivitas manusia dalam masyarakat yang selalu mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat tata kelakuan, misalnya gotong-royong dan kerja sama. 
c)      Benda-benda hasil karya manusia yang disebut “kebudayaan fisik”, misalnya pabrik baja, Candi Borobudur, pesawat udara, computer, atau kain batik.
B. Ciri-ciri Kebudayaan
Kebudayaan sebagai bagian dari kehidupan manusia mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Adanya wujud dari budaya berupa ide, gagasan dan pemikiran serta hasil cipta, rasa dan karsa manusia.
b.      Adanya tujuan berbudaya berupa pemenuhan kebutuhan hidup.
c.       Adanya proses dalam berbudaya berupa belajar.
d.      Adanya kegunaan berbudaya berupa pewarisan pada generasi sesudahnya.
2.1.3        Hubungan Agama Dan Kebudayaan
Jika kita teliti budaya Indonesia, maka budaya itu  terdiri dari 5 lapisan. Lapisan itu diwakili oleh budaya agama pribumi, Hindu, Buddha, Islam dan Kristen (Andito, ed,1998:77-79)
Lapisan pertama adalah agama pribumi yang memiliki ritus-ritus yang berkaitan dengan penyembahan roh nenek moyang yang telah tiada atau  lebih setingkat yaitu Dewa-dewa suku seperti sombaon di Tanah Batak, agama Merapu di Sumba, Kaharingan di Kalimantan. Dari agama pribumi  bangsa Indonesia mewarisi kesenian dan estetika yang tinggi dan nilai-nilai kekeluargaan yang sangat luhur.
Lapisan kedua dalah Hinduisme, yang telah meninggalkan peradaban yang menekankan pembebasan rohani agar atman bersatu dengan Brahman maka dengan itu ada solidaritas mencari pembebasan bersama dari penindasan sosial untuk menuju kesejahteraan yang utuh.
Lapisan ketiga adaalah agama Buddha, yang telah mewariskan nilai-nilai yang menjauhi ketamakan dan keserakahan. Bersama dengan itu timbul nilai pengendalian diri dan mawas diridengan menjalani 8 tata jalan keutamaan.
Lapisan keempat adalah agama Islam yang telah menyumbangkan kepekaan terhadap tata tertib kehidupan melalui syari’ah, ketaatan melakukan shalat dalam lima waktu,kepekaan terhadap mana yang baik dan mana yang jahat dan melakukan yang baik dan menjauhi yang jahat (amar ma’ruf nahi munkar) berdampak pada pertumbuhan akhlak yang mulia. Inilah hal-hal yang disumbangkan Islam dalam pembentukan budaya bangsa.
Lapisan kelima adalah agama Kristen, baik Katholik maupun Protestan. Agama ini menekankan nilai kasih dalam hubungan antar manusia. Tuntutan kasih yang dikemukakan melebihi arti kasih dalam kebudayaan sebab kasih ini tidak menuntutbalasan yaitu kasih tanpa syarat. Kasih bukan suatu cetusan emosional tapi sebagai tindakan konkrit yaitu memperlakukan sesama seperti diri sendiri. Dipandang dari segi budaya, semua kelompok agama di Indonesia telah mengembangkan budaya agama untuk mensejahterakannya tanpa memandang perbedaan agama, suku dan ras.
Disamping pengembangan budaya immaterial tersebut agama-agama juga telah berhasil mengembangkan budaya material seperti candi-candi dan bihara-bihara di Jawa tengah, sebagai peninggalan budaya Hindu dan Buddha, sedang budaya Islam antara lain telah mewariskan Masjid Agung Demak (1428) di Gelagah Wangi Jawa Tengah. Masjid ini beratap tiga susun yang khas Indonesia, berbeda dengan masjid Arab umumnya yang beratap landai. Atap tiga susun itu menyimbolkan Iman, Islam dan Ihsan. Masjid ini tanpa kubah, benar-benar has Indonesia yang mengutamakan keselarasan dengan alam.Masjid Al-Aqsa Menara Kudus di Banten bermenaar dalam bentuk perpaduan antara Islam  dan Hindu. Masjid Rao-rao di Batu Sangkar merupakan perpaduan berbagai corak kesenian dengan hiasan-hiasan mendekati gaya India sedang atapnya dibuat dengan motif rumah Minangkabau (Philipus Tule 1994:159).
Kenyataan adanya tersebut membuktikan bahwa agama-agama di Indonesia telah membuat manusia makin berbudaya sedang budaya adalah usaha manusia untuk menjadi manusia.
Pengaruh timbal balik antara agama dan budaya:
1.        Agama mempengaruhi kebudayaan, kelompok / masyarakat / suku / bangsa.
2.        Kebudayaan cenderung mengubah-ubah keaslian agama sehingga menghasilkan     penafsiran berlainan.
Hal pokok bagi semua agama adalah bahwa agama berfungsi sebagai alat pengatur dan sekaligus membudayakannya dalam arti mengungkapkan apa yang ia percaya dalam bentuk-bentuk budaya yaitu dalam bentuk etis, seni bangunan, struktur masyarakat, adat istiadat dan lain-lain. Jadi ada pluraisme budaya berdasarkan kriteria agama. Hal ini terjadi karena manusia sebagai homoreligiosus merupakan insan yang berbudidaya dan dapat berkreasi dalam kebebasan menciptakan berbagai objek realitas dan tata nilai baru berdasarkan inspirasi agama
Kebudayaan dikenal karena adanya hasil-hasil atau unsur-unsurnya. Unsur-unsur kebudayaan terus menerus bertambah seiring dengan perkembangan hidup dan kehidupan. Manusia mengembangkan kebudayaan; kebudayaan berkembang karena manusia. Manusia disebut makhluk yang berbudaya, jika ia mampu hidup dalam atau sesuai budayanya. Sebagian makhluk berbudaya, bukan saja bermakna mempertahankan nilai-nilai budaya masa lalu atau warisan nenek moyangnya; melainkan termasuk mengembangkan (hasil-hasil) kebudayaan.
Di samping kerangka besar kebudayaan, manusia pada komunitasnya, dalam interaksinya mempunyai norma, nilai, serta kebiasaan turun temurun yang disebut tradisi. Tradisi biasanya dipertahankan apa adanya; namun kadangkala mengalami sedikit modifikasi akibat pengaruh luar ke dalam komunitas yang menjalankan tradisi tersebut. Misalnya pengaruh agama-agama ke dalam komunitas budaya (dan tradisi) tertentu; banyak unsur-unsur kebudayaan (misalnya puisi-puisi, bahasa, nyanyian, tarian, seni lukis dan ukir) di isi formula keagamaan sehingga menghasilkan paduan atau sinkretis antara agama dan kebudayaan.
Kebudayaan dan berbudaya, sesuai dengan pengertiannya, tidak pernah berubah; yang mengalami perubahan dan perkembangan adalah hasil-hasil atau unsur-unsur kebudayaan. Namun, ada kecenderungan dalam masyarakat yang memahami bahwa hasil-hasil dan unsur-unsur budaya dapat berdampak pada perubahan kebudayaan.
Perbedaan antara agama dan budaya tersebut menghasilkan hubungan antara iman-agama dan kebudayaan. Sehingga memunculkan hubungan (bukan hubungan yang saling mengisi dan membangun) antara agama dan  budaya. Akibatnya, ada beberapa sikap hubungan antara Agama dan Kebudayaan, yaitu:
1.      Sikap Radikal: Agama menentang Kebudayaan. Ini merupakan sikap radikal dan ekslusif, menekankan pertantangan antara Agama dan Kebudayaan. Menurut pandangan ini, semua sikon masyarakat berlawanan dengan keinginan dan kehendak Agama. Oleh sebab itu, manusia harus memilih Agama  atau Kebudayaan, karena seseorang tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Dengan demikian, semua praktek dalam unsur-unsur kebudayaan harus ditolak ketika menjadi umat beragama.
2.      Sikap Akomodasi: Agama Milik Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan keselarasan antara Agama dan kebudayaan.
3.      Sikap Perpaduan: Agama di atas Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan adanya suatu keterikatan antara Agama dan kebudayaan. Hidup dan kehidupan manusia harus terarah pada tujuan ilahi dan insani; manusia harus mempunyai dua tujuan sekaligus.
4.  Sikap Pambaharuan: Agama Memperbaharui Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan bahwa Agama harus memperbaharui masyarakat dan segala sesuatu yang bertalian di dalamnya. Hal itu bukan bermakna memperbaiki dan membuat pengertian kebudayaan yang baru; melainkan memperbaharui hasil kebudayaan. Oleh sebab itu, jika umat beragama mau mempraktekkan unsur-unsur budaya, maka perlu memperbaikinya agar tidak bertantangan ajaran-ajaran Agama. Karena perkembangan dan kemajuan masyarakat, maka setiap saat muncul hasil-hasil kebudayaan yang baru. Oleh sebab itu, upaya pembaharuan kebudayaan harus terus menerus. Dalam arti, jika masyarakat lokal mendapat pengaruh hasil kebudayaan dari luar komunitasnya, maka mereka wajib melakukan pembaharuan agar dapat diterima, cocok, dan tepat ketika mengfungsikan atau menggunakannya.
Karena adanya aneka ragam bentuk hubungan Agama dan Kebudayaan tersebut, maka solusi terbaik adalah perlu pertimbangan – pengambilan keputusan etis-teologis (sesuai ajaran agama). Dan untuk mencapai hal tersebut tidak mudah.
Seperti halnya kebudayaan agama sangat menekankan makna dan signifikasi sebuah tindakan. Karena itu sesungguhnya terdapat hubungan yang sangat erat antara kebudayaan dan agama bahkan sulit dipahami kalua perkembangan sebuah kebudayaan dilepaskan dari pengaruh agama. Sesunguhnya tidak ada satupun kebudayaan yang seluruhnya didasarkan pada agama. Untuk sebagian kebudayaan juga terus ditantang oleh ilmu pengetahuan, moralitas secular, serta pemikiran kritis.
Meskipun tidak dapat disamakan, agama dan kebudayaan dapat saling mempengarui. Agama mempengaruhi system kepercayaan serta praktik-praktik kehidupan. Sebalikny akebudayaan pun dapat mempengaruhi agama, khususnya dalam hal bagaimana agama di interprestasikan/ bagaimana ritual-ritualnya harus dipraktikkan. Tidak ada agama yang bebas budaya dan apa yang disebut Sang –Illahi tidak akan mendapatkan makna manusiawi yang tegas tanpa mediasi budaya, dlam masyarakat Indonesia saling mempengarui antara agam dan kebudayaan sangat terasa. Praktik inkulturasi dalam upacara keagamaan hamper umum dalam semua agama.
Budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif.
Budaya agama tersebut akan terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kesejarahan dalam kondisi objektif dari kehidupan penganutnya.
Hubungan kebudayaan dan agama tidak saling merusak, kuduanya justru saling mendukung dan mempengruhi. Ada paradigma yang mengatakan bahwa ” Manusia yang beragma pasti berbudaya tetapi manusia yang berbudaya belum tentu beragama”.

2.1.4 Penerapan Hubungan agama dan kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari
           Dalam kehidupan sehari-hari dapat diambil beberapa contoh hubungan agama dan kebudayaan.
            Pertama, ketika seseorang berpindah agama cara berfikir dan cara hidupnya dapat berubah secara signifikan. dapat dilihat seseorang yang beragama Kristen pindah menjadi agama islam maka pandangan hidupnya akan berubah pula, missal: cara pandang mareka dalam berpakaian ketika mereka beragama Kristen cara berpakain mereka kurang menutup aurat tetapi ketika mereka telah beragam islam cara berpakaian mereka menutup aurat.
            Kedua, ketika ibadah hari raya idul fitri, hari raya ini dalam praktiknya tidak lagi menjadi perayaan “khas” penganut agama islam tetapi sudah lebih merupakan tradisi bagi segenap masyarakat Indonesia. Saling maaf memaafkan yang dulu tidak pernah terjadi di negeri-negeri timur tengah tetapi masyarakat Indonesia justru di jadikan momemtum untuk membangun kembali tali persaudaraan seta kesetiakawanan lintas etnoreligius.
            Jadi agama dan kebudayaan sebenarnya tidak pernah bertentangan karena kebudayaan bukanlah sesuatu yang mati, tapi berkembang terus mengikuti perkembangan jaman. Demikian pula agama, selalu bisa berkembang di berbagai kebudayaan dan peradaban dunia.

2.2 Agama Dan Moralitas
2.2.1 Agama
Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.

2.2.2 Moralitas
Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata ‘moral’ yaitu mos sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata ‘etika’, maka secara etimologis, kata ’etika’ sama dengan kata ‘moral’ karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat. Dengan kata lain, kalau arti kata ’moral’ sama dengan kata ‘etika’, maka rumusan arti kata ‘moral’ adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya bahasa asalnya saja yaitu ‘etika’ dari bahasa Yunani dan ‘moral’ dari bahasa Latin.
Kewajiban – kewajiban yang berasal dari hati nurani kita, dari kesadaran moral kita itu justru akan menghilangkan rasa nyaman, tentang jiwa kita, pada saat kita tidak melaksanakan kewajiban/ yang diperintahkan oleh hati nurani kita. tetapi pada saat kita sudah melaksanakan kewajiban kita yang diperintahkan oleh moral kita, justru sebaliknya kita akan merasa nyaman, tenang, tidak ada beban yang mengganjal, dan sebagainya
Contoh ; ketika mengerjakan soal ujian sudah ada kesadaran moral terlebih dahulu / suara batin dalam diri kita. Sehingga kita akan memperkuat motifasi kita atau memperlemah motifasi kita  itu di sebabkan karena suara batin. Suara batin pada kesadaran moral. Kalau kita mengingkari kesadaran moral itu berarti kita  tidak akan menjalankan menjalankan kewajiban moral/ melanggar kesadaran moral. Kalau kita mengingkari suara batin, kalau kita mengingkari kesadaran  moral nanti kita tidak akan menjalankan kewajiban moral . yang berarti nanti kita akan memiliki kebebasan moral, pada saat kita sudah mendengar menjalankan kesadaran moral kedalam suara batin kita.
‘Moralitas’ (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan ‘moral’, hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.
Menurut para sosiolog agama dipandang sebagai institusi yang mengemban tugas agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup lokal, regional, nasional maupun mondial.
Secara bahasa moralitas diartikan sebagai kesusilaan atau kedisiplinan batin. moralitas juga disinonimkan dengan akhlak, budi pekerti, tabiat dan tingkah laku.
Adapun secara istilah moralitas diartikan dengan kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk yang mencakup juga tentang pengertian tentang baik buruknya perbuatan manusia.
Moralitas juga bisa diartikan sebagai serangkaian aturan, kebiasaan atau prinsip yang mengatur prilaku manusia dalam hubungannya dengan sesama atau suatu prilaku yang mencerminkan keluhuran manusia.
Adapun sosial merupakan hal yang berkenaan dengan masyarakat atau hal-hal yang bersifat kepentingan umum.
Jadi, moralitas sosial dengan demikian berarti tindakan-tindakan individu dan masyarakat yang merujuk pada atau berdasarkan kebiasan-kebiasan atau nilai-nilai tertentu yang telah disepakati bersama.
A.           Aspek Moralitas Sosial
Pertama,  Durkheim yakin bahwa moralitas adalah suatu fakta sosial, dengan kata lain, bahwa moralitas dapat dipelajari secara empiris, eksternal bagi individu, bersifat memaksa individu, dan dijelaskan oleh fakta-fakta sosial yang lain. Hal itu berarti bahwa moralitas bukan sesuatu yang dapat difilsafati  orang, tetapi sesuatu yang harus dipelajari sebagai suatu fenomena empiris. Hal itu khususnya benar karena moralitas berhubungan erat dengan struktur sosial. Untuk memahami moralitas suatu lembaga tertentu, anda terlebih dahulu harus mempelajari cara lembaga itu dibentuk, cara ia menerima bentuknya yang sekarang, bagaimana tempatnya di dalam struktur keseluruhan masyarakat, bagaimana berbagai kewajiban kelembagaan dihubungkan dengan kebaikan sosial dan seterusnya.
Kedua, Durkheim adalah seorang sosiolog moralitas karena studi-studinya didorong oleh perhatiannya kepada "kesehatan" moral masyarakat modern.  Banyak sosiologi Durkheim dapat dilihat sebagai produk sampingan perhatiannya kepada isu-isu moral. Sungguh, seorang kolega Durkheim menulis di dalam tinjauan mengenai karya seumur hidup Durkheim bahwa orang akan gagal memahami karya-karyanya jika tidak memperhitungkan fakta bahwa moralitas adalah pusat dan objeknya.
Point kedua tersebut membutuhkan penjelasan yang lebih banyak jika kita ingin mengerti perspektif Durkheim. Durkheim tidak menganggap bahwa masyarakat telah menjadi atau sedang terancam menjadi, tidak bermoral. Hal itu benar-benar mustahil karena moralitas bagi Durkheim disamakan dengan masyarakat. Oleh karena itu masyarakat tidak mungkin tidak bermoral, tetapi tentu saja ia ia dapat kehilangan kekuatan moralnya jika kepentingan kolektif masyarakat  menjadi sekedar jumlah total kepentingan-kepentingan diri. Hanya pada tingkatan moralitas bahwa adalah fakta sosial maka ia dapat memaksakan kewajiban kepada para individu yang menggantikan kepentingan diri mereka. Akibatnya, Durkheim percaya bahwa masyarakat membutuhkan suatu moralitas umum yang kuat. Seperti apa seharusnya masyarakat kurang mendapat perhatiannya.
B.             Moralitas Perintah Agama
            Dalam perspektif berbagai agama, pedoman untuk hidup berdasarkan moral agama dirumuskan dalam bentuk perintah-perintah agama.
             Dari segi asal-usulnya, perintah agama itu ada yang diambil dari Kitab Suci, ada yang dikembangkan dari pemikiran tokoh-tokoh keagamaan yang terkemuka, ada juga yang lahir dari praktik penghayatan iman umat yang terkumpul dalam tradisi, dan ada juga yang muncul karena menghadapi masalah hidup baru.
             Jika dilihat dari segi isinya, perintah agama ada yang bersifat umum, berlaku bagi semua orang dan masyarakat, berlaku juga bagi orang yang tak menjadi penganut agama apapun. Misalnya larangan untuk mencuri, menipu, membunuh atau perintah menghormati orang tua. Ada juga yang khusus yang hanya berlaku bagi penganut agama yang bersangkutan, misalnya larangan memakan makanan dan minuman tertentu.
            Dilihat dari lingkup berlakunya, ada perintah agama yang berlaku dalam hidup pribadi, ada perintah agama yang berlaku bagi penganut agama dalam hubungan antara mereka, dengan umat kelompok agama lain, dengan masyarakat luas, dan dengan negara.
             Dilihat dari bidangnya, ada perintah agama di bidang ibadat, upacara dan praktek keagamaan, ada perintah dalam hidup pribadi, keluarga, dan masyarakat, dan ada perintah agama yang menyangkut kehidupan bernegara dan pergaulan antar negara.
C.            Tujuan Moral
            Secara umum, keberadaan moral pada seseorang bertujuan untuk Menumbuhkan sikap dan tekad kemandirian manusia dan masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas serta sumber daya manusia untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin yang lebih selaras, adil dan merata.


D.            Nilai-nilai Moral
             Pengamalan atau pemilikan bersama kepercayaan-kepercayaan dan ritus-ritus menunjukkan bahwa hubungan antara anggota-anggota kelompok dengan hal-hal yang sakral dalam beberapa hal erat sekali hubungannya dengan nilai-nilai moral kelompok tersebut.
            Hubungan tersebut tampak jelas dalam sikap para anggota kelompok pemeluk agama tertentu misalnya, perihal memantang makanan tertentu atau tidak menyembelih binatang tertentu. Menurut Ghandi pemujaan terhadap lembu adalah nilai keagamaan yang dimiliki bersama oleh seluruh penganut Hindu. Dengan demikian lembu merupakan suatu hal yang sakral bagi umat Hindu dan keharusan untuk tidak memakan dagingnya adalah nilai-nilai moral yang bersumber pada fakta tersebut, dan hal itu membantu mempersatukan para pemeluk agama Hindu serta membedakan mereka dengan orang-orang Muslim dan Yahudi yang makan daging sapi dan tidak makan daging babi. Dari dari dua kasus yang disebutkan tadi, hubungan antara nilai-nilai moral kelompok yang dipakai bersama dengan perintah-perintah Tuhan atau dewa-dewa yang ada di alam gaib sangat jelas. Kenyataan menunjukkan bahwa keanekaragaman adat kebiasaan pada kelompok manapun jika dianalisa dengan seksama sangat boleh jadi timbul dari (keanekaragaman) konsepsi kelompok tersebut mengenai hubungannya dengan yang sakral, atau dengan kata lain, adat kebiasaan (moral) berasal dari suatu agama.
            Hubungan antara konsepsi masyarakat tentang yang sakral dan nilai-nilai moral kelompok bisa dijelaskan dengan cara lain. Jenis hubungan-hubungan yang oleh kelompok tertentu dipercayai adanya di antara makhluk-makhluk sakral di alam gaib, dan juga diantara makhluk-makhluk tersebut dengan umat manusia sering dianggap sebagai pola ideal dari hubungan sesama manusia yang seharusnya ada dalam masyarakat itu sendiri. Sebagai contoh, masyarakat pengembala domba mungkin menggambarkan Tuhan mereka sebagai pengembala yang baik, dan bagi mereka kesetiaan pengembala kepada dombanya pada saat yang sama menjadi pola dasar (prototipe) hubungan Tuhan dengan mereka, yaitu para penyembah-Nya, dan juga merupakan model ideal bagi hubungan sesama mereka sendiri. Dalam kasus ini maknanya bagi moral manusia tampak jelas, masalah penting dalam hubungan ini bukan apakah manusia menciptakan dewa-dewanya menurut khayalannya sendiri, tetapi adakah persesuaian antara nilai-nilai moral yang diterapkan kepada umat manusia para penyembah mereka. Nilai-nilai moral yang diperlakukan pada para penghuni alam gaib itu jelas memberi pengakuan yang sakral terhadap nilai-nilai moral bagi manusia di dunia nyata.
            Secara ringkas, telah terlihat unsur-unsur penting agama yang terdiri dari ide tentang yang sakral, sikap-sikap yang dituntun oleh perasaan yang berhubungan dengan sakral, kepercayaan-kepercayaan dan pengamalan-pengamalan yang mengekspresikan dan memperkuat sikap-sikap ini dan akhirnya pemilikan dan pelaksanaan bersama kepercayaan-kepercayaan dan pengamalan-pengamalan oleh kelompok pemeluk dalam masyarakat yang ditandai oleh nilai-nilai moral yang sama. Intinya, ketaatan terhadap nilai-nilai moral berfungsi menyatukan kelompok pemeluk agama masing-masing ke dalam suatu masyarakat sosial.
2.2.3 Hubungan Agama Dan Moralitas
Agama menjelaskan dan menunjukan nilai-nilai bagi pengalaman manusia yang sangat penting. Melalui agama, kehidupan lebih dapat dipahami dan secara pribadi lebih bermakna. Apakah system nilai dan moralitas merupakan bagian dari agama? Hal itu tergantung kepada bagaimana kita mendefinisikan. Geertz menganggap bahwa etos (seperangkat moral dan motivasi) bagian dari agama.
Jika agama memfokuskan kepada sesuatu yang member makna kepada seluruh kehidupan, maka obyek yang dipuja harus menjadi sesuatu nilai yang signifikan atau sesuatu tang menjadi sumber ini. Didalam pemujaan, maka nilai sentral yang dipuja itu dikagumi, dihormati dan diyakini mempunyai sifat-sifat kesempurnaan, serta diyakini mampu memberikan pertolongan dan sanksi kepada penganutnya (Djamari, 1988).
Jika kita mempelajari sistem kepercayaan dan persoalan ibadat para penganut, maka nilai-nilai agama atau obyek yang dipuja mungkin mempengaruhi perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi survei terhadap orang-orang amerika, bahkan orang-orang yang menganggap agama penting bagi mereka, menunjukkan bahwa agama sedikit sekali pengaruhnya terhadap idea moralitas sosial mereka. Penelitian menunjukkan bahwa 54% dari orang amerika yang menganggap agama sangat penting, tidak merasa bahwa agama berpengaruh terhadap cita-cita politik dan bisnis atau terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Orang merasakan agama sangat penting tetapi tidak tercermin dalam perilakunya (Djamari, 1988).
Nilai moral sendiri merujuk kepada nilai-nilai kemanusiaan, itu tidak serta merta berarti bahwa nilai-nilai moral yang bersumber pada agama itu dinafikan. Justru ketika dialog dilakukan, nilai-nilai agama yang dianut pasti secara tidak langsung akan melebur di sana. Orang-orang yang terlibat dalam dialog pasti akan membawa aspirasi dan nilai-nilai agama yang diimaninya. Agama dan moralitas itu tidak sama. Namun, nilai-nilai agama dan nilai-nilai kemanusiaan itu sebetulnya tetap saling mengandaikan, saling memperkuat, dan mengembangkan satu sama lain. Antara moralitas dan agama itu sama sekali tidak saling menafikan dan meniadakan satu sama lain.
Menurut Yinger (dalam Djamari, 1988), moralitas sering dipandang oleh kelompok agamis sebagai bagian dari domein agama. Cara seseorang merespon tetangganya pun langsung berhubungan dengan aturan Tuhan. Ada pula yang menganggap agama dan etika sama. Kelompok ekumene kontemporer di AS menekankan adanya kesatuan antara perilaku religious dan moral. Para anggotanya menegaskan bahwa seseorang dianggap munafik, jika menyembah Tuhan, tetapi ia tidak mau memberikan paling sedikit 1% dari pendapatannya untuk menonolong orang kelaparan.
Menurut kesimpulan A.H. Muhaimin dalam bukunya Cakrawala Kuliah Agama bahwa ada beberapa hal yang patut dihayati dan penting dari agama, yaitu :
1.      Agama itu mendidik manusia menjadi tentram, damai, tabah dan tawakal, ulet serta percaya pada diri sendiri.
2.      Agama itu dapat membentuk dan mencetak manusia menjadi, berani berjuang menegakan kebenaran dan keadilan dengan kesiapan mengabdi dan berkorban, serta sadar, enggan dan takut untuk melakukan pelanggaran yang menuju dosa dan noda.
3.      Agama memberi sugesti kepada manusia agar dalam jiwanya tumbuh sifat-sifat mulia dan terpuji, penyantun, toleransi dan manusiawi.
Karena itu, menempatankan agama pada posisi semula bisa menjadi penawar kebingungan manusia moderen. Moral yang bersumber agama bersifat mutlak, permanen, eternal dan universal. Nilai-nilai moral dalam islam berlaku untuk semua orang dan semua tempat tanpa memandang tanpa memandang latar belakang etnis kesukuan, kebangsaan, dan sosial kultural.
Kekuatan pengaruh agama terhadap nilai dan norma dalam kehidupan sehari-hari akan bervariasi antara berbagai jenis agama dan terganmtung kepada ideology  masyarakat penganut agama itu. Selain itu hubungan kode moral dengan agama juga bervariasi, tergantung kepada struktur masyarakat. Bagaimanapun semua agama tampaknya berpengaruh kepada moralitas personal maupun sosial.
Kebanyakan kajian mengenai agama dam moral dibuat atas referensi agama tertentu dimasyarakat tertentu pula. Keith A. Roberts menyetujui pernyataan Geertz bahwa umumnya individu penganut agama pada kebanyakan masyarakat menganggap agama sangat erat berhubungan dengan ajaran moralitas kehidupan sehari-hari. Banyak moral masyarakat terkait erat dengan kepercayaan agama. Misalnya incest dilarang oleh masyarakat dan oleh agama. Tetapi tidak semua tabu masyarakat mendapat dukungan kepercayaan agama. Dalam beberapa hal agama membantu mengatur tabu, misalnya umumnya masyarakat tabu untuk merusak bagian organ mayat. Tetapi pengobatan modern dapat mencangkokkan bagian organ tubuh, seperti kornea. Jelas disini kepercayaan agama mendukung manusia untuk merelakan bagian bagian dari tubuhnya untuk kepentingan orang lain setelah ia meninggal (Djamari, 1988).
Fungsi agama terpenting adalah memberikan dasar metafisika bagi tatanan moral kelompok sosial dan memperkuat ketaatan terhadap norma. Sebagaimana dinyatakan oleh Thomas O’dea bahwa dengan menunjukkan norma-norma atau aturan masyarakat sebagian bagian dari tatanan etik superempirik yang lebih besar, berarti norma atau aturamn masyarakat telah disucikan oleh agama dan kepercayaan. Karena agama dalam hal ini membantu memperkuat pelaksanaan norma dan aturan itu, bila ternyata tindakan individu bertentangan dengan keinginan atau kepentingan norma tersebut. Manusia membutuhkan jawban masalah makna, baik dalam arti orientasi kognitif terhadap dunianya maupun untuk memenuhi kebutuhan hubungan dengan Tuhannya. Agama menjawab masalah tersebut. Agama menyajikan berbagai fungsi antara lain memberikan wawasan dunia yang mengurangi kebingungan dan berusaha menafsirkan makna ketidakadilan, penderitaan dan kematian; membentuk dasar-dasar kosmik bagi nilai dan system moralitas personal maupun sosial; merupakan sumber identitas rasa keanggotaan pada suatu kelompok agama tertentu, dll (Djamari, 1988).


















BAB III
PENUTUP
3.1        Kesimpulan
Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.
Kebudayaan adalah suatu tata cara hidup sekelompok manusia yang menyangkut / menghasilkan : Kebiasaan, Kepercayaan, Keyakinan, Pedoman-pedoman, Mental, Akhlaq, Kejiwaan, Ritual-ritual / Upacara-upacara, Adat, Ikatan, Kekuatan spiritual.
Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.
Beberapa sikap hubungan antara Agama dan Kebudayaan, yaitu:
1.      Sikap Radikal: Agama menentang Kebudayaan.
2.      Sikap Akomodasi: Agama Milik Kebudayaan.
3.      Sikap Perpaduan: Agama di atas Kebudayaan.
4.      Sikap Pambaharuan: Agama Memperbaharui Kebudayaan.
Kebanyakan kajian mengenai agama dam moral dibuat atas referensi agama tertentu dimasyarakat tertentu pula. Keith A. Roberts menyetujui pernyataan Geertz bahwa umumnya individu penganut agama pada kebanyakan masyarakat menganggap agama sangat erat berhubungan dengan ajaran moralitas kehidupan sehari-hari. Banyak moral masyarakat terkait erat dengan kepercayaan agama. Misalnya incest dilarang oleh masyarakat dan oleh agama. Tetapi tidak semua tabu masyarakat mendapat dukungan kepercayaan agama. Dalam beberapa hal agama membantu mengatur tabu, misalnya umumnya masyarakat tabu untuk merusak bagian organ mayat. Tetapi pengobatan modern dapat mencangkokkan bagian organ tubuh, seperti kornea. Jelas disini kepercayaan agama mendukung manusia untuk merelakan bagian bagian dari tubuhnya untuk kepentingan orang lain setelah ia meninggal (Djamari, 1988).

3.2        Saran
Diharapkan kepada semua pihak yang membaca makalah ini, agar kiranya dapat menjadikan sebagai salah satu rujukan yang sifatnya membangun dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Orang bijak mengatakan bahwa manusia perlu berfikir untuk mengetahui siapa dirinya dan kemana arah tujuan perjalanan hidupnya, sehingga tidak hanya berfikir secara materialistik dan hedonis.


DAFTAR PUSTAKA
Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. 1990. Jakarta: PT Ranaka Cipta.
Joeyz, Iwan. Hubungan Agama dan Budaya. 2009.
Mustopo, M. Habib, dkk, 1983, Ilmu Budaya Dasar,  Surakarta: Usaha Nasional.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar