PEMBAHASAN
FILSAFAT JAINA
A.
Definisi Filsafat Jaina
Filsafat Jaina di
golongkan kedalam kelompok Nastika ( Heterodok ), mengakui empat aspek
kebenaran yaitu : Atman, Karma,
Punarbhawa, dan Moksa. Filsafat Jaina bersifat Atheis, namun mengakui jiwa-jiwa yang bebas disebut dengan Sidhas, menekankan pada ajaran Ahimsa Karma. Jaina selain sebagai
filsafat juga merupakan agama, yang masih ada namun pengikutnya yang cenderung
sedikit. Jaina didirikan sebagai
gerakan yang memprotes pelaksanaan ritual yang berlebihan dan menekankan pada
etika terutama komitmennya terhadap konsep Ahimsa.
Filsafat Jaina memiliki 24 Thirthankara atau pendiri keyakinan sebagai yang meneruskan
ajaran-ajaran Jaina. Thirthankara I bernama
Rishabadeva adalah pendiri filsafat Jaina,
disini tidak banyak diketahui tentangnya. Thirthankara II sampai yang XXII
tidak juga banyak diungkap dan diketahui nama dan perkembangannya. Thirthankara XXIII bernama Parsvanatha yang hidup pada abad 9 sebelum Masehi dan Thirthankara XXIV bernama Vidharmana Mahavira. Jaina terdiri dari
dua golongan diantaranya : golongan khusus ( Para Pedeta ), dipandang sebagai yang mampu memperkokoh faham Jaina dan golongan umum yaitu masyarakat
biasa yang secara material dan moral membantu eksistensitas golongan khusus.
Kitab suci Jaina
diambil dari pidato-pidato, pesan-pesan keagamaan Mahavira diterima para murid secara generatif atau lisan. Pada abad
ke 4 Sebelum Masehi diadakan pertemuan untuk mengumpulkan sumber-sumber ajaran Jaina, namun muncul perbedaan pemikiran.
Bahasa yang dipakai dalam kepustakaan Jaina
adalah Bahasa Ardha Majdi, yang
kemudian diganti kedalam Bahasa Sansekerta.
Jaina memiliki tujuan diantaranya :
1). Sebagai gerakan yang memprotes pelaksanaan ritual yang berlebihan dan
menekankan pada etika terutama komitmennya pada ahimsa. 2). Adanya peraturan kasta
yang disusun oleh golongan Brahmana.
3). Peraturan tersebut memberi keuntungan kepada golongan Brahmana akibatnya timbul gerakan sewenang-wenang dari golongan Brahmana. 4). Kesewenangan ini ditentang
kaum ksatria, mesti timbul
pergolakan.
Svetambara dan Dirgambara merupakan dua sekta yang lahir karena adanya
perbedaan memahami ajaran-ajaran praktek agama Jaina, namun Jaina tetap Jaina meskipun ajaran-ajarnnya
ditafsirkan berbeda. Pengikut Svetambara berpakain
putih melambangkan penolakan terhadap dunia materi. Pengikut Dirgambara berpakaian biru langit
sebagai symbol pemutusan hubungan dengan dunia. Svetambara lebih akomodatif dari pada Dirgambara yang ekstrim. Berpakaian putih bagi sekta Svetambara diberlakukan bagi pendeta
tinggi, bukan untuk orang kebanyakan dan pendeta rendah. Sekta Dirgambara yang ekstrim mengharuskan
pendeta tinggi telanjang bulat (berpakaian biru langit) mempertahankan hidup
dari meminta - minta, bertapa secara sempurna, tidur hanya tiga jam, sisa waktu
untuk belajar dan mengajar, dan bagi kaum wanita tidak dapat mencapai
pembebasan. Karena begitu ekstrim pengikutnya pun sedikit.
B.
Aspek Religius Jaina
Munculnya Faham Jaina
sebagai protes terhadap adanya peraturan-peraturan kasta yang disusun oleh
golongan Brahmana. Peraturan tersebut
banyak memberi keuntungan kepada golongan Brahmana
sehingga timbul gerakan sewenang-wenang bagi golongan Brahmana. Yang menentang kesewenangan itu adalah golongan Ksatria. Mesti pergolakan timbul dan
demi tetap eksisnya Jaina maka sikap
menghormati kaum Brahmana tetap
dilakukan.Namun pemikiran religius Jaina
tetap bebas dari kekuasaan Veda. Hal
ini disebabkan konsep ajaran Jaina menyebutkan
sebagai berikut :
1.
Rasa takut dari
pengulangan kelahiran.
2.
Menjalankan
kehidupan kerohanian.
3.
Tidak peduli
terhadap kenikmatan dan kepedihan.
4.
Berhemat dan
cermat dalam hidup.
5.
Jalannya adalah
ketuhanan tetapi bukan ketuhanan Hindu.
6.
Jaina mengobati
keinginannya dengan melenyapkan keinginannya sendiri, caranya dengan hidup
hemat, cermat, dan melakukan pemujaan kepada roh para Thirthankara.
C.
Godaan penciptaan kepercayaan yang salah dan perilaku
buruk
Konsep ini bertitik tolak dari pemikiran Jaina tentang kesalahan yang menghiasi
hidup dan kehidupan manusia. Dikatakan kalau kehidupan itu selamanya derita dan
siksa tak henti-hentinya, sehingga kenikmatannya hilang. Oleh Karena itu hidup
ini adalah suatu kesalahan. Kebaikan yang diharapkan manusia, namun yang
diperoleh adalah keburukan siksa yang membawa kekecewaan tak henti-hentinya
hingga manusia menemukan ajalnya.
Manusia lahir kembali yang diperoleh dari amalnya
sendiri. Perbuatan baik pun binasa apalagi yang perbuatan jahat. Inilah roda
kehidupan, tidak ada obat untuk itu kecuali manusia mencabuti kesenangannya.
Tapi ada sesuatu yang membuat manusia ingin menikmati kehidupan ini. Itulah
“godaan” pencipta kepercayaan yang buruk
dan kebodohan yang mencolok mata dilakukan manusia. Roh menjadi buta terhadap
kegelapan yang berlapis-lapis, berjalan
tidak tentu arah, mencintai hidup dan hawa nafsu. Oleh karena itu perlu
peroleh cahaya pemimpin Jaina dengan
mengikuti jalan segi tiga mutiara yaitu :
1.
Etikad yang sah
artinya percaya kepada pemimpin Jaina tidak
terkecuali, sekali diri terlepas dari kotoran dosa yang melekat yang
menghalangi sampainya roh pada etikad tersebut.
2.
Ilmu yang benar
tentang alam baik dari aspek rohani maupun jasmani. Kedua aspek ini memiliki
perbedaan menurut penglihatan dan kejernihan roh. Bagi mereka yang mampu
memisahkan pengaruh dari kekuatan rohani dapat melihat alam dalam keadaan yang
sebenarnya, tabir alam tersikap sehingga dapat membedakan antara kebenaran dan
kesalahan.
3.
Berakhlak yang
benar artinya bersifat dengan akhlak Jaina
seperti konsisten terhadap ahimsa,
tidak berbohong, mencuri, curang dan puas dengan kepunyaan sendiri. Tiga jalan
ini saling berkaitan dan dipandang sebagai jalan mencapai “ Penyelamatan “.
D.
Pandangan Jaina tentang
Tuhan
Sebagai faham yang bebas
dari kekuasaan Veda, Jaina juga merupakan sejenis gerakan keagamaan yang
menentang agama Hindu dan memberontak atas kekuasaan kaum Brahmana. Atas dasar ini Jaina
memandang Tuhan bukan roh Yang Maha Agung. Fahamnya dikatakan sebagai agama
Iihad (tidak mempercayai Tuhan),
namun percaya pada roh-roh yang telah terbebaskan (Sidas). Mereka itu adalah roh para Thirthankara. Jaina tidak menerima bukti-bukti perwujudan Tuhan
sebagai mana agama Hindu mewujudkannya, yang diakuinya hanyalah roh para Thirthankara. Kondisi ini memunculkan
kepentingan-kepentingan negatif seperti kepercayaan korban dalam ritual seperti
agama Hindu lakukan, tidak mau mengklaim keistimewaan dan kelebihan kaum Brahmana seperti yang diklaim agama
Hindu.
E.
Penyelamatan menurut Jaina
Penyelamatan adalah
sebutan yang diberikan kepada siapa saja yang rohnya telah mencapai kenikmatan
dan kebahagiaan yang abadi. Penyelamatan bisa dicapai bila telah terlepas dari karma, kelahiran berulang-ulang hingga
seseorang menjadi suci dan kemauan untuk lahir pun tidak ada lagi. Ketika
penyelamatan terjadi, maka berhentilah amal dan karma serta kehidupan yang bersifat kebendaan, yang tinggal adalah
roh dalam kenikmatan kebahagiaan yang abadi. Penyelamatan itu tidak terjadi
kecuali melalui tingkat kemanusiaan yang penuh dengan halangan dan kesulitan
sebagaimana yang dilakukan para pendeta, seperti tidak merasa kasih, suka dan
duka, takut, malu, lapar, dahaga dan ahimsa.
Semua ini sangat berat dilakukan oleh orang kebanyakan. Penyelamatan adalah
suatu kejayaan mendapatkan kegembiraan yang kekal abadi, tidak dikotori
kepedihan, kebimbangan dan kedukaan. Bagi yang telah mencapainya dikatakan
berada diatas langit.
F.
Jaina agama yang Pasrah
Jaina sesungguhnya
adalah agama yang pasrah, baik dari aspek religi maupun filosofisnya. Untuk itu
yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1.
Mengakui dan
menghormati kaum Brahmana yang
memiliki kedudukan istimewa dan mendominasi kehidupan keagamaan dalam upacara
seperti yang ada dalam agama Hindu. Ini adalah kewajiban, yang tidak berarti
ada kaum Brahmana di dalam Jaina.
2.
Jaina tidak
menentukan keistimewaan bagi pendeta
sebagaimana agama Hindu lakukan, kecuali para pendeta itu telah dipandang
sebagai Thirthankara ( telah mencapai
penyelamatan).
G.
Karma dan pengembalian roh
Menurut jaina,
karma adalah sesuatu yang wujud dan bersifat kebendaan bercampur dengan roh
yang seolah-olah memegang kendali. Percampuran ini diibaratkan air bercampur
dengan susu. Begitulah karma berbaur
dengan roh dengan demikian jadilah roh sebagai tahanan dalam kekuasaan karma. Jaina adalah filsafat dan juga agama. Dalam aspek religinya ia
percaya pada karma dan kelahiran
kembali yang lazim diistilahkan sebagai pengembalian roh. Untuk lepas dari
cengkraman karma, diperlukan
kontinyuitas kelahiran hingga suatu saat menjadi suci, dan kemauan keduniawian
menjadi hilang, yang ada hanya roh yang kekal dalam kenikmatan yang abadi. Roh
dikatakan jamak, terdapat roh sebanyak tubuh yang ada baik manusia, binatang,
dan tumbuh-tumbuhan serta bahkan debu sekalipun, memiliki pengetahuan dan
tingkat yang berbeda. Untuk membuktikan roh diperlukan persepsi artinya ketika
seseorang secara internal memahami kenikmatan, penderitaan dan
kualitas-kualitas lain, maka pada saat itulah roh dipandang sebagai roh yang
terbelenggu, Jiwatman memiliki badan
jasmani dan dihubungkan dengan kekuatan karma
sehingga kemuliaannya ternoda. Oleh karena itu Jaina menyarankan agar mengeliminasi roh / jiwatman dengan karma,
mengembalikan jiwa pada kemuliaannya, bila berhasil disebut penyelamatan.
H.
Metafisika Jaina
tentang alam semesta
Alam semesta tidak diciptakan atau ditopang oleh
sesuatu apapun yang super natural. Alam semesta tidak berawal dan tidak
berakhir, bergerak karena berkenan dengan hukum alam. Realita memiliki dua
katagori yang berbeda yaitu : 1). Jiwa yang memiliki kehidupan dan kesadaran,
bisa dalam keadaan terbebaskan, itu berarti jiwa memiliki pengetahuan yang
sempurna kemurnian, kedamaian, dan kekuatan. Ketika dalam keadaan tidak
terbebaskan / terbelenggu, ia memiliki jasmani dan dihubungkan dengan kekuatan karma, sehingga kemuliaannya yang sejati
ternoda. Ibarat logam yang tidak bersinar terbungkus karat. Eliminasilah jiwa
dengan karma agar ia kembali kepada
kemuliaannya. 2). Ajiwa tidak
memiliki kesadaran sehingga tidak ada muncul kehidupan. Ajiwa terdiri atas lima kesatuan diantaranya :
1.
Zat / matter (Pudgala) sebagai pembentuk badan
jasmani dan obyek-obyek material.
2.
Ruang (Akasa).
3.
Waktu (Kala) untuk eksistensi obyek-obyek.
4.
Dharma.
5.
Adharma.
Pandangannya terhadap alam semseta berpegangan pada
tiga Pramana yaitu : Persepsi ( Pratyaksa), Inferensi ( Anumana) dan Otoritas ( Sruta). Melalui Inferensi Jaina percaya dengan adanya ruang ( akasa) karena substansi-substansi
material eksis dalam ruang, percaya kepada waktu karena perubahan berurut dari
suatu keadaan substansi tidak dapat difahami tanpa waktu, percaya kepada dharma dan adharma karena kedua unsur ini adalah dua penyebab gerakan dan
penghentian. Tanpanya penggerak dan penghentian gerakan tidak bias dijelaskan,
dan obyek-obyek material tidak dapat ditentukan eksis dalam ruang dan waktu.
Ruang, waktu, dharma, dan adharma adalah empat elemen dunia pisik.
Persepsi dapat dipergunakan untuk membuktikan roh
dalam setiap tubuh, caranya dengan memahami eksistensi setiap tubuh hidup
(kenikmatan dan penderitaan dialami roh), itu mengindikasikan roh secara
langsung diketahui melalui persepsi, dapat diketahui kualitas. Jaina berpendapat kalau dunia pisik
dibentuk oleh kala, akasa, dharma dana dharma. Apabila ada elemen Pudgala
(matter/zat) maka keseluruhan
elemen tersebut menentukan fenomena alam semesta.
I.
Epistimologi Jaina
Inferensi dikatakan valid apabila mengikuti
kaidah-kaidah yang tepat. Testimoni verbal dikatakan pengetahuan yang valid
apabila memberikan laporan dari otoritas terpercaya yang diterima dari
orang-orang suci yang telah terbebaskan, dan pengikut Jaina yang telah mendapatkan pengetahuan yang benar tentang
ajaran-ajaran jaina. Pengetahuan
diklarifikasi sebagai berikut :
1.
Pengetahuan
langsung (Aparakosa).
2.
Pengetahuan
antara/tidak langsung ( Parakosa).
3.
Pengetahuan salah
(Samsaya/keragu-raguan).
4.
Pengetahuan Pramana adalah pengetahuan tentang
sesuatu seperti apa adanya.
5.
Naya adalah
pengetahuan tentang benda dalam hubungannya dengan benda lain, Naya sama dengan titik pandang atau
pendapat dari mana seseorang membuat pernyataan tentang sesuatu.
Tiga jenis aparakosa
yaitu : 1). Avadhi adalah
kemampuan terhadap hal-hal yang tidak tampak oleh indriya, 2). Manahparyaya adalah telepati, 3). Kevala adalah kemahatahuan.
Dua jenis pengetahuan parakosa yaitu : 1). Sruta
adalah pengetahuan yang diambil dari otoritas. 2). Mati adalah pengetahuan yang mencangkup pengetahuan perseptual dan inferensial. Perseptual
dalam arti pengetahuan itu diperoleh melalui panca indriya. Cakupan pengetahuan
yang diperoleh melalui pikiran disebut pengetahuan konseptual. Inferensial
dimaksudkan pengetahuan yang diperoleh dengan menarik kesimpulan dari
pernyataan-pernyataan faktual yang diambil sebagai bukti bagi kesimpulan.
Pernyataan-pernyataan itu mengandung dua aspek yaitu :
1). Aspek deduksi adalah suatu proses
menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan (premis-premis) sehingga tercapai kesimpulan yang pasti dengan
aturan-aturan logika. 2). Aspek induksi
adalah menarik kesimpulan tidak berdasarkan pernyataan-pernyataan (premis-premis ) menurut keharusan
logika.
J.
Tentang Roh
Percaya adanya roh yang banyak artinya terdapat roh
sebanyak tubuh hidup, tidak hanya dalam manusia, binatang, tetapi juga dalam
tumbuh-tumbuhan dan bahkan dalam debu sekalipun ada roh. Tidak semua roh
memiliki kesadaran yang sama, karena keterbatasan pengetahuan, tenaga, dan
mengalami ragam penderitaan. Setiap roh suatu saat mampu mencapai kesadaran,
kebahagiaan, dan kekuatan tak terbatas. Masalahnya ia terbelenggu. Belenggu roh
harus disingkirkan dengan cara : 1).
Melalui keyakinan yang sempurna terhadap keyakinan ajaran guru Jaina. 2). Memahami dan berlaku benar
sesuai ajaran-ajaran Jaina ( ahimsa, mencuri, kemelekatan obyek
indriya).
K.
Teori Anekantavada
dan Syadvada
Bermula dari keberadaan sifat obyek material (benda),
dan kemampuan manusia melihat kapasitasnya yang terbatas adalah relatif. Adalah
tidak mungkin mengetahui sifat-sifat benda yang pluralistis, karena tidak ada satupun pikiran berlaku benar bagi
sebuah atau banyak benda. Untuk meneropong sifat pluralistis sebuah atau banyak benda, maka dikemukakan doktrin pluralistis material,
menyebutkan setiap material (benda) memiliki karakter positif dan negatif yang
tak terhitung banyaknya, tidak mungkin manusia mampu mengetahui semua sifat
sebuah benda, dan semua sifat semua benda. Mengetahui salah satu sifat sebuah
benda merupakan suatu keberuntungan besar bagi manusia, apalagi semua sifat
semua benda.
Dari aspek metafisika realitas (eksistensi sebuah
benda) yang mempunyai karakter yang tidak terhitung jumlahnya itulah disebut anekantavada atau realitas pluralistis, mengetengahkan tentang
material, spirit, dan atom-atom. Tiga elemen ini dipandang sebagai realitas
independen dan terpisah. Realitasnya sebuah benda memiliki karakter jamak. Pluralistisnya roh jamak masing-masing
memiliki aspek diri yang tak terhitung, dan atom-atom material juga tak
terhitung jumlahnya. Dari aspek logika dan epistimologi, manusia hanya mampu
mengetahui beberapa aspek saja dari realitas (objek benda), oleh karena itu
keputusan yang diambil ketika berhadapan dengan realitas itu relatif (Syadvada) atau Sapta Bhangi Naya artinya teori tujuh tahapan keputusan. Keputusan
yang diambil relatif yaitu :
1.
Syadasti artinya
secara relatif sebuah benda riil.
2.
Syanasti
artinya secara relatif sebuah benda tidak riil.
3.
Syadasti Nasti artinya
secara relatif sebuah benda riil dan tidak riil.
4.
Sydavaktavyam
artinya secara relatif sebuah benda tidak bisa dijelaskan.
5.
Syadasti cah avaktavyam artinya secara relatif sebuah benda riil dan tidak
riil dapat dijelaskan.
6.
Syannasti cah avaktavyam artinya secara relatif sebuah benda tidak riil bisa
dijelaskan
7.
Syadasti cah nasti
avaktavyam artinya secara relatif
sebuah benda riil dan tidak riil tidak bias dijelaskan.
L.
Disiplin jaina
1.
Ketat, kaku, dan
fanatic.
2.
Lima disiplin ( Maha vrta) dalam kehidupan kependetaan
harus dilaksanakan yaitu ahimsa, satya (kebenaran dalam pikiran), asetya (tidak mencuri), Brahmacari ( melakukan pikiran,perkataan
dan laksana yang baik ), aparigraha ( melekatkan pikiran, perkataan dan
perbutan yang baik).
3.
Disiplin untuk
masyarakat umum (anu vrta/sumpah kecil), pelaksanaannya bisa dimodifikasi dan disederhanakan.
KESIMPULAN
Filsafat Jaina di
golongkan kedalam kelompok Nastika ( Heterodok ), mengakui empat aspek
kebenaran yaitu : Atman, Karma,
Punarbhawa, dan Moksa. Filsafat Jaina bersifat Atheis, namun mengakui jiwa-jiwa yang bebas disebut dengan Sidhas. Filsafat Jaina memiliki 24 Thirthankara
atau pendiri keyakinan sebagai yang meneruskan ajaran-ajaran Jaina, Svetambara dan Dirgambara merupakan dua sekta yang lahir karena adanya
perbedaan memahami ajaran-ajaran praktek agama Jaina, namun Jaina tetap Jaina meskipun ajaran-ajarnnya
ditafsirkan berbeda.
Konsep ajaran Jaina
menyebutkan sebagai berikut :
1.
Rasa takut dari
pengulangan kelahiran.
2.
Menjalankan
kehidupan kerohanian.
3.
Tidak peduli
terhadap kenikmatan dan kepedihan.
4.
Berhemat dan
cermat dalam hidup.
5.
Jalannya adalah
ketuhanan tetapi bukan ketuhanan Hindu.
6.
Jaina mengobati
keinginannya dengan melenyapkan keinginannya sendiri, caranya dengan hidup
hemat, cermat, dan melakukan pemujaan kepada roh para Thirthankara.
Jalan segi tiga mutiara yaitu :
1.
Etikad yang sah
artinya percaya kepada pemimpin Jaina tidak
terkecuali, sekali diri terlepas dari kotoran dosa yang melekat yang
menghalangi sampainya roh pada etikad tersebut.
2.
Ilmu yang benar
tentang alam baik dari aspek rohani maupun jasmani. Kedua aspek ini memiliki
perbedaan menurut penglihatan dan kejernihan roh. Bagi mereka yang mampu
memisahkan pengaruh dari kekuatan rohani dapat melihat alam dalam keadaan yang
sebenarnya, tabir alam tersikap sehingga dapat membedakan antara kebenaran dan
kesalahan.
3.
Berakhlak yang
benar artinya bersifat dengan akhlak Jaina
seperti konsisten terhadap ahimsa,
tidak berbohong, mencuri, curang dan puas dengan kepunyaan sendiri. Tiga jalan
ini saling berkaitan dan dipandang sebagai jalan mencapai “ Penyelamatan “.
Pandangannya terhadap alam semseta berpegangan pada
tiga Pramana yaitu : Persepsi ( Pratyaksa), Inferensi ( Anumana) dan Otoritas ( Sruta).
Pengetahuan diklarifikasi sebagai berikut :
1.
Pengetahuan
langsung (Aparakosa).
2.
Pengetahuan
antara/tidak langsung ( Parakosa).
3.
Pengetahuan salah
(Samsaya/keragu-raguan).
4.
Pengetahuan Pramana adalah pengetahuan tentang
sesuatu seperti apa adanya.
5.
Naya adalah
pengetahuan tentang benda dalam hubungannya dengan benda lain, Naya sama dengan titik pandang atau
pendapat dari mana seseorang membuat pernyataan tentang sesuatu.
Daftar Pustaka
Maswinara
I Wayan.2006.Sistem Filsafat Hindu.Sarva
Darsana Samgraha.Surabaya.Paramitha.
Sumawa, I Wayan dan Tjokorda Raka Krisnu. 1996. Materi
Pokok Darsana. Universitas Terbuka : Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar