Kamis, 27 April 2017

pemangku

BAB I
PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang
Dalam pelaksanaan upacara yadnya, sudah tentu upacara tersebut dipimpin oleh seorang yang telah memiliki kewenangan dan kemampuan dalam menghantar upakara yadnya. Orang yang bertugas secara langsung mengantar suatu upacara dalam agama hindu dapat dilihat dari tingkat penyuciannya yang secara umum dibedakan atas dua golongan yaitu Pandita atau Sulinggih dan Pinandita atau Pemangku. Keduanya memiliki kewenangan dalam dalam mengantarkan suatu upakara akan tetapi terdapat pula batsan-batasan yang mengikat kewenangan tersebut serta terdapat pula kode etik yang mengikat kedua rohaniawan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Rohaniawan dalam agama hindu menempati kedudukan yang penting. Peranan seorang rohaniawan sangat menonjol terlebih lagi dalam penyelesaian suatu yadnya.lebih-lebih lagi dalam yadnya yang cukup besar akan terasa kurang sempurna bila tidak diantar oleh rohaniawan yang dipandang sesuai untuk itu.
        Dalam kehidupan umat hindu ada tiga unsur utama yang berperan dalam pelaksanaan suatu yadnya :
1.    Yajamana, adalah pelaksana atau pemilik yadnya itu.
2.    Pancagra atau sang widya adalah para tukang yang berperan dalam menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalm bentuk upakara serta kelengkapannya.
3.    Sadhaka, addalah para rohaniawan yang bertugas mengantarkan yadnya tersebut dengan puja, seha, mantra dan wedanya.
          Rohaniawan yang dipandang sesuai untuk mengantar atau menyelesaikan suatu yadnya erat kaitannya dengan besar kecilnya yadnya tersebut. Dalam tingkatan yadnya yang besar patut diselesaikan (dipuput) oleh sulinggih, yaitu rohaniawan yang tergolong dwi jati. Sedangkan dalam tingkatakan yadnya yang kecil cukup diantar (dianteb) oleh rohaniawan tingkat eka jati seperti pamangku, dan yang sejenisnya.
          Pamangku dipandang menempati kedudukan yang penting dan terhormat dalam pandangan agama hindu. Oleh karena itu pula pamangku patut menjaga nama baik dan kesucian diri pribadinya. Banyak terdapat aturan-aturan yang patut dipatuhi oleh seorang pamangku, walaupun tidak seketat aturan yang berlaku bagi seorang sulinggih. Namun bila dibandingkan, walaupun sama tergolong walaka pemangku memiliki aturan dalam disiplin kehidupan yang lebih ketat.
         Dalam penulisan makalah ini, penulis bertujuan untuk memaparkan aturan-aturan yang berkenaan dengan kepemangkuan yang selama ini banyak termuat dalam sastra-satra agama, seperti halnya dalam Lontar Kusumadewa. Dengan penulisan makalah ini diharapkan agar dapat memberikan gambaran secara umum tentang kepemangkuan, sehingga masyarakat umat hindu dapat berperan lebih aktif untuk ikut serta menjaga dan menempatkan pamangku pada kedudukan sesuai dengan satra agama.

1.2  Rumusan Masalah
            1. Apakah Pengertian Pinandita atau pemangku ?
            2. Apasajakah Jenis-Jenis Pemangku ?
            3. Bagaimanakah Sesana Pemangku ?
            4. Adakah Cuntaka bagi Pemangku ?
            5. Siapakah yang boleh menjadi Pemangku ?
            6. Bagaimanakah cara memilih Pemangku?
            7. Apasajakah jenis pewintenan Pemangku?
            8. Apasajakah nama panggilan untuk Pemangku?
            9. Apasajakah Pakaian Pemangku?
            10. Apakah Puja Pemangku itu?

1.3  Tujuan Penulisan
            1. Mengetahui Pengertian Pinandita atau pemangku
            2. Mengetahui Jenis-Jenis Pemangku
            3. Mengetahui Sesana Pemangku
            4. Mengetahui Cuntaka bagi Pemangku
            5. Mengetahui Siapa yang boleh menjadi Pemangku
            6. Mengetahui cara memilih Pemangku
            7. Mengetahui jenis pewintenan Pemangku
            8. Mengetahui nama panggilan untuk Pemangku
            9. Mengetahui Pakaian Pemangku
            10.Mengetahui Puja Pemangku itu

1.4    Manfaat Penulisan
      Ada banyak manfaat yang baik dari pembuatan makalah. Jika tidak ada manfaatnya maka tentu saja Sekolah atau instansi sejenisnya tidak akan menuntutnya. Beberapa manfaat antara lain :
1.      Melatih kreatifitas mahasiswa dalam menuangkan gagasan pemikirannya (ide-idenya) tentang suatu kajian atau topik dari ilmu-ilmu yang sudah didalami. Di sini secara tidak langsung penulis juga dilatih untuk menerapkan kemampuan berpikir secara logis-sistematis.
2.      Makalah ini, bukan hanya berguna bagi penulis saja tetapi juga sebagai bahan referensi ilmiah dan sumbangan pengetahuan bagi sekolah, bagi para pembaca tentang apa yang disumbangkan lewat ide penulis melalui makalah tersebut.
3.      Sebagai tuntutan akademik bagi para akademisi yang ingin berpetualang terus dalam dunia pengetahuan dan pendidikan. Dengan hasil makalah, penulis dilatih secara khusus untuk terbiasa menulis atau mengolah sesuatu yang menjadi obyek tulisan.
4.      Melatih berpikir tertib dan teratur karena menulis makalah harus mengikuti tata cara penulisan yang sudah ditentukan prosedur tertentu, metode dan teknik, aturan / kaidah standar, disajikan teratur, runtun dan tertib.
5.      Menumbuhkan etos ilmiah di kalangan mahasiswa, sehingga tidak hanya menjadi konsumen ilmu pengetahuan, tetapi juga mampu menjadi penghasil (produsen) pemikiran dan karya tulis dalam bidang ilmu pengetahuan.


BAB II
PEMBAHASAN
Pemangku
2.1 Pengertian Pinandita  atau Pemangku.
Pada umumnya kita di Bali mendengar kata Pamangku atau Mangku memang hal yang sudah biasa, namun perlu kita ketahui apakah yang terkandung tersirat dari makna kata yang terkandung didalamnya pada bagian ini kita akan bahas dari beberapa sumber yang menyebutkan makna dari kata pemangku. Menurut lontar Widhi Sastra kata pemangku diuraikan menjadi ‘Pa’ bermakna “Pastika pasti”, yang artinya paham akan hakikat kesucian, dan kata ‘Mang’ bermakna “Weruh ring titining Agama” artinya paham mengenai pelaksanaan ajaran Agama. Mengingat ‘Mang’ sebagai suku kata aksara suci Dewa Iswara atau Siwa sendiri sebagai guru niskala bagi warga desa, beliau juga dijuluki sebagai Sanghyang Ramadesa. ‘Ku’ bermakna “Kukuh ring Widhi” yang artinya teguh dan konsisten berpegangan kepada Tuhan/ Ida Sanghyang Widhi.
Dalam Lontar Sukretaning Pamangku, dinyatakan bahwa pemangku adalah perwujudan I Rare Angon (Dewa Gembala/Pengangon) yang merupakan perwujudan dari Dewa Siwa seperti dinyatakan sebagai berikut”
‘Ikang sukretaning pamangku ring khayangan, wnang tegesin pamangku kawruhakena kang mawak pamangku ring sariranta. I Rare Angon mawak pamangku ring sariranta’.
Dalam beberapa sumber lain pengertian Pemangku berasal dari bahasa Jawa Kuno, dari kata ‘pangku’ berubah menjadi kata amangku, mangku, pinangku, kapangku, yang berarti memangku, mengangga, menopang, membawa pada kedua tangan di depan dada (Zoetmulder, 1995:750). Dalam bahasa Bali, kata ini berarti nampa, menyangga, memikul beban atau memikul tanggung jawab sebagai pelayan atau perantara anatara yang punya kerja dengan Ida Sanghyang Widhi, dengan kata lain yakni orang yang menerima tugas pekerjaan untuk memikul beban atau tanggung jawab sebagai pelayan Sanghyang Widhi Wasa sekaligus sebagai pelayan masyarakat (Suhadana, 2006:6).
Menurut Keputusan Mahasabha Parisadha Hindu Dharma Indonesia II tanggal 5 Desember 1968, yang dimaksud dengan pemangku adalah mereka yang telah melaksanakan upacara yadnya pawintenan sampai adiksa widhi, tanpa ditapak dan amari aran.
Dengan berpedoman pada sastra di atas, bahwa seorang pemangku tugas pokoknya tidak cukup memberikan pelayanan kepada umat dalam rangka menyelesaikan upacara yajna saja, pemangku juga wajib menjaga kesucian diri baik untuk pribadi maupun orang lain mengingat beliau merupakan perwujudan Siwa sekala, atau Siwaning desa pakraman, sebagai pengembala umat yang bertugas menuntun umat setiap hari dalam rangka pencarian hakikat sang diri demi terwujudnya kerahayuan jagat.
Dalam aspek yuridis formal seorang pemangku adalah orang-orang yang masih tergolong ekajati, mengingat upacara penyucian sebatas mapadengen-dengenan dan pawintenan.
Pemangku  adalah Rohaniawan Hindu yang tergolong Ekajati. Seorang Pemangku  adalah Duta Dharma yang selalu mengutamakan pelaksanaan ajaran agama Hindu baik bagi dirinya maupun masyarakat . Dengan Demikian Pemangku adalah seorang Rohaniawan yang bertugas memuput upacara agama dan ngalokapalasraya sebatas ijin / panugrahan dari Sang Guru (Nabe).( Acara Agama Hindu.Putu Sanjaya.2008:118).
2.2 Jenis-Jenis Pemangku.
Dalam Lontar Raja Pura Gama terdapat beberapa jenis pemangku, yaitu :
1.      Pemangku Pura Dalem, Pura Puseh dan Pura Bale Agung (Pura Desa).
Pemangku ini adalah pemangku yang bertugas pada masing-masing pura tersebut.Akan tetapi dalam keadaan tertentu, seperti upacara yang besar, antara Pemangku tersebut dapat saling membantu.
2.      Pemangku Pamongmong
Pemangku ini bertugas sebagai pembantu dariPemangku utama suatu Pura, yang bertugas mengatur jalannya atau tata pelaksanaan upacara. Pemangku ini belum boleh menggunakan Bajra (Genta).
3.      Pemangku Jan Banggul
Pemangku ini bertugas sebagai pembantu di pura, tugasnya seperti mengatur sesajen, memasang bhusana atau wastra pada pelinggih, membagikan wangsuhpada dan bija, serta tugas-tugas lainnya kecuali menghantarkan upacara (Nganteb).

4.      Pemangku Cungkub
Pemangku ini bertugas pada merajan agung.
5.      Pemangku Nilarta
Pemangku ini bertugas pada pura keluarga/kawitan.
6.      Pemangku Pandita
Pemangku yang telah mendapat ijin dari seorang Sulinggih untuk memimpin pelaksanaan Dewa Yadnya atau pun Pitra Yadnya dalam batasan-batasan tertentu.
7.      Pemangku Bhujangga
Pemangku ini bertugas pada Pura Kawitan Paibon.
8.      Pemangku Balian
Pemangku yang melaksanakan swadharma sebagai balian atau dukun yang mengobati orang sakit.
9.      Pemangku Dalang
Pemangku yang melaksanakan Swadharma sebagai seorang Dalang, Pemangku ini disamping mendalang dengan melakonkan cerita-cerita Itihasa, juga melakonkan wayang Sapuh Leger untuk meruwat orang yang lahir pada wuku Wayang.
10.  Pemangku Lancuban
Pemangku ini adalah pemangku yang memiliki Taksu, yang membantu meneropong secara Niskala (Matuun) dan memohon petunjuk dari dunia Abstrak (Niskala).
11.  Pemangku Tukang
Pemangku ini adalah Pemangku yang memahami ajaran Wisnu Karma dan mahir dalam pekerjaan tukang, seperti Undagi (Tukang Bangunan),Sangging ( Tukang Ukir), Pande ( Tukang Besi), dan sebagainya.
12.  Mangku Kortenu
Pemangku ini bertugas dipangulun setra tepatnya di Pura Prajapati.
Dalam Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu  I-XV tahun 1999/2000 tentang pemagku dibedakan menjadi 2 yaitu :
1.      Pemangku Tapakan Widhi yaitu Pemangku pada Pura Sad Kahyangan, Dang Kahyangan Tiga, dan Pura Keluarga seperti : Paibon, Panti, Pedharman, Merajan, Sanggah Gede,dan sebagainya.
2.      Pemangku Dalang yaitu Pemagku yang berprofesi sebagai Dalang.
2.3 Sesana Pemangku
Sesana Pemangku adalah suatu landasan moral yang patut menjadi pedoman seorang pemangku di dalam menjalankan profesinya agar Pemangku tetap dipandang sebagai perantara antara Umat dengan Ida Bhatara dan sebaliknya pula anatara Ida Bhatara dengan Umat. Landasan moral dalam berprilaku sebagai seorang Pemangku.Kode etik ini terdiri dari:
1.      Wewenang Pemangku
Dalam melaksanakan tugasnya Pemangku berwenang untuk :
a.       Memimpin / mengantarkan suatu upacara sesuai dengan pawintenannya dan panugrahan dari Nabe, (Sesuai dengan batasan-batasnnya atau kewenangannya yang diberikan oleh guru Nabe).
b.      Memimpin Upacara (Muput karya) dipura yang menjadi amongannya.
c.       Dalam melaksanakan tugasnya berpakaian serba putih dan bersih. Boleh berambut panjang ataupun bercukur, maupun menutup kepalanyan dengan destar.
d.      Mengahaturkan banten, nunas pamarisudha banten, memberi ijin untuk nedunang bhusana, arca, daksina ataupun kelengkapan di Pura, serta melarang orang lain yang melakukan hal-hal tidak baik di Pura.

2.      Kewajiban Pemangku
Pemangku sebagai seorang Rohaniawan memiliki kewajiban-kewajiban antara lain :
a.       Selalu melaksanakan ajaran agama Hindu seperti Tri Kaya Parisudha, Catur Paramitha, Panca Yama Brata dan Panca Nyama Brata.
b.      Mengantarkan upacara yadnya yang dipersembahkan di Pura sesuai kewenangannya baik pada suatu piodalan maupun hari-hari lainnya.
c.       Menuntutun umat dalam kegiatan persembahyangan sehingga berlangsungnya tertib dan khidmat.
d.      Menjaga dan memelihara kesucian Pura beserta isinya dari segala hal yang di pandang dapat menodai kesucian Pura tersebut.
e.       Melayani masyarakat untuk menghantarkan yadnya yang dipersembahkan oleh seseorang sesuai dengan batas kewenangannya.
f.        Mempelajari Veda, menghafal mantra, serta menjadi contoh yang baik untuk menjadi panutan masyarakat.
g.      Melakukan penyucian setiap Purnama dan Tilem, melaksanakan Brata Yoga Samadhi dan setia pada pelaksanaan kebenaran.
3.      Hak  Seorang Pemangku
Disamping memiliki kewajiban , Pemangku juga memiliki hak yang patut ia terima. Hak dari seorang Pemangku anatara lain :
a.       Pemangku bebas dari ayahan desa seperti kerja bhakti atau gotong royong. Hal ini tergantung dari tingkat kepemangkuannya serta tergantung dari desa, kala, patra.
b.      Pemangku berhak menerima bagian sesari dari banten yang dipersembahkan oleh umat. Misalnya mendapat kalapan dari suatu tawur sangi.
c.       Bilamana Pemangku meninggal, mendapat hak untuk diupacarai Ngaben yang biayanya ditanggung oleh karma desa.
d.      Pemangku dapat menerima punia atau bagian hasil dari pelaba Pura.
4.      Larangan bagi Pemangku
Untuk seorang Pemangku juga terdapat larangan atau pantangan yaitu:
a.       Dalam melaksanakan tugasnya tidak diperkenankan menggunakan perlengkapan  seperti yang digunakan oleh Sulinggih, seperti : Lungka-lungka, Padamaran, Sasirat, Genitri, Gondala, Sampet, Tri Pada, Siwamba, dan Siwa Upakarana lainnya.
b.      Tidak megelungan gota yaitu dandanan rambut seperti Sulinggih, terlebih menggunakan Bhawa atau hiasan kepala berbentuk Lingga yang digunakan oleh Sulinggih, ataupun busana seperti Sulinggih. Larangan ini sangat ketat untuk dilaksanakan karena dalam lontar Silakrama disebutkan bahwa baik orang yang mengijinkan atau orang yang diberi ijin akan berdosa besar, mengingat Pemangku belum di Dwijati.
c.       Tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh ajaran agama, seperti judi,mencuri,memperkosa,berzinah, berbohong, menyentuh atau memakai benda-benda cemer, mabuk-mabukan, makan makanan yang menjadi pantangan serta hal-hal lainya yang dapat merusak dirinya dan mencemari kesuciannya sebagai seorang Pemangku.
d.      Tidak Melakukan Poligami,bila ia kawin lagi maka hilang kepemangkuannya dan patut melakukan pawintenan kembali bersama istri yang baru.
e.       Dilarang mewinten seseorang untuk menjadi Pemangku.
f.        Dalam melakukan tugas tidak dibenarkan menggunakan mudra atau pantangan (gerak tangan yang bersifat magis) yang dilakukan oleh Sulinggih pada waktu melaksanakan pemujaan.
Selain memiliki sesana pemangku diatas ada lagi brata bagi pemangku. Brata (Vrata= perilaku, janji diri),perilaku religious, perbuatan suci (Tim Penyusun,2005:21).Brata juga bisa diartikan pantangan,larangan,halyang dipatuhi atau ditaati. Jadi brata pamangku adalah janji suci,hal-hal yang menjadi pantangan,larangan yang harus ditaati oleh orang yang memiliki tugas atau kewajiban sebagai pemangku atau pelayan umat Hindu sesuai pura yang diempongnya.
Menurut Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda (2003:7-10) ada dijelaskan mengenai bebratan sang angelaraken kepemangkuan/Pinandita yaitu sebagai berikut :
a.         Trikaya Parisuddha  : 1. Manacika : menjaga kesucian dalam berpikir, 2. Wacika : menjaga kesucian dalam berkata-kata, 3. Kayika : menjaga kesucian dalam segala perbuatan.
b.        Catur Paramitha : 1. Metri : mempunyai sifat ramah tamah dan senang bersahabat dengan semua mahluk, 2. Karuna : mempunyai sifat welas asih terhadap sesamanya, 3. Mudit : mempunyai rasa simpati terhadap sesamanya dalam keadaan suka maupun duka. 4. Upeksa : mempunyai sifat waspada dan teliti di dalam permasalahan atau kejadian,tidak gegabah.
c.         Yama Brata : 1. Ahimsa : Tidak senang menyakiti atau menyiksa dan tidak senang membunuh, 2. Brahmacarya : senang mempelajari kitab-kitab suci agama,senang menuntut dan memperdalam ilmu, yang berkaitan dengan agama, 3. Awyawahara : dapat mengekang nafsu, tidak terikat dengan kehidupan duniawi, 4. Asteya : tidak boleh mencuri, menipu,korupsi,berangan-angan merebut atau memiliki hak orang lain, 5. Satya : taat dan jujur terhadap kebenaran, setia dalam berpikir,setia dalam berkata,setia dalam bertindak.
d.        Niyama brata : 1. Akroda : tidak cepat marah dan selalu dapat mengekang sifat-sifat marah, 2. Guru susrusa : taat kepada perintah guru, taat berbhakti kepada guru, taat dalam mengikuti pelajaran yang diberikan oleh guru, 3. Sauca : senang menyucikan diri lahir dan batin, suka melakukan yoga Samadhi, suka melakukan tapa brata, 4. Aharalagawa : tidak rakus terhadap makanan,dapat mengekang hawa nafsu, tidak meminum-minuman keras,tidak mabuk-mabukan, 5. Apramada : Tidak boleh menghina atau melecehkan pendapat orang lain,tidak mengabaikan kewajiban.
e.         Seorang pemangku melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan Dharma : 1. Memperbincangkan tentang pemujaan kepada para dewa, 2. Mendiskusikan pengetahuan,filsafat dan agama, 3. Mempelajari dan merapal mantra mantra-mantra veda, 4. Selalu berkata jujur, 5. Selalu menepati janji, 6. Tidak berkata-kata yang menyakiti hati, 7. Tidak mengeluarkan kata-kata yang kasar, 8. Tidak suka memfitnah, 9. Tidak suka berbohong, 10. Tidak suka menghina, 11. Tidak mencerca sesame sesame pemangku, apalagi terhadap sadhaka,12. Tidak senang mencela brata sesama pemangku dan terhadap sang sadhaka.
f.           Seorang pemangku hendaknya : 1. Selalu mengucapkan kata-kata yang manis, 2. Selalu berkata-kata yang benar, 3. Selalu berkata-kata yang lemah lembut,4. Kata-katanya selau menarik hati.
g.        Pikiran seorang pemangku hendaknya : 1. Bersih, 2. Budiman,3. Tenang, 4. Tangguh, 5. Senang mengampuni, 6. Lapang hati berdasarkan maître,karuna,mudita,upeksa, 7. Kasih sayang terhadap sesamanya.
2.4. Cuntaka bagi Pemangku
            Pada dasarnya Pemangku tidak ikut terkena cuntaka yang disebabkan oleh orang lain,akan tetapi seorang Pemangku dapat cuntaka bilamana cuntaka tersebut berasal dari keluarganya atau kerabatnya. Dalam Lontar Tata Krama Pura dijelaskan bahwa bilamana Pemangku mendapat halangan kematian dirumahnya, ia akan cuntaka selama 3 hari. Bila anak dan cucunya yang meninggal tujuh hari cuntakanya. Kemudian dijelaskan pula apabila dirumah Pemangku yanag ada halangan kematian berdampingan dengan pura tepatnya bertugas bila menyimpan jenasah agar dipindahkan ketempat laian dan sebaiknya cepat diupacarai sebelum melewati waktu sebulan. Seandainya jenasah disimpan dirumahnya, selama itu Pemagku itu tidak diperkenankan pergi ke Pura akan tetapi bila jenasah telah selesai dibakar barulah berakhir cuntaknya. Sedangkan bila tempat menyimpan jenasah itu jauh dari Pura, Pemangku terkena cuntaka 5 hari.
            Untuk Pemangku wanita biasanya mengalami cuntaka pada saat haid atau menstruasi. Cuntakanya hilang bila sudah selesai haid dan mendapat prayascita. Demikian pula ia kena cuntaka karena melahirkan selama 42 hari serta karena keguguran juga mengalami cuntaka selama 42 hari, Berakhirnya masa cuntaka baik bagi Pemangku Pria maupun Wanita, hendaknya bila masa cuntaka telah selesai harus mendapatkan pebersihan, lebih lanjut dengan prayascita atau setidak-tidaknya matirtha sebelum melaksankan tugasnya kembali ke Pura. Demikian pula mengenai aturan kecuntakaan Pemangku hendaknya tidak terlepas dari desa,kala,patra.

2.5 Siapa Boleh Menjadi Pemangku
            Orang yang boleh menjadi pemangku sesungguhnya ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, Paling tidak adalah jika orang itu atau umat Hindu telah sehat lahir bhatin, tidak cukup sehat lahir bhatin saja, tetapi jika orang itu memiliki kebiasaaan buruk,perilaku cemar, tidak memiliki etika, gemar melakukan judi, suka selingkuh, suka mabuk-mabukan, suka memfitnah, atau berbohong serta perilaku adharma yang sejenis, maka orang itu tidak layak menjadi pemangku, walaupun dari segi kepinteran,pemahaman agam Hindu sudah fasih, maka yang demikian juga tidak layak.
            Seseorang yang telah mencapai keadaan rokhani yang bebas dari kemabukan itulah yang dapat dipilih dan ditetapkan menjadi Pemangku. Orang yang rokhaninya telah bebas dari kemabukan itu dinamakan orang yang mahardhika artinya orang bebas dari kemabukan, orang yang bijaksana, suci dan berbudhi luhur, tegasnya sudah dapat melaksanakan pengendalian diri dengan baik. Dengan kata lain jika seseorang belum dapat mengendalikan diri dengan baik, semestinya tidak ditunjuk menjadi Pemangku. Bahkan orang itu harus tahu diri untuk tidak mncalonkan diri menjadi Pemangku. (Suhardabna, 2006:11). Jadi orang yang tidak diliputi oleh peteng pitu (Sapta Timira). Selayaknya dipilih sebagai Pemangku, selain syarat penting lainnhya yang telah berlaku dan disepakati oleh pihak warga masyarakat serta prajuru desa pakraman dimana pemilihan pemangku itu dilaksanakan sesuai dengan tradisi (Sima atau Dresta).

2.6 Cara Memilih Pemangku
            Mengenai cara memilih pemangku masih ada perbedaan antara satu tempat dengan tempat lainnya. Namun demikian cara manapun yang diterapkan sepanjang hal itu telah menjadi kesepakatan bersamadari warga masyarakat dengan para prajuru desa dimana pemangku itu dipiih, maka hal itu dalah cara yang sah-sah saja. Tidak ada ketentuan baku yang harus diikuti secara serempak atau seragam. Hal ini disesuaikan dengan desa, kala, ptra (tempat, waktu dan keadaan).
            Pertama cara yang paling banyak diterapkan di Bali adalah dengan cara nyanjan yaitu melalui perantara orang suci yang kerawuhan,siapa yang ditunjuk oleh orang yang kerawuhan, maka yang bersangkutan itulah sebagai pemangku. Cara lain adalah cara niskala berdasarkan kepercayaan yang tulus ikhlas,tanpa ada unsur politisnya. Kedua cara dengan menggunakan kwangen yang diberikan kepada para calon yang telah ditentukan dan siapa yanag kebagian kwangen yang berisi tulisan Ongkara, maka dialah terpilih sebagai pemangku. Ketiga cara pemilihan berdasarkan atas garis keturunan. Hal ini sesuai tradisi turun-temurun yang memang dari keturunan pemangku berdasarkan Purwa Dresta, Kuna Dresta,Kula Dresta,Desa Dresta,serta Loka Dresta. Biasanya anggota keluarga yang memang keturunan pemangku dipilih dengan perpaduan dengan cara nyanjan, bila calonnya lebih dari satu. Keempat cara demokratis yaitu cara pemilihan langsung oleh karma untuk mendapatkan suara terbanyak dan dialah yanag dipilih sebagai pemangku. Cara ini adalah paling modern.
2.7 Pawintenan Pemangku
Pawintenan atau Mawinten berasal dari kata “mawi” dan “inten”. Mawi adalah kata bahasa Kawi yang berarti bersinar, sedang inten berarti intan atau permata. Dengan demikian, maka orang yang sudah mawinten diibaratkan sebagai permata yang berkilauan karena lahir batinnya sudah disucikan. Mengapa perlu disucikan? Sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi sekaligus pelayan masyarkat, seorang Pemangku harus bertanggung jawab atas kesucian Pura yang diemongnya. Karena itu sebelum diresmikan sebagai Pemangku, seseorang yang ditunjuk atau dipilih menjadi Pemangku terlebih dahulu harus disucikan dengan cara menjalani upacara penyucian diri yang dinamakan Upacara Pawintenan.
Seperti halnya dalam upacara lainnya, maka menurut I Made Wenten (Tetandingan Banten Manusia Yajna) Upacara Pawintenan Pemangku mempunyai tiga tingkatan, yaitu :
Ø  Pewintenan Sari
Ø  Pewintenan Mepedamel
Ø  Pewintenan Samkara Ekajati

A.  Pawintenan Sari
Pawintenan Sari merupakan upacara Pawintenan yang paling sederhana. Upacara ini dilaksanakan hanya dengan memohon Wangsuhpada kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa di Pura dimana yang bersangkutan akan mejadi Pemangku. Pawintenan Sari harus disaksikan oleh Krama Dadia Pura yang bersangkutan. Pemangku yang diwinten dengan cara ini biasanya diberi nama panggilan atau julukan sebagai Bapa Mangku, Ketut Mangku, dan sebagainya.
Sasanan (kode etik) yang harus dijalankan oleh mereka yang telah Mawinten Sari adalah sebagai berikut :
1. Selalu berbuat dharma, sabar, jujur, berbudhi luhur, dan santun
2. Selalu teguh melaksanakan sastra agama, memahami trikona : Upatti – Sthiti – Pralinaning  Sarwa Dewa
3. Bersikap kasih sayAng terhadap semua makhluk, tidak suka mabuk-mabukan, tidak suka berjudi, tidak suka berkelahi, tidak suka bertengkar, dan tidak bergaul dengan orang yang sering berbuat tidak baik
4. Tidak suka memperkosa orang lain
Perlu dijelaskan bahwa Pawintenan Sari dengan cara yang amat sederhana ini dalam praktek nampaknya tidak ditemukan lagi, karena semua Pawintenan Pemangku skarang ini dilaksanakan oleh Pendet, kecuali barangkali di daerah tertentu dimana tidak terdapat Sulinggih


B. Pawintenan Mepedamel
Pawintenan MePedamel dilaksanakan oleh Pendeta yang sudah mempunyai wewenang untuk melaksanakan Loka Palasraya Pandita atau juga disebut Sang Hyang Yogi Swara selaku Panabean. Upacara ini harus disaksikan oleh :
1.  PHDI Kecamatan dan Kabupaten
2   Pejabat Pemerintah setempat
3.  Perangkat Desa Adat
4.  Kantor Departemen Agama Kabupaten
5. Guru Rupaka dan keluarganya
Pemangku yang diwinten dengan tingkatan seperti ini diberi gelar atau julukan sebagai Jero Mangku dan diberikan wewenang untuk nganteb banten Dewa Yajna. Pada waktu nganteb banten, Pemangku diperkenankan menggunakan mempergunakan mempergunakan genta atau bajra.
Pemangku dengan julukan Jero Mangku ini tidak dibenarkan menyelesaikan upacara di luar Dewa Yajna, kecuali atas ijin dari Pendeta yang mewintennya. Disamping itu berdasarkan Lontar Sumuka, Pemangku dengan gelar Jero Mangku inijuga belum diperkenankan nganteb banten yang setingkat dengan upacara padudusan dengan banten bebangkit – pala gembal ke atas.

C.. Pawintenan Samkara Ekajati
Pawintenan jenis ini merupakan Pawintenan untuk meningkatkan status Pemangku dengan title Jero Mangku menjadi Jero Gede selaku Pinandita. Upacara pawintenan ini dilakukan oleh Pendeta yang sudah mempunyai wewenang untuk melaksanakan Loka Palasraya Pandita atau yang disebut juga Sang Yogi Swara selaku Panabean (Guru Pengajian).
Sebelum Upacara Pawintenan dilaksanakan, maka calon Jero Gede terlebih dahulu harus mencari Pandita – Nabe sebagai Guru, dimana yang bersangkutan akan melaksanakan apa yang disebut maguron-guron. Pandita – Nabe itulah yang secara langsung membina dan mendidik sang calon dengan Dharma Pawikuan sesuai dengan beban fungsi dan jabatan yang akan dipangkunya.
Upacara Pawintenan Samkara Ekajati ini harus disaksikan oleh para Manggala Desa, sama seperti pesaksian Pawintenan Mepedamel seperti sudah diuraikan di atas.
Seorang Pemangku dengan julukan Jero Gede, jika telah memenuhi persyaratan tertentu dan dipandang sudah cukup memenuhi persyaratan untuk meningkatkan kesucian rokhani maupun jasmaninya, dikemudian hari dapat melakukan penyucian diri yang sifatnya lebih tinggi yang disebut Mapudgala Dwijati.
Sarana Pawintenan dan Artinya
Dalam Upacara Pawintenan Mepedamel dan Pawintenan Samkara Ekajati, seorang (calon) Pemangku akan diberikan sarana khusus berupa Selempot, Semaratih, Sirowista, dan Banten Pedamel. Bahkan unruk Upacara Pawintenan Samkara Ekajati, Pemangku termaksud diwajibkan menginjak Kepala Kerbau. Mungkin timbul pertanyaan, apakah arti dari semua ini? Berikut adalah penjelasannya menurut Prof. Dr. Ngurah Nala, MPH (SARAD No. 46/2004).
Dalam upacara Pawintenan Mepedamel, seorang calon Pemangku diwajibkan mengenakan selempot benang putih, sedangkan pada Upacara Pawintenan Samkara Ekajati harus mengenakan selempot benang tridatu (benang tiga warna : merah, putih, dan hitam). Dengan memakai selempot benang putih, maka calon Pemangku tersebut dipandang sebagai penganut ajaran Dewa Siwa (Siwa Sidhanta). Namun ini tidak berarti bahwa calon Pemangku tersebut tidak menghormati Dewa Brahma dan atau Dewa Wisnu. Sedangkan dengan memakai selempot benang tridatu, Pemangku tersebut dianggap akan mempunyai tugas kewajiban yang lebih luas, yaitu untuk memuja ketiga Dewa Trimurti yakni Brahma, Wisnu, dan Siwa yang masing-masing berstana di selatan, utara, dan timur, bahkan ditambah lagi dengan Dewa Mahadewa yang berstana di Barat. Dalam hal ini Pemangku tersebut akan bertugs memuja empat Dewa pengendali empat penjuru mata angina. Itulah sebabnya untuk Upacara Pawintenan Samkara Ekajati dipergunakan banten catur, sebagai simbul pemujaan kehadapan empat Dewa termasuk tadi.
Pada waktu pawintenan, ke badan Pemangku juga disentuh-sentuhkan selembar kain putih berisi gambar wayang dinamakan Semara Ratih sebagai lambing kasih sayang. Setelah itu Semara Ratih tersebut lalu diletakkan di pundak yang merupakan perlambang bahwa seorang Pemangku harus mampu dan siap memikul beban tugas kewajiban dengan penuh rasa kasih sayang kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta semua ciptaannya, baik yang berwujud manusia, tetumbuhan maupun panca mahabutha.
Disamping Semara Ratih, Pemangku juga diberikan banten pedamel yakni banten kecil yang terbuat dari jajan atau bahan-bahan yang dapat dimakan. Unsur rasa dari banten pedamel itu sangat penting artinya. Dengan banten pedamel yang isinya harus yang dimakan, seorang Pemangku diharapkan mampu merasakan sad rasa dalam melaksanakan tugas kewajibannya yaitu rasa manis, rasa asam, rasa pahit, rasa sepet, rasa asin, dan rasa pedas. Sad rasa disini tentu saja dalam arti kias, yang harus dapat sijiwai oleh seorang Pemangku dalam melakoni hidup maupun dalam melaksanakan tugas pekerjaannya sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi sekaligus sebagai pelayan masyarakat.
Selanjutnya di kepala Pemangku diikatkan sebuah sirowista yang terbuat dari daun alang-alang yang berfungsi sebagai alat penyucian diri dan memusnahkan segala pengaruh negatif. Disamping itu sirowista merupakan juga lambang ardha-candra (bulan), sedangkan kepala Pemangku sendiri dipangdang sebagai lambang windu (matahari) dan bunga yang ada pada simpul sirowista sebagai lambang nada (bintang). Dan pucuk bunga kembang sepatu berwarna merah (lambang Brahma) dianggap paling ideal sebagai lambang nada tersebut. Ketiganya, (bulan, matahari, dan bintang) merupakan lambang alam semesta sebagai stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan memakai sirowista diharapkan agar Pemangku disucikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Mengenai bunga yang dipergunakan untuk sirowista dapat dijelaskan bahwa bunga itu sebenarnya boleh-boleh saja, artinya bunga apa saja boleh, asalkan bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan bebas dari rasa takut. Tetapi pada umunya yang lazim dipergunakan adalah pucuk bunga kembang sepatu yang berwarna merah (Brahma), disertai bunga berwarna putih (Siwa), dan bunga berwarna biru tua (Wisnu).
Dalam Upacara Pawintenan Samkara Ekajati, Pemangku juga diwajibkan menginjak kepala kerbau, yang melambangkan bahwa seorang Pemangku harus mampu menyerap kekuatan yang maha besar itu, maka seberat apapun tugas kewajibannya akan dapat dilaksanakan dengan baik.
Jenis Banten Pawintenan dan Maknanya
Untuk memperluas Pawintenan diperlukan berbagai jenis banten. Dan dilihat dari sudut banten yang dipergunakan, maka banten Pawintena Pemangku, dapat dibedakan dalam tiga jenis, tergantung dari banten ayaban yang dipakai :
1. Pawintenan Sari mempergunakan ayaban Banten Saraswati
2. Pawintenan Mepedamel mempergunakan ayaban Banten Bebangkit
3. Pawintenan Samkara Ekajati mempergunakan ayaban Banten Catur
Pawintenan dengan Banten Saraswati adalah penyucian diri dengan memuja Dewi Saraswati sebagai saktinya Dewa Brahma yang menciptakan ilmu pengetahuan. Sedangkan pawintenan dengan ayaban Banten Bebangkit adalah penyucian diri dengan memuja dua Dewa – Dewi yakni Dewi Saraswati dan Dewa Gana sebagai putra Bhatarar Siwa yang berfungsi sebagai pelindung umat manusia. Kemudian pawintenan dengan ayaban Banten Catur adalah penyusian diri dengan memuja empat Dewa yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu, Dewa Iswara, Dewa Mahadewa sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Pawintenan Pemangku Suami-Isteri
Pemangku suami isteri dalam melaksanakan upacara pawintenan hendaknya dilakukan bersama-sama oleh suami dan istrinya. Bila sebelum menikah laki-laki yang diwinten, maka setelah menikah, pawintenan suami istri harus dengan banten ayaban yang sama seperti ketika suaminya mawinten dahulu. Upacara pawintenan ulang bagi suami ini disebut pawintenan masepuh. Dalam suatu rumah tangga, tidak boleh ada suami atau istri yang salah seorang diantaranya tidak mawinten. Artinya kedua orang baik suami maupun istri haruslah sudah disucikan.
Pengendalian Diri Melalui Brata, Tapa, Yoga, dan Samadhi
Mereka yang sudah mawinten wajib melaksanakan pengendalian diri secara ketat dengan cara melakukan brata, tapa, yoga, dan samadhi. Makin tinggi tingkat pawintenannya, maka makin ketat pula tingkat pelaksanaan brata, tapa, yoga, dan semadhinya. Mungkin ada yang bertanya, apa yang dimaksud dengn brata, tapa, yoga, dan semadhi itu. Berikut adalah penjelasan secara singkat :
1. Brata adalah usaha pengendalian diri dengan pengekangan hawa nafsu.
2. Tapa metupakan usaha pengendalian diri agar selalu berada dalam jalur ajaran-ajaran agama
3.Yoga berarti pengendalian diri dengan tujuan agar selalu ingat dan karena itu selalu memuja kebesaran dan kemuliaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
4.Semadhi berarti pengendalian diri dengan penyerahan diri sepenuhnya kepada kemahakuasaan Tuhan
Untuk dapat melaksanakan brata, tapa, yoga, dan semadhi dengan baik, maka orang sudah mawinten, harus selalu memelihara kondisi lahir maupun batinnya dengan baik dan tertib agar tidak menjadi cemer. Yang dimaksud dengan cemer disini adalah :
1. Cemer yang disebabkan oleh pikiran, perbuatan, dan perkataan yang menyimpang dari ajaran Agama
2. Cemer yang disebabkan oleh kasepungan, yaitu keadaan cuntaka yang berasal dari luar dirinya
Misalnya menyantap suguhan di tempat orang meninggal atau ngaben dan atau turut memandikan layon orang yang meninggal termasuk dalam pengertian cemer tingkat kedua. Apabila menjadi cemer, maka orang yang sudah mawinten harus manyucikan diri kembali sesuai dengan tingkat kecemerannya, misalnya dengan cara meprayascitta saja atau bila perlu dengan mawinten ulang atau masepuh.
Bahkan I GB. Sugriwa dalam bukunya berjudul “Dwijendra Tatwa” menjelaskan ajaran Empu Sang Kaliputih yang menguraikan bahwa Pemangku tidak kena hokum cuntaka (sebel), tetapi dilarang menjenguk dan makan minum suguhan orang yang sedang kematian (namping watang).
Dalam kaitan ini, Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Nawa Sandhi (Raditya No. 82/2004) menegaskan bahwa Pemangku dan semua orang yang sudah mawinten jika memegang jenasah dan kaungkulin Tirtha Pengentas, maka pawintenannya harus diulangi kembali, dengan istilah di Bali disebut Masepuh dan tidak cukup dengan mabeakala, maprayascita, apalagi hanya mebanyuawangan saja.Mebanyuawangan hanya berlaku bagi orang lain (pelayat) yang bukan keluarga, yang dilakukan segera setelah pulang dari melayat. Jika sekiranya jenasahnya bermalam beberapa hari, maka setiap kali pulang melayat orang yang bersangkutan (bukan keluarga) harus mebanyuawangan. Banyu artinya air dan awing berarti pengentas kesucian. Banyuawang tirtha yang terbuat dari air kelapa gading muda yang diisi tepung tawar, semacam banten kecil yang terdiri dari arang jaja uli, beras putih, beras merah, daun dapdap diiris-iris disertai lis dan jejahitan daun kelapa muda.
Disamping brata, tapa, yoga, dan semadhi, orang yang sudah mawinten perlu juga memahami, mendalami, dan melaksanakan ketentuan-ketentuan tentang yama-niyama brata (pengendalian diri), sad-ripu (enam jenis sifat yang buruk), sad-atatayi (enam jenis perbuatan yang kejam), trikaya Parisuddha, astabarata dan lain-lain.
2.8 Panggilan Pemangku
Mengenai nama/panggilan pemangku yaitu ;
1.      Bapa Mangku, Made Mangku, Ketut Mangku dan lain-lain. Adalah nama panggilan bagi pemangku yang telah diwinten dengan upacara pewintenan  sari.
2.      Jero Mangku adalah nama panggilan bagi pemangku yang telah diwinten dengan upacara pewintenan mepedamel.
3.      Jero Gede adalah nama panggilan bagi pemangku yang telah diwinten dengan upacara samkara ekajati ( Suhardana,2006:23).
Dengan adanya panggilan khusus bagi pemangku maksudnya untuk menghormati orang yang disucikan umat hindu.
2.9 Pakaian Pemangku
Pakaian pemangku yang bergelar Jero Mangku pada waktu melakukan tugas kepemangkuannya adalah :
1.      Destar (Udeng) Petak (Putih).
2.      Kwaca Petak (Baju Putih).
3.      Kampuh Petak (Saput Putih atau Kuning).
4.      Wastra Petak (Kain Putih).
5.      Dandanan Rambut magelung anyondong yng ditutup destar bongkos nangka.
Pakaian Pemangku dengan gelar Jero Gede pada saat melaksanakan tugasnya sebagai pemangku adalah sebagai berikut :
1.      Dandanan rambut panjang magelung anyondong rapi, rambut maperucut menghadap ke belakang yang selalu ditutup destar putih
2.      Baju putih berbentuk jas tutup tangan pendek atau kemeja putih tangan panjang, kampuh kuning.
3.      Wastra putih, melelancingan (Suhardana,2006:25)
Pakaian pemangku memberikan kekhasan umat Hindu dalam mengenali dan menempatkan pemangku pada posisi yang sopan dan terhormat dimata umat Hindu dan dalam tatanan masyarakat Hindu.
2.10 Puja Pemangku
Puja atau pujian pemujaan  kepada para dewa dengan mantra dalam upacara agama Hindu (Tim Penyusun,2005:83) . Puja pemangku adalah pujian atau mantra yang digunakan oleh pemangku untuk melakukan pemujaan kepada Hyang Widhi Wasa beserta semua manifestasi-Nya yakni Dewa-Dewi,Bhatara-Bhatari,serta sebutan yang lainnya dengan tujuan untuk memohon keselamatan,kerahayuan,serta mohon maaf atas segala kesalahan (Sarwa Dosa) yang dilakukan oleh umat Hindu.
Mengenai puja pemangku dapat diacu beberapa sumber pustaka suci Hindu : Pustaka suci veda,veda valaka,veda parikrama,kusumadewa, gagelaran pemangku, indik kapamangkuan,buku Surya sevana dari pandita atau pinandita dan umat Hindu, buku panca yadnya,tuntunan pangastawa, uger-uger muah sesana penganteban upakara agem-ageman sang walaka/pamangku, dasar-dasar kepemangkuan dan sebgainya yang banyak menyuratkan tentang puja mangku.
Kata puja juga sering disebut mantra. Namun disisilain sering juga disebut maveda. Jika dibali dinamai saa atau masaa. Terkadang juga secara local diistilahkan dengan sesontengan. Masih dalam konteks puja,dalam bahasa sansekerta juga disetarakan dengan japa. Japa diartikan doa yang diucapkan dengan komat-kamit. Menurut cara pengutaraannya antara Japa dan Mantra terdapat perbedaan, bahwa Japa diucapkan dalam hati (Mantra tan Kawedar), jadi tidak terdengar sedangkan mantra sendiri diucapkan dengan mulut sehingga terdengar dengan segala iramanya (Tim Penyusun,2005:47). Jadi Puja Pemangku dari segi bahasanya bisa berbahasa Bali, bahasa Jawa Kuna, bahasa Sansekerta, bisa juga berbahasa yang lainnya yang dipahami oleh pemangku tersebut.








BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemangku  adalah Rohaniawan Hindu yang tergolong Ekajati. Seorang Pemangku  adalah Duta Dharma yang selalu mengutamakan pelaksanaan ajaran agama Hindu baik bagi dirinya maupun masyarakat . Dengan Demikian Pemangku adalah seorang Rohaniawan yang bertugas memuput upacara agama dan ngalokapalasraya sebatas ijin / panugrahan dari Sang Guru (Nabe).( Acara Agama Hindu.Putu Sanjaya.2008:118).
Dalam Lontar Raja Pura Gama terdapat beberapa jenis pemangku, yaitu :
1.      Pemangku Pura Dalem, Pura Puseh dan Pura Bale Agung (Pura Desa).
2.      Pemangku Pamongmong
3.      Pemangku Jan Banggul
4.      Pemangku Cungkub
5.      Pemangku Nilarta
6.      Pemangku Pandita
7.      Pemangku Bhujangga
8.      Pemangku Balian
9.      Pemangku Dalang
10.  Pemangku Lancuban
11.  Pemangku Tukang
12.  Mangku Kortenu
Pawintenan pemangku menurut I Made Wenten ( dalam Suhardana, 2006:14 ) bahwa ada tiga jenis upacara pewintenan pemangku yaitu :
1.      Pewintenan Sari
2.      Pewintenan Mepedamel
3.      Pewintenan Samkara Ekajati
Mengenai nama/panggilan pemangku yaitu ;
1.      Bapa Mangku, Made Mangku, Ketut Mangku dan lain-lain. Adalah nama panggilan bagi pemangku yang telah diwinten dengan upacara pewintenan  sari.
2.      Jero Mangku adalah nama panggilan bagi pemangku yang telah diwinten dengan upacara pewintenan mepedamel.
Jero Gede adalah nama panggilan bagi pemangku yang telah diwinten dengan upacara samkara ekajati ( Suhardana,2006:23
Pakaian pemangku yang bergelar Jero Mangku pada waktu melakukan tugas kepemangkuannya adalah :
1.      Destar (Udeng) Petak (Putih).
2.      Kwaca Petak (Baju Putih).
3.      Kampuh Petak (Saput Putih atau Kuning).
4.      Wastra Petak (Kain Putih).
5.      Dandanan Rambut magelung anyondong yng ditutup destar bongkos nangka.
Pakaian Pemangku dengan gelar Jero Gede pada saat melaksanakan tugasnya sebagai pemangku adalah sebagai berikut :
1.      Dandanan rambut panjang magelung anyondong rapi, rambut maperucut menghadap ke belakang yang selalu ditutup destar putih
2.      Baju putih berbentuk jas tutup tangan pendek atau kemeja putih tangan panjang, kampuh kuning.
3.      Wastra putih, melelancingan (Suhardana,2006:25)
Pakaian pemangku memberikan kekhasan umat Hindu dalam mengenali dan menempatkan pemangku pada posisi yang sopan dan terhormat dimata umat Hindu dan dalam tatanan masyarakat Hindu.



3.2 Saran
            Tentunya kami sebagai kelompok pembuat makalah sangat mengharapkan saran dari temen-temen dan dosen pembimbing mata kuliah ini, karena kami tau dalam makalah ini masih banyak kekurangan kami,tentunya kami meminta saran dan pendapat yang positif dan membangun.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar