BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dalam pelaksanaan upacara yadnya, sudah tentu upacara tersebut
dipimpin oleh seorang yang telah memiliki kewenangan dan kemampuan dalam
menghantar upakara yadnya. Orang yang bertugas secara langsung mengantar suatu
upacara dalam agama hindu dapat dilihat dari tingkat penyuciannya yang secara
umum dibedakan atas dua golongan yaitu Pandita atau Sulinggih dan Pinandita
atau Pemangku. Keduanya memiliki kewenangan dalam dalam mengantarkan suatu
upakara akan tetapi terdapat pula batsan-batasan yang mengikat kewenangan
tersebut serta terdapat pula kode etik yang mengikat kedua rohaniawan tersebut
dalam kehidupan sehari-hari.
Rohaniawan
dalam agama hindu menempati kedudukan yang penting. Peranan seorang rohaniawan
sangat menonjol terlebih lagi dalam penyelesaian suatu yadnya.lebih-lebih lagi
dalam yadnya yang cukup besar akan terasa kurang sempurna bila tidak diantar
oleh rohaniawan yang dipandang sesuai untuk itu.
Dalam
kehidupan umat hindu ada tiga unsur utama yang berperan dalam pelaksanaan suatu
yadnya :
1. Yajamana,
adalah pelaksana atau pemilik yadnya itu.
2. Pancagra
atau sang widya adalah para tukang yang berperan dalam menyiapkan segala
sesuatu yang dibutuhkan dalm bentuk upakara serta kelengkapannya.
3. Sadhaka,
addalah para rohaniawan yang bertugas mengantarkan yadnya tersebut dengan puja,
seha, mantra dan wedanya.
Rohaniawan
yang dipandang sesuai untuk mengantar atau menyelesaikan suatu yadnya erat
kaitannya dengan besar kecilnya yadnya tersebut. Dalam tingkatan yadnya yang
besar patut diselesaikan (dipuput) oleh sulinggih, yaitu rohaniawan yang
tergolong dwi jati. Sedangkan dalam tingkatakan yadnya yang kecil cukup diantar
(dianteb) oleh rohaniawan tingkat eka jati seperti pamangku, dan yang
sejenisnya.
Pamangku
dipandang menempati kedudukan yang penting dan terhormat dalam pandangan agama
hindu. Oleh karena itu pula pamangku patut menjaga nama baik dan kesucian diri
pribadinya. Banyak terdapat aturan-aturan yang patut dipatuhi oleh seorang
pamangku, walaupun tidak seketat aturan yang berlaku bagi seorang sulinggih.
Namun bila dibandingkan, walaupun sama tergolong walaka pemangku memiliki
aturan dalam disiplin kehidupan yang lebih ketat.
Dalam
penulisan makalah ini, penulis bertujuan untuk memaparkan aturan-aturan yang
berkenaan dengan kepemangkuan yang selama ini banyak termuat dalam sastra-satra
agama, seperti halnya dalam Lontar Kusumadewa. Dengan penulisan makalah ini
diharapkan agar dapat memberikan gambaran secara umum tentang kepemangkuan,
sehingga masyarakat umat hindu dapat berperan lebih aktif untuk ikut serta
menjaga dan menempatkan pamangku pada kedudukan sesuai dengan satra agama.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apakah Pengertian Pinandita atau pemangku ?
2.
Apasajakah Jenis-Jenis Pemangku ?
3.
Bagaimanakah Sesana Pemangku ?
4.
Adakah Cuntaka bagi Pemangku ?
5.
Siapakah yang boleh menjadi Pemangku ?
6.
Bagaimanakah cara memilih Pemangku?
7.
Apasajakah jenis pewintenan Pemangku?
8.
Apasajakah nama panggilan untuk Pemangku?
9.
Apasajakah Pakaian Pemangku?
10.
Apakah Puja Pemangku itu?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Pengertian Pinandita atau
pemangku
2.
Mengetahui Jenis-Jenis Pemangku
3.
Mengetahui Sesana Pemangku
4.
Mengetahui Cuntaka bagi Pemangku
5.
Mengetahui Siapa yang boleh menjadi Pemangku
6.
Mengetahui cara memilih Pemangku
7.
Mengetahui jenis pewintenan Pemangku
8.
Mengetahui nama panggilan untuk Pemangku
9.
Mengetahui Pakaian Pemangku
10.Mengetahui
Puja Pemangku itu
1.4 Manfaat Penulisan
Ada
banyak manfaat yang baik dari pembuatan makalah. Jika tidak ada manfaatnya maka
tentu saja Sekolah atau instansi sejenisnya tidak akan menuntutnya. Beberapa
manfaat antara lain :
1. Melatih
kreatifitas mahasiswa dalam menuangkan gagasan pemikirannya (ide-idenya)
tentang suatu kajian atau topik dari ilmu-ilmu yang sudah didalami. Di sini
secara tidak langsung penulis juga dilatih untuk menerapkan kemampuan berpikir
secara logis-sistematis.
2. Makalah
ini, bukan hanya berguna bagi penulis saja tetapi juga sebagai bahan referensi
ilmiah dan sumbangan pengetahuan bagi sekolah, bagi para pembaca tentang apa
yang disumbangkan lewat ide penulis melalui makalah tersebut.
3. Sebagai
tuntutan akademik bagi para akademisi yang ingin berpetualang terus dalam dunia
pengetahuan dan pendidikan. Dengan hasil makalah, penulis dilatih secara khusus
untuk terbiasa menulis atau mengolah sesuatu yang menjadi obyek tulisan.
4. Melatih
berpikir tertib dan teratur karena menulis makalah harus mengikuti tata cara
penulisan yang sudah ditentukan prosedur tertentu, metode dan teknik, aturan /
kaidah standar, disajikan teratur, runtun dan tertib.
5. Menumbuhkan
etos ilmiah di kalangan mahasiswa, sehingga tidak hanya menjadi konsumen ilmu
pengetahuan, tetapi juga mampu menjadi penghasil (produsen) pemikiran dan karya
tulis dalam bidang ilmu pengetahuan.
BAB II
PEMBAHASAN
Pemangku
2.1
Pengertian Pinandita atau Pemangku.
Pada
umumnya kita di Bali mendengar kata Pamangku atau Mangku memang hal yang sudah
biasa, namun perlu kita ketahui apakah yang terkandung tersirat dari makna kata
yang terkandung didalamnya pada bagian ini kita akan bahas dari beberapa sumber
yang menyebutkan makna dari kata pemangku. Menurut lontar Widhi Sastra kata
pemangku diuraikan menjadi ‘Pa’ bermakna “Pastika pasti”, yang artinya paham
akan hakikat kesucian, dan kata ‘Mang’ bermakna “Weruh ring titining Agama”
artinya paham mengenai pelaksanaan ajaran Agama. Mengingat ‘Mang’ sebagai suku
kata aksara suci Dewa Iswara atau Siwa sendiri sebagai guru niskala bagi warga
desa, beliau juga dijuluki sebagai Sanghyang Ramadesa. ‘Ku’ bermakna “Kukuh
ring Widhi” yang artinya teguh dan konsisten berpegangan kepada Tuhan/ Ida
Sanghyang Widhi.
Dalam
Lontar Sukretaning Pamangku, dinyatakan bahwa pemangku adalah perwujudan I Rare
Angon (Dewa Gembala/Pengangon) yang merupakan perwujudan dari Dewa Siwa seperti
dinyatakan sebagai berikut”
‘Ikang sukretaning pamangku ring khayangan, wnang tegesin
pamangku kawruhakena kang mawak pamangku ring sariranta. I Rare Angon mawak
pamangku ring sariranta’.
Dalam
beberapa sumber lain pengertian Pemangku berasal dari bahasa Jawa Kuno, dari
kata ‘pangku’ berubah menjadi kata amangku, mangku, pinangku, kapangku, yang
berarti memangku, mengangga, menopang, membawa pada kedua tangan di depan dada
(Zoetmulder, 1995:750). Dalam bahasa Bali, kata ini berarti nampa, menyangga,
memikul beban atau memikul tanggung jawab sebagai pelayan atau perantara
anatara yang punya kerja dengan Ida Sanghyang Widhi, dengan kata lain yakni
orang yang menerima tugas pekerjaan untuk memikul beban atau tanggung jawab
sebagai pelayan Sanghyang Widhi Wasa sekaligus sebagai pelayan masyarakat
(Suhadana, 2006:6).
Menurut
Keputusan Mahasabha Parisadha Hindu Dharma Indonesia II tanggal 5 Desember
1968, yang dimaksud dengan pemangku adalah mereka yang telah melaksanakan
upacara yadnya pawintenan sampai adiksa widhi, tanpa ditapak dan amari aran.
Dengan
berpedoman pada sastra di atas, bahwa seorang pemangku tugas pokoknya tidak
cukup memberikan pelayanan kepada umat dalam rangka menyelesaikan upacara yajna
saja, pemangku juga wajib menjaga kesucian diri baik untuk pribadi maupun orang
lain mengingat beliau merupakan perwujudan Siwa sekala, atau Siwaning desa
pakraman, sebagai pengembala umat yang bertugas menuntun umat setiap hari dalam
rangka pencarian hakikat sang diri demi terwujudnya kerahayuan jagat.
Dalam
aspek yuridis formal seorang pemangku adalah orang-orang yang masih tergolong
ekajati, mengingat upacara penyucian sebatas mapadengen-dengenan dan
pawintenan.
Pemangku adalah Rohaniawan Hindu yang tergolong
Ekajati. Seorang Pemangku adalah Duta
Dharma yang selalu mengutamakan pelaksanaan ajaran agama Hindu baik bagi
dirinya maupun masyarakat . Dengan Demikian Pemangku adalah seorang Rohaniawan
yang bertugas memuput upacara agama dan ngalokapalasraya sebatas ijin / panugrahan dari Sang Guru (Nabe).( Acara Agama Hindu.Putu Sanjaya.2008:118).
2.2
Jenis-Jenis Pemangku.
Dalam
Lontar Raja Pura Gama terdapat beberapa jenis pemangku, yaitu :
1. Pemangku
Pura Dalem, Pura Puseh dan Pura Bale Agung (Pura Desa).
Pemangku ini adalah
pemangku yang bertugas pada masing-masing pura tersebut.Akan tetapi dalam
keadaan tertentu, seperti upacara yang besar, antara Pemangku tersebut dapat
saling membantu.
2. Pemangku
Pamongmong
Pemangku ini bertugas
sebagai pembantu dariPemangku utama suatu Pura, yang bertugas mengatur jalannya
atau tata pelaksanaan upacara. Pemangku ini belum boleh menggunakan Bajra
(Genta).
3. Pemangku
Jan Banggul
Pemangku ini bertugas
sebagai pembantu di pura, tugasnya seperti mengatur sesajen, memasang bhusana
atau wastra pada pelinggih, membagikan wangsuhpada dan bija, serta tugas-tugas
lainnya kecuali menghantarkan upacara (Nganteb).
4. Pemangku
Cungkub
Pemangku ini bertugas pada merajan agung.
5. Pemangku
Nilarta
Pemangku ini bertugas pada pura
keluarga/kawitan.
6. Pemangku
Pandita
Pemangku yang telah
mendapat ijin dari seorang Sulinggih untuk memimpin pelaksanaan Dewa Yadnya
atau pun Pitra Yadnya dalam batasan-batasan tertentu.
7. Pemangku
Bhujangga
Pemangku ini bertugas pada Pura Kawitan
Paibon.
8. Pemangku
Balian
Pemangku yang
melaksanakan swadharma sebagai balian atau dukun yang mengobati orang sakit.
9. Pemangku
Dalang
Pemangku yang melaksanakan
Swadharma sebagai seorang Dalang, Pemangku ini disamping mendalang dengan
melakonkan cerita-cerita Itihasa, juga melakonkan wayang Sapuh Leger untuk
meruwat orang yang lahir pada wuku Wayang.
10. Pemangku
Lancuban
Pemangku ini adalah
pemangku yang memiliki Taksu, yang membantu meneropong secara Niskala (Matuun)
dan memohon petunjuk dari dunia Abstrak (Niskala).
11. Pemangku
Tukang
Pemangku ini adalah
Pemangku yang memahami ajaran Wisnu Karma dan mahir dalam pekerjaan tukang,
seperti Undagi (Tukang Bangunan),Sangging ( Tukang Ukir), Pande ( Tukang Besi),
dan sebagainya.
12. Mangku
Kortenu
Pemangku ini bertugas dipangulun setra tepatnya di
Pura Prajapati.
Dalam
Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu I-XV tahun 1999/2000 tentang pemagku
dibedakan menjadi 2 yaitu :
1. Pemangku
Tapakan Widhi yaitu Pemangku pada Pura Sad Kahyangan, Dang Kahyangan Tiga, dan
Pura Keluarga seperti : Paibon, Panti, Pedharman, Merajan, Sanggah Gede,dan
sebagainya.
2. Pemangku
Dalang yaitu Pemagku yang berprofesi sebagai Dalang.
2.3
Sesana Pemangku
Sesana
Pemangku adalah suatu landasan moral yang patut menjadi pedoman seorang
pemangku di dalam menjalankan profesinya agar Pemangku tetap dipandang sebagai
perantara antara Umat dengan Ida Bhatara dan sebaliknya pula anatara Ida
Bhatara dengan Umat. Landasan moral dalam berprilaku sebagai seorang Pemangku.Kode
etik ini terdiri dari:
1. Wewenang
Pemangku
Dalam
melaksanakan tugasnya Pemangku berwenang untuk :
a. Memimpin
/ mengantarkan suatu upacara sesuai dengan pawintenannya dan panugrahan dari
Nabe, (Sesuai dengan batasan-batasnnya atau kewenangannya yang diberikan oleh
guru Nabe).
b. Memimpin
Upacara (Muput karya) dipura yang menjadi amongannya.
c. Dalam
melaksanakan tugasnya berpakaian serba putih dan bersih. Boleh berambut panjang
ataupun bercukur, maupun menutup kepalanyan dengan destar.
d. Mengahaturkan
banten, nunas pamarisudha banten, memberi ijin untuk nedunang bhusana, arca,
daksina ataupun kelengkapan di Pura, serta melarang orang lain yang melakukan
hal-hal tidak baik di Pura.
2. Kewajiban
Pemangku
Pemangku sebagai seorang
Rohaniawan memiliki kewajiban-kewajiban antara lain :
a. Selalu
melaksanakan ajaran agama Hindu seperti Tri Kaya Parisudha, Catur Paramitha,
Panca Yama Brata dan Panca Nyama Brata.
b. Mengantarkan
upacara yadnya yang dipersembahkan di Pura sesuai kewenangannya baik pada suatu
piodalan maupun hari-hari lainnya.
c. Menuntutun
umat dalam kegiatan persembahyangan sehingga berlangsungnya tertib dan khidmat.
d. Menjaga
dan memelihara kesucian Pura beserta isinya dari segala hal yang di pandang dapat
menodai kesucian Pura tersebut.
e. Melayani
masyarakat untuk menghantarkan yadnya yang dipersembahkan oleh seseorang sesuai
dengan batas kewenangannya.
f.
Mempelajari Veda, menghafal mantra, serta
menjadi contoh yang baik untuk menjadi panutan masyarakat.
g. Melakukan
penyucian setiap Purnama dan Tilem, melaksanakan Brata Yoga Samadhi dan setia
pada pelaksanaan kebenaran.
3. Hak Seorang Pemangku
Disamping memiliki
kewajiban , Pemangku juga memiliki hak yang patut ia terima. Hak dari seorang
Pemangku anatara lain :
a. Pemangku
bebas dari ayahan desa seperti kerja bhakti atau gotong royong. Hal ini
tergantung dari tingkat kepemangkuannya serta tergantung dari desa, kala,
patra.
b. Pemangku
berhak menerima bagian sesari dari banten yang dipersembahkan oleh umat.
Misalnya mendapat kalapan dari suatu tawur sangi.
c. Bilamana
Pemangku meninggal, mendapat hak untuk diupacarai Ngaben yang biayanya
ditanggung oleh karma desa.
d. Pemangku
dapat menerima punia atau bagian hasil dari pelaba Pura.
4. Larangan
bagi Pemangku
Untuk seorang Pemangku
juga terdapat larangan atau pantangan yaitu:
a. Dalam
melaksanakan tugasnya tidak diperkenankan menggunakan perlengkapan seperti yang digunakan oleh Sulinggih,
seperti : Lungka-lungka, Padamaran, Sasirat, Genitri, Gondala, Sampet, Tri
Pada, Siwamba, dan Siwa Upakarana lainnya.
b. Tidak
megelungan gota yaitu dandanan rambut seperti Sulinggih, terlebih menggunakan
Bhawa atau hiasan kepala berbentuk Lingga yang digunakan oleh Sulinggih,
ataupun busana seperti Sulinggih. Larangan ini sangat ketat untuk dilaksanakan
karena dalam lontar Silakrama disebutkan bahwa baik orang yang mengijinkan atau
orang yang diberi ijin akan berdosa besar, mengingat Pemangku belum di Dwijati.
c. Tidak
melakukan hal-hal yang dilarang oleh ajaran agama, seperti
judi,mencuri,memperkosa,berzinah, berbohong, menyentuh atau memakai benda-benda
cemer, mabuk-mabukan, makan makanan yang menjadi pantangan serta hal-hal lainya
yang dapat merusak dirinya dan mencemari kesuciannya sebagai seorang Pemangku.
d. Tidak
Melakukan Poligami,bila ia kawin lagi maka hilang kepemangkuannya dan patut
melakukan pawintenan kembali bersama istri yang baru.
e. Dilarang
mewinten seseorang untuk menjadi Pemangku.
f.
Dalam melakukan tugas tidak dibenarkan
menggunakan mudra atau pantangan (gerak tangan yang bersifat magis) yang
dilakukan oleh Sulinggih pada waktu melaksanakan pemujaan.
Selain memiliki sesana pemangku diatas ada
lagi brata bagi pemangku. Brata (Vrata= perilaku, janji diri),perilaku
religious, perbuatan suci (Tim
Penyusun,2005:21).Brata juga bisa diartikan pantangan,larangan,halyang
dipatuhi atau ditaati. Jadi brata pamangku adalah janji suci,hal-hal yang
menjadi pantangan,larangan yang harus ditaati oleh orang yang memiliki tugas
atau kewajiban sebagai pemangku atau pelayan umat Hindu sesuai pura yang
diempongnya.
Menurut Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda (2003:7-10) ada dijelaskan mengenai
bebratan sang angelaraken kepemangkuan/Pinandita yaitu sebagai berikut :
a.
Trikaya Parisuddha : 1. Manacika : menjaga kesucian dalam
berpikir, 2. Wacika : menjaga kesucian dalam berkata-kata, 3. Kayika : menjaga
kesucian dalam segala perbuatan.
b.
Catur Paramitha : 1. Metri : mempunyai
sifat ramah tamah dan senang bersahabat dengan semua mahluk, 2. Karuna :
mempunyai sifat welas asih terhadap sesamanya, 3. Mudit : mempunyai rasa
simpati terhadap sesamanya dalam keadaan suka maupun duka. 4. Upeksa :
mempunyai sifat waspada dan teliti di dalam permasalahan atau kejadian,tidak
gegabah.
c.
Yama Brata : 1. Ahimsa : Tidak senang
menyakiti atau menyiksa dan tidak senang membunuh, 2. Brahmacarya : senang
mempelajari kitab-kitab suci agama,senang menuntut dan memperdalam ilmu, yang
berkaitan dengan agama, 3. Awyawahara : dapat mengekang nafsu, tidak terikat
dengan kehidupan duniawi, 4. Asteya : tidak boleh mencuri,
menipu,korupsi,berangan-angan merebut atau memiliki hak orang lain, 5. Satya :
taat dan jujur terhadap kebenaran, setia dalam berpikir,setia dalam
berkata,setia dalam bertindak.
d.
Niyama brata : 1. Akroda : tidak cepat
marah dan selalu dapat mengekang sifat-sifat marah, 2. Guru susrusa : taat
kepada perintah guru, taat berbhakti kepada guru, taat dalam mengikuti pelajaran
yang diberikan oleh guru, 3. Sauca : senang menyucikan diri lahir dan batin,
suka melakukan yoga Samadhi, suka melakukan tapa brata, 4. Aharalagawa : tidak
rakus terhadap makanan,dapat mengekang hawa nafsu, tidak meminum-minuman
keras,tidak mabuk-mabukan, 5. Apramada : Tidak boleh menghina atau melecehkan
pendapat orang lain,tidak mengabaikan kewajiban.
e.
Seorang pemangku melaksanakan kegiatan
yang berhubungan dengan Dharma : 1. Memperbincangkan tentang pemujaan kepada
para dewa, 2. Mendiskusikan pengetahuan,filsafat dan agama, 3. Mempelajari dan
merapal mantra mantra-mantra veda, 4. Selalu berkata jujur, 5. Selalu menepati
janji, 6. Tidak berkata-kata yang menyakiti hati, 7. Tidak mengeluarkan
kata-kata yang kasar, 8. Tidak suka memfitnah, 9. Tidak suka berbohong, 10.
Tidak suka menghina, 11. Tidak mencerca sesame sesame pemangku, apalagi terhadap
sadhaka,12. Tidak senang mencela brata sesama pemangku dan terhadap sang
sadhaka.
f.
Seorang
pemangku hendaknya : 1. Selalu mengucapkan kata-kata yang manis, 2. Selalu
berkata-kata yang benar, 3. Selalu berkata-kata yang lemah lembut,4.
Kata-katanya selau menarik hati.
g.
Pikiran seorang pemangku hendaknya : 1.
Bersih, 2. Budiman,3. Tenang, 4. Tangguh, 5. Senang mengampuni, 6. Lapang hati
berdasarkan maître,karuna,mudita,upeksa, 7. Kasih sayang terhadap sesamanya.
2.4. Cuntaka bagi Pemangku
Pada dasarnya Pemangku tidak ikut
terkena cuntaka yang disebabkan oleh orang lain,akan tetapi seorang Pemangku
dapat cuntaka bilamana cuntaka tersebut berasal dari keluarganya atau
kerabatnya. Dalam Lontar Tata Krama Pura dijelaskan bahwa bilamana Pemangku
mendapat halangan kematian dirumahnya, ia akan cuntaka selama 3 hari. Bila anak
dan cucunya yang meninggal tujuh hari cuntakanya. Kemudian dijelaskan pula
apabila dirumah Pemangku yanag ada halangan kematian berdampingan dengan pura
tepatnya bertugas bila menyimpan jenasah agar dipindahkan ketempat laian dan
sebaiknya cepat diupacarai sebelum melewati waktu sebulan. Seandainya jenasah
disimpan dirumahnya, selama itu Pemagku itu tidak diperkenankan pergi ke Pura
akan tetapi bila jenasah telah selesai dibakar barulah berakhir cuntaknya.
Sedangkan bila tempat menyimpan jenasah itu jauh dari Pura, Pemangku terkena
cuntaka 5 hari.
Untuk Pemangku wanita biasanya
mengalami cuntaka pada saat haid atau menstruasi. Cuntakanya hilang bila sudah
selesai haid dan mendapat prayascita. Demikian pula ia kena cuntaka karena
melahirkan selama 42 hari serta karena keguguran juga mengalami cuntaka selama
42 hari, Berakhirnya masa cuntaka baik bagi Pemangku Pria maupun Wanita,
hendaknya bila masa cuntaka telah selesai harus mendapatkan pebersihan, lebih
lanjut dengan prayascita atau setidak-tidaknya matirtha sebelum melaksankan
tugasnya kembali ke Pura. Demikian pula mengenai aturan kecuntakaan Pemangku
hendaknya tidak terlepas dari desa,kala,patra.
2.5 Siapa Boleh Menjadi Pemangku
Orang yang boleh menjadi pemangku
sesungguhnya ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, Paling tidak adalah
jika orang itu atau umat Hindu telah sehat lahir bhatin, tidak cukup sehat
lahir bhatin saja, tetapi jika orang itu memiliki kebiasaaan buruk,perilaku
cemar, tidak memiliki etika, gemar melakukan judi, suka selingkuh, suka
mabuk-mabukan, suka memfitnah, atau berbohong serta perilaku adharma yang
sejenis, maka orang itu tidak layak menjadi pemangku, walaupun dari segi
kepinteran,pemahaman agam Hindu sudah fasih, maka yang demikian juga tidak
layak.
Seseorang yang telah mencapai
keadaan rokhani yang bebas dari kemabukan itulah yang dapat dipilih dan
ditetapkan menjadi Pemangku. Orang yang rokhaninya telah bebas dari kemabukan
itu dinamakan orang yang mahardhika artinya orang bebas dari kemabukan, orang
yang bijaksana, suci dan berbudhi luhur, tegasnya sudah dapat melaksanakan
pengendalian diri dengan baik. Dengan kata lain jika seseorang belum dapat
mengendalikan diri dengan baik, semestinya tidak ditunjuk menjadi Pemangku.
Bahkan orang itu harus tahu diri untuk tidak mncalonkan diri menjadi Pemangku. (Suhardabna, 2006:11). Jadi orang yang
tidak diliputi oleh peteng pitu (Sapta Timira). Selayaknya dipilih sebagai
Pemangku, selain syarat penting lainnhya yang telah berlaku dan disepakati oleh
pihak warga masyarakat serta prajuru desa pakraman dimana pemilihan pemangku
itu dilaksanakan sesuai dengan tradisi (Sima atau Dresta).
2.6 Cara Memilih Pemangku
Mengenai
cara memilih pemangku masih ada perbedaan antara satu tempat dengan tempat
lainnya. Namun demikian cara manapun yang diterapkan sepanjang hal itu telah
menjadi kesepakatan bersamadari warga masyarakat dengan para prajuru desa
dimana pemangku itu dipiih, maka hal itu dalah cara yang sah-sah saja. Tidak
ada ketentuan baku yang harus diikuti secara serempak atau seragam. Hal ini
disesuaikan dengan desa, kala, ptra (tempat, waktu dan keadaan).
Pertama cara yang paling banyak
diterapkan di Bali adalah dengan cara nyanjan yaitu melalui perantara orang
suci yang kerawuhan,siapa yang ditunjuk oleh orang yang kerawuhan, maka yang
bersangkutan itulah sebagai pemangku. Cara lain adalah cara niskala berdasarkan
kepercayaan yang tulus ikhlas,tanpa ada unsur politisnya. Kedua cara dengan
menggunakan kwangen yang diberikan kepada para calon yang telah ditentukan dan
siapa yanag kebagian kwangen yang berisi tulisan Ongkara, maka dialah terpilih
sebagai pemangku. Ketiga cara pemilihan berdasarkan atas garis keturunan. Hal
ini sesuai tradisi turun-temurun yang memang dari keturunan pemangku berdasarkan
Purwa Dresta, Kuna Dresta,Kula Dresta,Desa Dresta,serta Loka Dresta. Biasanya
anggota keluarga yang memang keturunan pemangku dipilih dengan perpaduan dengan
cara nyanjan, bila calonnya lebih dari satu. Keempat cara demokratis yaitu cara
pemilihan langsung oleh karma untuk mendapatkan suara terbanyak dan dialah
yanag dipilih sebagai pemangku. Cara ini adalah paling modern.
2.7 Pawintenan Pemangku
Pawintenan atau Mawinten
berasal dari kata “mawi” dan “inten”. Mawi adalah kata bahasa Kawi yang berarti
bersinar, sedang inten berarti intan atau permata. Dengan demikian, maka orang
yang sudah mawinten diibaratkan sebagai permata yang berkilauan karena lahir
batinnya sudah disucikan. Mengapa perlu disucikan? Sebagai pelayan Ida Sang
Hyang Widhi sekaligus pelayan masyarkat, seorang Pemangku harus bertanggung
jawab atas kesucian Pura yang diemongnya. Karena itu sebelum diresmikan sebagai
Pemangku, seseorang yang ditunjuk atau dipilih menjadi Pemangku terlebih dahulu
harus disucikan dengan cara menjalani upacara penyucian diri yang dinamakan
Upacara Pawintenan.
Seperti halnya dalam upacara
lainnya, maka menurut I Made Wenten (Tetandingan Banten Manusia Yajna) Upacara
Pawintenan Pemangku mempunyai tiga tingkatan, yaitu :
Ø Pewintenan
Sari
Ø Pewintenan
Mepedamel
Ø Pewintenan
Samkara Ekajati
A. Pawintenan Sari
Pawintenan Sari merupakan upacara
Pawintenan yang paling sederhana. Upacara ini dilaksanakan hanya dengan memohon
Wangsuhpada kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa di Pura dimana yang bersangkutan
akan mejadi Pemangku. Pawintenan Sari harus disaksikan oleh Krama Dadia Pura
yang bersangkutan. Pemangku yang diwinten dengan cara ini biasanya diberi nama
panggilan atau julukan sebagai Bapa Mangku, Ketut Mangku, dan sebagainya.
Sasanan (kode etik) yang harus dijalankan oleh mereka yang
telah Mawinten Sari adalah sebagai berikut :
1. Selalu berbuat dharma, sabar, jujur, berbudhi luhur, dan santun
2. Selalu teguh melaksanakan sastra agama, memahami trikona : Upatti – Sthiti – Pralinaning Sarwa Dewa
3. Bersikap kasih sayAng terhadap semua makhluk, tidak suka mabuk-mabukan, tidak suka berjudi, tidak suka berkelahi, tidak suka bertengkar, dan tidak bergaul dengan orang yang sering berbuat tidak baik
4. Tidak suka memperkosa orang lain
1. Selalu berbuat dharma, sabar, jujur, berbudhi luhur, dan santun
2. Selalu teguh melaksanakan sastra agama, memahami trikona : Upatti – Sthiti – Pralinaning Sarwa Dewa
3. Bersikap kasih sayAng terhadap semua makhluk, tidak suka mabuk-mabukan, tidak suka berjudi, tidak suka berkelahi, tidak suka bertengkar, dan tidak bergaul dengan orang yang sering berbuat tidak baik
4. Tidak suka memperkosa orang lain
Perlu dijelaskan bahwa Pawintenan Sari
dengan cara yang amat sederhana ini dalam praktek nampaknya tidak ditemukan
lagi, karena semua Pawintenan Pemangku skarang ini dilaksanakan oleh Pendet,
kecuali barangkali di daerah tertentu dimana tidak terdapat Sulinggih
B.
Pawintenan Mepedamel
Pawintenan MePedamel dilaksanakan oleh
Pendeta yang sudah mempunyai wewenang untuk melaksanakan Loka Palasraya Pandita
atau juga disebut Sang Hyang Yogi Swara selaku Panabean. Upacara ini harus
disaksikan oleh :
1. PHDI Kecamatan dan Kabupaten
2 Pejabat Pemerintah setempat
3. Perangkat Desa Adat
4. Kantor Departemen Agama Kabupaten
5. Guru Rupaka dan keluarganya
2 Pejabat Pemerintah setempat
3. Perangkat Desa Adat
4. Kantor Departemen Agama Kabupaten
5. Guru Rupaka dan keluarganya
Pemangku yang diwinten dengan tingkatan
seperti ini diberi gelar atau julukan sebagai Jero Mangku dan diberikan
wewenang untuk nganteb banten Dewa Yajna. Pada waktu nganteb banten, Pemangku
diperkenankan menggunakan mempergunakan mempergunakan genta atau bajra.
Pemangku dengan julukan Jero Mangku ini
tidak dibenarkan menyelesaikan upacara di luar Dewa Yajna, kecuali atas ijin
dari Pendeta yang mewintennya. Disamping itu berdasarkan Lontar Sumuka,
Pemangku dengan gelar Jero Mangku inijuga belum diperkenankan nganteb banten
yang setingkat dengan upacara padudusan dengan banten bebangkit – pala gembal
ke atas.
C..
Pawintenan Samkara Ekajati
Pawintenan jenis ini merupakan
Pawintenan untuk meningkatkan status Pemangku dengan title Jero Mangku menjadi
Jero Gede selaku Pinandita. Upacara pawintenan ini dilakukan oleh Pendeta yang
sudah mempunyai wewenang untuk melaksanakan Loka Palasraya Pandita atau yang
disebut juga Sang Yogi Swara selaku Panabean (Guru Pengajian).
Sebelum Upacara Pawintenan dilaksanakan,
maka calon Jero Gede terlebih dahulu harus mencari Pandita – Nabe sebagai Guru,
dimana yang bersangkutan akan melaksanakan apa yang disebut maguron-guron.
Pandita – Nabe itulah yang secara langsung membina dan mendidik sang calon
dengan Dharma Pawikuan sesuai dengan beban fungsi dan jabatan yang akan
dipangkunya.
Upacara Pawintenan Samkara Ekajati ini
harus disaksikan oleh para Manggala Desa, sama seperti pesaksian Pawintenan
Mepedamel seperti sudah diuraikan di atas.
Seorang Pemangku dengan julukan Jero
Gede, jika telah memenuhi persyaratan tertentu dan dipandang sudah cukup
memenuhi persyaratan untuk meningkatkan kesucian rokhani maupun jasmaninya,
dikemudian hari dapat melakukan penyucian diri yang sifatnya lebih tinggi yang
disebut Mapudgala Dwijati.
Sarana Pawintenan dan Artinya
Dalam Upacara Pawintenan
Mepedamel dan Pawintenan Samkara Ekajati, seorang (calon) Pemangku akan
diberikan sarana khusus berupa Selempot, Semaratih, Sirowista, dan Banten
Pedamel. Bahkan unruk Upacara Pawintenan Samkara Ekajati, Pemangku termaksud
diwajibkan menginjak Kepala Kerbau. Mungkin timbul pertanyaan, apakah arti dari
semua ini? Berikut adalah penjelasannya menurut Prof. Dr. Ngurah Nala, MPH
(SARAD No. 46/2004).
Dalam upacara Pawintenan
Mepedamel, seorang calon Pemangku diwajibkan mengenakan selempot benang putih,
sedangkan pada Upacara Pawintenan Samkara Ekajati harus mengenakan selempot
benang tridatu (benang tiga warna : merah, putih, dan hitam). Dengan memakai
selempot benang putih, maka calon Pemangku tersebut dipandang sebagai penganut
ajaran Dewa Siwa (Siwa Sidhanta). Namun ini tidak berarti bahwa calon Pemangku
tersebut tidak menghormati Dewa Brahma dan atau Dewa Wisnu. Sedangkan dengan
memakai selempot benang tridatu, Pemangku tersebut dianggap akan mempunyai
tugas kewajiban yang lebih luas, yaitu untuk memuja ketiga Dewa Trimurti yakni
Brahma, Wisnu, dan Siwa yang masing-masing berstana di selatan, utara, dan
timur, bahkan ditambah lagi dengan Dewa Mahadewa yang berstana di Barat. Dalam
hal ini Pemangku tersebut akan bertugs memuja empat Dewa pengendali empat
penjuru mata angina. Itulah sebabnya untuk Upacara Pawintenan Samkara Ekajati
dipergunakan banten catur, sebagai simbul pemujaan kehadapan empat Dewa
termasuk tadi.
Pada waktu pawintenan, ke
badan Pemangku juga disentuh-sentuhkan selembar kain putih berisi gambar wayang
dinamakan Semara Ratih sebagai lambing kasih sayang. Setelah itu Semara Ratih
tersebut lalu diletakkan di pundak yang merupakan perlambang bahwa seorang
Pemangku harus mampu dan siap memikul beban tugas kewajiban dengan penuh rasa
kasih sayang kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta semua ciptaannya, baik
yang berwujud manusia, tetumbuhan maupun panca mahabutha.
Disamping Semara Ratih,
Pemangku juga diberikan banten pedamel yakni banten kecil yang terbuat dari
jajan atau bahan-bahan yang dapat dimakan. Unsur rasa dari banten pedamel itu
sangat penting artinya. Dengan banten pedamel yang isinya harus yang dimakan,
seorang Pemangku diharapkan mampu merasakan sad rasa dalam melaksanakan tugas
kewajibannya yaitu rasa manis, rasa asam, rasa pahit, rasa sepet, rasa asin,
dan rasa pedas. Sad rasa disini tentu saja dalam arti kias, yang harus dapat
sijiwai oleh seorang Pemangku dalam melakoni hidup maupun dalam melaksanakan
tugas pekerjaannya sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi sekaligus sebagai
pelayan masyarakat.
Selanjutnya di kepala
Pemangku diikatkan sebuah sirowista yang terbuat dari daun alang-alang yang
berfungsi sebagai alat penyucian diri dan memusnahkan segala pengaruh negatif.
Disamping itu sirowista merupakan juga lambang ardha-candra (bulan), sedangkan
kepala Pemangku sendiri dipangdang sebagai lambang windu (matahari) dan bunga
yang ada pada simpul sirowista sebagai lambang nada (bintang). Dan pucuk bunga
kembang sepatu berwarna merah (lambang Brahma) dianggap paling ideal sebagai
lambang nada tersebut. Ketiganya, (bulan, matahari, dan bintang) merupakan
lambang alam semesta sebagai stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan memakai
sirowista diharapkan agar Pemangku disucikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Mengenai bunga yang
dipergunakan untuk sirowista dapat dijelaskan bahwa bunga itu sebenarnya
boleh-boleh saja, artinya bunga apa saja boleh, asalkan bertujuan untuk
memperoleh kebahagiaan bebas dari rasa takut. Tetapi pada umunya yang lazim
dipergunakan adalah pucuk bunga kembang sepatu yang berwarna merah (Brahma),
disertai bunga berwarna putih (Siwa), dan bunga berwarna biru tua (Wisnu).
Dalam Upacara Pawintenan
Samkara Ekajati, Pemangku juga diwajibkan menginjak kepala kerbau, yang melambangkan
bahwa seorang Pemangku harus mampu menyerap kekuatan yang maha besar itu, maka
seberat apapun tugas kewajibannya akan dapat dilaksanakan dengan baik.
Jenis Banten Pawintenan dan
Maknanya
Untuk memperluas Pawintenan
diperlukan berbagai jenis banten. Dan dilihat dari sudut banten yang
dipergunakan, maka banten Pawintena Pemangku, dapat dibedakan dalam tiga jenis,
tergantung dari banten ayaban yang dipakai :
1. Pawintenan Sari mempergunakan ayaban Banten Saraswati
2. Pawintenan Mepedamel mempergunakan ayaban Banten Bebangkit
3. Pawintenan Samkara Ekajati mempergunakan ayaban Banten Catur
1. Pawintenan Sari mempergunakan ayaban Banten Saraswati
2. Pawintenan Mepedamel mempergunakan ayaban Banten Bebangkit
3. Pawintenan Samkara Ekajati mempergunakan ayaban Banten Catur
Pawintenan dengan Banten
Saraswati adalah penyucian diri dengan memuja Dewi Saraswati sebagai saktinya
Dewa Brahma yang menciptakan ilmu pengetahuan. Sedangkan pawintenan dengan
ayaban Banten Bebangkit adalah penyucian diri dengan memuja dua Dewa – Dewi
yakni Dewi Saraswati dan Dewa Gana sebagai putra Bhatarar Siwa yang berfungsi
sebagai pelindung umat manusia. Kemudian pawintenan dengan ayaban Banten Catur
adalah penyusian diri dengan memuja empat Dewa yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu,
Dewa Iswara, Dewa Mahadewa sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Pawintenan Pemangku Suami-Isteri
Pemangku suami isteri dalam
melaksanakan upacara pawintenan hendaknya dilakukan bersama-sama oleh suami dan
istrinya. Bila sebelum menikah laki-laki yang diwinten, maka setelah menikah,
pawintenan suami istri harus dengan banten ayaban yang sama seperti ketika
suaminya mawinten dahulu. Upacara pawintenan ulang bagi suami ini disebut
pawintenan masepuh. Dalam suatu rumah tangga, tidak boleh ada suami atau istri
yang salah seorang diantaranya tidak mawinten. Artinya kedua orang baik suami
maupun istri haruslah sudah disucikan.
Pengendalian Diri Melalui
Brata, Tapa, Yoga, dan Samadhi
Mereka yang sudah mawinten
wajib melaksanakan pengendalian diri secara ketat dengan cara melakukan brata,
tapa, yoga, dan samadhi. Makin tinggi tingkat pawintenannya, maka makin ketat
pula tingkat pelaksanaan brata, tapa, yoga, dan semadhinya. Mungkin ada yang
bertanya, apa yang dimaksud dengn brata, tapa, yoga, dan semadhi itu. Berikut
adalah penjelasan secara singkat :
1. Brata adalah
usaha pengendalian diri dengan pengekangan hawa nafsu.
2. Tapa metupakan usaha pengendalian diri agar selalu berada dalam jalur ajaran-ajaran agama
3.Yoga berarti pengendalian diri dengan tujuan agar selalu ingat dan karena itu selalu memuja kebesaran dan kemuliaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
4.Semadhi berarti pengendalian diri dengan penyerahan diri sepenuhnya kepada kemahakuasaan Tuhan
2. Tapa metupakan usaha pengendalian diri agar selalu berada dalam jalur ajaran-ajaran agama
3.Yoga berarti pengendalian diri dengan tujuan agar selalu ingat dan karena itu selalu memuja kebesaran dan kemuliaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
4.Semadhi berarti pengendalian diri dengan penyerahan diri sepenuhnya kepada kemahakuasaan Tuhan
Untuk dapat melaksanakan
brata, tapa, yoga, dan semadhi dengan baik, maka orang sudah mawinten, harus
selalu memelihara kondisi lahir maupun batinnya dengan baik dan tertib agar
tidak menjadi cemer. Yang dimaksud dengan cemer disini adalah :
1. Cemer yang disebabkan oleh pikiran, perbuatan, dan perkataan yang menyimpang dari ajaran Agama
1. Cemer yang disebabkan oleh pikiran, perbuatan, dan perkataan yang menyimpang dari ajaran Agama
2. Cemer yang
disebabkan oleh kasepungan, yaitu keadaan cuntaka yang berasal dari luar
dirinya
Misalnya menyantap suguhan
di tempat orang meninggal atau ngaben dan atau turut memandikan layon orang
yang meninggal termasuk dalam pengertian cemer tingkat kedua. Apabila menjadi
cemer, maka orang yang sudah mawinten harus manyucikan diri kembali sesuai
dengan tingkat kecemerannya, misalnya dengan cara meprayascitta saja atau bila
perlu dengan mawinten ulang atau masepuh.
Bahkan I GB. Sugriwa dalam
bukunya berjudul “Dwijendra Tatwa” menjelaskan ajaran Empu Sang Kaliputih yang
menguraikan bahwa Pemangku tidak kena hokum cuntaka (sebel), tetapi dilarang
menjenguk dan makan minum suguhan orang yang sedang kematian (namping watang).
Dalam kaitan ini, Ida
Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Nawa Sandhi (Raditya No. 82/2004) menegaskan
bahwa Pemangku dan semua orang yang sudah mawinten jika memegang jenasah dan
kaungkulin Tirtha Pengentas, maka pawintenannya harus diulangi kembali, dengan
istilah di Bali disebut Masepuh dan tidak cukup dengan mabeakala, maprayascita,
apalagi hanya mebanyuawangan saja.Mebanyuawangan hanya berlaku bagi orang lain
(pelayat) yang bukan keluarga, yang dilakukan segera setelah pulang dari
melayat. Jika sekiranya jenasahnya bermalam beberapa hari, maka setiap kali
pulang melayat orang yang bersangkutan (bukan keluarga) harus mebanyuawangan.
Banyu artinya air dan awing berarti pengentas kesucian. Banyuawang tirtha yang
terbuat dari air kelapa gading muda yang diisi tepung tawar, semacam banten
kecil yang terdiri dari arang jaja uli, beras putih, beras merah, daun dapdap
diiris-iris disertai lis dan jejahitan daun kelapa muda.
Disamping brata, tapa, yoga,
dan semadhi, orang yang sudah mawinten perlu juga memahami, mendalami, dan
melaksanakan ketentuan-ketentuan tentang yama-niyama brata (pengendalian diri),
sad-ripu (enam jenis sifat yang buruk), sad-atatayi (enam jenis perbuatan yang
kejam), trikaya Parisuddha, astabarata dan lain-lain.
2.8 Panggilan Pemangku
Mengenai
nama/panggilan pemangku yaitu ;
1. Bapa
Mangku, Made Mangku, Ketut Mangku dan lain-lain. Adalah nama panggilan bagi
pemangku yang telah diwinten dengan upacara pewintenan sari.
2. Jero
Mangku adalah nama panggilan bagi pemangku yang telah diwinten dengan upacara
pewintenan mepedamel.
3.
Jero Gede adalah nama panggilan bagi
pemangku yang telah diwinten dengan upacara samkara ekajati ( Suhardana,2006:23).
Dengan
adanya panggilan khusus bagi pemangku maksudnya untuk menghormati orang yang
disucikan umat hindu.
2.9 Pakaian Pemangku
Pakaian
pemangku yang bergelar Jero Mangku pada waktu melakukan tugas kepemangkuannya
adalah :
1. Destar
(Udeng) Petak (Putih).
2. Kwaca
Petak (Baju Putih).
3. Kampuh
Petak (Saput Putih atau Kuning).
4. Wastra
Petak (Kain Putih).
5. Dandanan
Rambut magelung anyondong yng ditutup destar bongkos nangka.
Pakaian
Pemangku dengan gelar Jero Gede pada saat melaksanakan tugasnya sebagai
pemangku adalah sebagai berikut :
1. Dandanan
rambut panjang magelung anyondong rapi, rambut maperucut menghadap ke belakang
yang selalu ditutup destar putih
2. Baju
putih berbentuk jas tutup tangan pendek atau kemeja putih tangan panjang,
kampuh kuning.
3.
Wastra putih, melelancingan (Suhardana,2006:25)
Pakaian
pemangku memberikan kekhasan umat Hindu dalam mengenali dan menempatkan
pemangku pada posisi yang sopan dan terhormat dimata umat Hindu dan dalam
tatanan masyarakat Hindu.
2.10 Puja Pemangku
Puja
atau pujian pemujaan kepada para dewa
dengan mantra dalam upacara agama Hindu (Tim
Penyusun,2005:83) . Puja pemangku adalah pujian atau mantra yang digunakan
oleh pemangku untuk melakukan pemujaan kepada Hyang Widhi Wasa beserta semua
manifestasi-Nya yakni Dewa-Dewi,Bhatara-Bhatari,serta sebutan yang lainnya
dengan tujuan untuk memohon keselamatan,kerahayuan,serta mohon maaf atas segala
kesalahan (Sarwa Dosa) yang dilakukan oleh umat Hindu.
Mengenai
puja pemangku dapat diacu beberapa sumber pustaka suci Hindu : Pustaka suci veda,veda
valaka,veda parikrama,kusumadewa, gagelaran pemangku, indik kapamangkuan,buku
Surya sevana dari pandita atau pinandita dan umat Hindu, buku panca
yadnya,tuntunan pangastawa, uger-uger muah sesana penganteban upakara
agem-ageman sang walaka/pamangku, dasar-dasar kepemangkuan dan sebgainya yang
banyak menyuratkan tentang puja mangku.
Kata
puja juga sering disebut mantra. Namun disisilain sering juga disebut maveda.
Jika dibali dinamai saa atau masaa. Terkadang juga secara local diistilahkan
dengan sesontengan. Masih dalam konteks puja,dalam bahasa sansekerta juga
disetarakan dengan japa. Japa diartikan doa yang diucapkan dengan komat-kamit.
Menurut cara pengutaraannya antara Japa dan Mantra terdapat perbedaan, bahwa
Japa diucapkan dalam hati (Mantra tan Kawedar), jadi tidak terdengar sedangkan
mantra sendiri diucapkan dengan mulut sehingga terdengar dengan segala iramanya
(Tim Penyusun,2005:47). Jadi Puja
Pemangku dari segi bahasanya bisa berbahasa Bali, bahasa Jawa Kuna, bahasa
Sansekerta, bisa juga berbahasa yang lainnya yang dipahami oleh pemangku
tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemangku adalah Rohaniawan Hindu yang tergolong
Ekajati. Seorang Pemangku adalah Duta
Dharma yang selalu mengutamakan pelaksanaan ajaran agama Hindu baik bagi
dirinya maupun masyarakat . Dengan Demikian Pemangku adalah seorang Rohaniawan
yang bertugas memuput upacara agama dan ngalokapalasraya sebatas ijin / panugrahan dari Sang Guru (Nabe).( Acara Agama Hindu.Putu Sanjaya.2008:118).
Dalam Lontar Raja Pura
Gama terdapat beberapa jenis pemangku, yaitu :
1.
Pemangku Pura Dalem, Pura Puseh dan Pura
Bale Agung (Pura Desa).
2.
Pemangku Pamongmong
3.
Pemangku Jan Banggul
4.
Pemangku Cungkub
5.
Pemangku Nilarta
6.
Pemangku Pandita
7.
Pemangku Bhujangga
8.
Pemangku Balian
9.
Pemangku Dalang
10.
Pemangku Lancuban
11.
Pemangku Tukang
12.
Mangku Kortenu
Pawintenan
pemangku menurut I Made Wenten ( dalam
Suhardana, 2006:14 ) bahwa ada tiga jenis upacara pewintenan pemangku yaitu
:
1. Pewintenan
Sari
2. Pewintenan
Mepedamel
3. Pewintenan
Samkara Ekajati
Mengenai
nama/panggilan pemangku yaitu ;
1. Bapa
Mangku, Made Mangku, Ketut Mangku dan lain-lain. Adalah nama panggilan bagi
pemangku yang telah diwinten dengan upacara pewintenan sari.
2. Jero
Mangku adalah nama panggilan bagi pemangku yang telah diwinten dengan upacara
pewintenan mepedamel.
Jero
Gede adalah nama panggilan bagi pemangku yang telah diwinten dengan upacara
samkara ekajati ( Suhardana,2006:23
Pakaian
pemangku yang bergelar Jero Mangku pada waktu melakukan tugas kepemangkuannya
adalah :
1. Destar
(Udeng) Petak (Putih).
2. Kwaca
Petak (Baju Putih).
3. Kampuh
Petak (Saput Putih atau Kuning).
4. Wastra
Petak (Kain Putih).
5. Dandanan
Rambut magelung anyondong yng ditutup destar bongkos nangka.
Pakaian
Pemangku dengan gelar Jero Gede pada saat melaksanakan tugasnya sebagai
pemangku adalah sebagai berikut :
1. Dandanan
rambut panjang magelung anyondong rapi, rambut maperucut menghadap ke belakang
yang selalu ditutup destar putih
2. Baju
putih berbentuk jas tutup tangan pendek atau kemeja putih tangan panjang,
kampuh kuning.
3. Wastra
putih, melelancingan (Suhardana,2006:25)
Pakaian
pemangku memberikan kekhasan umat Hindu dalam mengenali dan menempatkan
pemangku pada posisi yang sopan dan terhormat dimata umat Hindu dan dalam
tatanan masyarakat Hindu.
3.2 Saran
Tentunya kami sebagai kelompok pembuat makalah sangat
mengharapkan saran dari temen-temen dan dosen pembimbing mata kuliah ini,
karena kami tau dalam makalah ini masih banyak kekurangan kami,tentunya kami
meminta saran dan pendapat yang positif dan membangun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar