BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kata Tattva berasal dari bahasa Sansekerta “Tat” yang artinya itu,yang
maksudnya adalah hakekat atau kebenaran (Thatnees). Dalam sumber lainya kata Tattva juga berarti falsafah (Filsafat
agama). Maksudnya adalah ilmu yang mempelajari kebenaran sedalam-dalamnya
(sebenarnya) tentang sesuatu seperti mencari kebenaran tentang Tuhan, tentang atma serta yang lainya. Sampai pada
proses kepada kebenaran tentang reinkarnasi dan karmapala.) Dalam ajaran Tattva,
kebenaran yang dicari adalah hakekat Brahman
(Tuhan) dan segala sesuatu yang terkait dengan kemahakuasaan Tuhan, seperti
yang disebutkan dalam buku Theologi Hindu, kata Tattva berarti hakekat tentang Tat
atau Itu (yaitu Tuhan dalam bentuk Nirguṇa Brahman ). Pengguna an kata Tat sebagai kata
yang artinya Tuhan, adalah untuk menunjukan kepada Tuhan yang jauh dengan
manusia. Kata “Itu“ dibedakan dengan kata “ Idam “ yang artinya menunjuk pada
kata benda yang dekat (pada semua ciptaan Tuhan). Definisi di atas berdasarkan
pada pengertian bahwa Tuhan atau Brahman
adalah asal segala yang ada, Brahman
merupakan primacosa yang adanya
bersifat mutlak. Karena sumber atas semua yang ada, tanpa ada Brahman maka tidak mungkin semuanya ada.
Tattva
juga dapat diartikan kebenaran yang sejati dan hakiki. Penggunaan kata Tattva ini sebagai istilah filsafat
didasarkan atas tujuan yang hendak dicapai, oleh filsafat itu yakni kebenaran
yang tertinggi dan hakiki. Didalam lontar-lontar di Bali kata Tattva inilah lebih sering diguṇakan jika
dibandingkan dengan ke tiga istilah filsafat yang lainya, pendidikan, tempat
suci, upacara yajňa, adat istiadat
dan lainya, semua itu merupaka konsep dasar atau inti sarinya adalah Tattva. Dengan pengertian tersebut di
atas maka dapat diartikan bahwa Tattva
adalah suatu istilah filsafat agama yang diartikan kebenaran yang sejati dan
hakiki yang didasari perenungan yang betul –betul memerlukan pemikiran yang
cemerlang agar sampai kepada hakekat dan sifat kodrati
Ajaran Hindu kaya akan Tattva
atau dalam ilmu modern disebut filsafat, secara khusus filsafat disebut Darśana. Dalam perkembangan agama Hindu
atau kebudayaan Veda terdapat
Sembilan cabang filsafat yang disebut Nawa
Darśana.
Pada masa Upaniṣad, akhirnya filsafat
dalam kebudayaan Veda dapat dibagi
menjadi dua kelompok yaitu astika
(kelompok yang mengakui Veda sebagai
ajaran tertinggi) dan nastika
(kelompok yang tidak mengakui Veda
ajaran tertinggi ). Terdapat enam cabang filsafat yang mengakui veda yang disebut Ṣaḍ Darśana (Nyāyā,
Sāṁkya,
Yoga,
Mīmāmsā,
Vaisiseka,
dan Vedānta) dan tiga cabang filsafat yang
menentang Veda yaitu Jaina, Carvaka dan Buddha (agama Buddha).
Darśana
merupakan
bagian penulisan Hindu yang memerlukan kecerdasan yang tajam, penalaran serta
perasaan, karena masalah pokok yang dibahasnya merupakan inti sari pemahaman Veda secara menyeluruh di bidang
filsafat. Filsafat merupakan aspek rasional dari agama dan merupakan satu
bagian integral dari agama. Nama atau istilah lain dari Darśana tersebut adalah; Mananaśāstra
(pemikiran atau renungan filsafat), Vicaraśāstra
(menyelidiki tentang kebenaran filsafat), tarka (spekulasi), Śraddhā (keyakinan
atau keimanan).
Filsafat juga merupakan
pencarian rasional ke dalam sifat Kebenaran atau Realitas, yang juga memberikan
pemecahan yang jelas dalam mengemukakan permasalahan-permasalahan yang lembut
dari kehidupan ini, di mana ia juga menunjukan jalan untuk mendapatkan
pembebasan abadi dari penderitaan akibat kelahiran dan kematian. Filsafat
bermula dari keperluan praktis umat manusia yang menginginkan untuk mengetahui
masalah-masalah transcendental ketika ia berada dalam perenungan tentang
hakekat kehidupan itu sendiri. Ada dorongan dalam dirinya untuk mengetahui
rahasia kematian, rahasia kekekalan, sifat dari Jīva (roh), sang pencipta alam semesta ini. Dalam hal ini filsafat
dapat membantu untuk mengetahu semua permasalahan ini, karena filsafat
merupakan ekpresi diri dari pertumbuhan jiwa manusia, sedangkan filsuf adalah
wujud lahiriahnya. Para pemikir kreatif dan para filsuf merupakan wujud muncul
pada setiap jaman dan mereka mengangkat dan mengilhami umat manusia.
Pemikiran tentang
kematian, selalu menjadi daya penggerak yang paling kuat dari ajaran agama dan
kehidupan keagamaan. Manusia takut akan kematian dan tidak menginginkan untuk
mati. Inilah yang merupakan titik awal dari filsafat, karena filsafat mencari
dan menyelidiki. Pemahaman yang jelas dari manusia dalam hubungannya dengan
Tuhan, merupakan masalah yang sangat penting bagi para pelajar filsafat dan
bagi para calon spiritual (sādhaka)
sehingga berbagai aliran filsafat dan bermacam-macam aliran kepercayaan
keagamaan yang berbeda telah muncul dan berkembang dalam kehidupan umat
manusia.
Filsafat Hindu bukan
hanya merupakan spekulasi atau dugaan belaka, namun ia memiliki nilai yang
sangat luhur, mulia, khas, dan sistematis, yang didasarkan atas pengalaman
spiritual mistis yang dikenal sebagai Aparokṣa
Anubhūti. Para pengamat spiritual, para orang bijak, dan para Ṛṣi yang telah mengarahkan persepsi
intuitif dari Kebenaran, adalah para pendiri dari berbagai sistem filsafat yang
berbeda-beda, yang secara langsung maupun tidak langsung mendasarkan semuanya
pada Veda. Mereka yang telah
mempelajari kitab-kitab Upaniṣhad secara tekun dan hati-hati akan menemukan
keselarasan antara wahyu-wahyu Śruti dengan
kesimpulan filsafat. Ṣaḍ Darśana yang
merupakan enam sistem filsafat Hindu, merupakan enam sarana pengajaran yang
benar atau enam cara pembuktian kebenaran. Masing-masing kelompok telah
mengembangkan, mensistematisir, serta menghubungkan berbagai bagian dari veda, dengan caranya masing-masing,
sehingga masing-masing kelompok aliran filsafat tersebut memiliki seorang atau
beberapa orang Sūtrakāra, yaitu
penyusun doktrin-doktrin, dalam ungkapan-ungkapan pendek (aphorisma) yang
disebut Sūtra.
Di dalam makalah ini kami
akan membahas lebih mendalam mengenai Sankhya Darsana sebagai salah satu bagian
dari filsafat hindu.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apakah Sad Darsana itu ?
2. Apakah Pengertian Sankhya
Darsana ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui apa itu Sad Darsana.
2.
Mengetahui Pengertian sankhya Darsana.
1.4 Manfaat Penulisan
Ada
banyak manfaat yang baik dari pembuatan makalah. Jika tidak ada manfaatnya maka
tentu saja Sekolah atau instansi sejenisnya tidak akan menuntutnya. Beberapa
manfaat antara lain :
1. Melatih
kreatifitas mahasiswa dalam menuangkan gagasan pemikirannya (ide-idenya)
tentang suatu kajian atau topik dari ilmu-ilmu yang sudah didalami. Di sini
secara tidak langsung penulis juga dilatih untuk menerapkan kemampuan berpikir
secara logis-sistematis.
2. Makalah
ini, bukan hanya berguna bagi penulis saja tetapi juga sebagai bahan referensi
ilmiah dan sumbangan pengetahuan bagi sekolah, bagi para pembaca tentang apa
yang disumbangkan lewat ide penulis melalui makalah tersebut.
3. Sebagai
tuntutan akademik bagi para akademisi yang ingin berpetualang terus dalam dunia
pengetahuan dan pendidikan. Dengan hasil makalah, penulis dilatih secara khusus
untuk terbiasa menulis atau mengolah sesuatu yang menjadi obyek tulisan.
4. Melatih
berpikir tertib dan teratur karena menulis makalah harus mengikuti tata cara
penulisan yang sudah ditentukan prosedur tertentu, metode dan teknik, aturan /
kaidah standar, disajikan teratur, runtun dan tertib.
5. Menumbuhkan
etos ilmiah di kalangan mahasiswa, sehingga tidak hanya menjadi konsumen ilmu
pengetahuan, tetapi juga mampu menjadi penghasil (produsen) pemikiran dan karya
tulis dalam bidang ilmu pengetahuan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Ṣaḍ Darśana
Kata Darśana berasal dari urat kata dṛś
yang artinya melihat, menjadi kata Darśana
(kata benda) artinya pengelihatan atau pandangan. Kata Darśana dalam hubungan ini berarti pandangan tentang kebenaran
(filsafat). Ilmu Filsafat adalah sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana caranya
mengungkapkan nilai-nilai kebenaran hakiki yang dijadikan landasan untuk hidup yang
dicita-citakan. Demikian halnya ilmu filsafat yang ada di dalam ajaran Hindu
yang juga disebut dengan Darśana,
semuanya berusaha untuk mengungkapkan tentang nilai-nilai kebenaran dengan
bersumber pada kitab suci Veda.
Aliran atau sistem filsafat India dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu āstika dan nāstika. Kelompok pertama terdiri atas enam sistem filosofis utama
yang secara populer dikenal sebagai Ṣaḍ
Darśana yang dikenal dengan aliran orthodox, nukan karena mereka
mempercayai adanya Tuhan, tetapi karena mereka menerima otoritas dari
kitab-kitab Veda.
Sebagai catatan, dalam
bahasa India modern, kata āstika dan nāstika umumnya berarti theis dan atheis, tetapi dalam kepustakaan filosofis Sanskṛta, kata āstika berarti ‘orang yang mempercayai otoritas
kitab-kitab Veda, atau orang yang
mempercayai kehidupan setelah kematian’, sedangkan kata nāstika berarti lawannya. Disini, kata tersebut diperguṇa kan dalam pengertian pertama karena
dalam pengertian yang kedua, aliran filsafat Jaina dan Buddha pun
adalah āstika, karena mereka percaya
mempercayai kehidupan setelah kematian. Dalam kedua pengertian di atas, ke enam
aliran filsafat orthodox adalah āstika dan
aliran filsafat Cārvāka sebagai nāstika. Pada uraian berikut akan
diuaraikan tentang aliran filsafat orthodox (Ṣaḍ Darśana) terutama mengenai Sankhya Darsana.
2.2. Sāṁkhya Darśana
a. Pendiri dan pokok ajarannya
Sāṁkhya kata berasal
dari kata Sanskṛta 'Sāṁkhya' (pencacahan, perhitungan).
Dalam Filsafat, pencacahan akurat dari kebenaran telah ditentukan. Akibatnya,
Filsafat ini bernama 'Sāṁkhya'.
Mungkin ada alasan lain adalah bahwa salah satu arti dari 'Sāṁkhya' adalah musyawarah atau refleksi atas hal-hal yang
berkaitan dengan kebenaran. Filsafat ini mengandung musyawarah tersebut dan
kontemplasi atas kebenaran. Dalam Persepsi Filsafat, Pratyaksh (persepsi langsung melalui Rasa-Organ), Anumān (Inferensi atau kognisi mengikuti
beberapa Pengetahuan lainnya), dan Śhabda
(Kesaksian Verbal) adalah tiga pramānā
yang diterima (sumber pengetahuan yang sah atau metode mengetahui benar).
Misalnya, Nyāyikās (Pengikut Filsafat
Nyāya) telah menerima empat Pramānā, para Mimāsakās (Pengikut Filsafats Mimāsa)
telah menerima enam pramānā. Demikian
pula, di Filsafat Sāṁkhya, tiga Pramānā telah diterimanya. Pendiri dari
sistem filsafat ini adalah Śrī Kapila
Muni, yang dikatakan sebagai putra Brahma
dan Avatāra dari Viṣṇu. Pada sistem Sāṁkhya tak ada penyelidikan secara analitik
ke dalam alam semesta, seperti keberadaan yang sesungguhnya yang merupakan
susunan menurut topic-topik dan kategori-kategori, namun terdapat suatu sistem
tiruan yang diawali dari satu Tattva
atau prinsip mula-mula atau Prakṛti, yang
berkembang atau yang menghasilkan (Prakaroti)
sesuatu yang lain.
Didirikan oleh Mahaṛṣi Kapila Muni, ini adalah
Filsafat yang paling kuno. Filsafat ini di bangun oleh ṛṣi Kapila. Sebuah teks yang ditulis oleh Ishwar Krishna disebut 'Sānkhyakārika' adalah sumber terpercaya
prinsip pengetahuan dalam Filsafat ini. Hal ini ditulis dalam Aryan Chand (sejenis puisi Sanskṛta kuno) dan berisi 72 Karikas (koleksi memorial ayat tentang
topik filosofis) yang menerjemahkan Sāṁkhya
Siddhant (Doktrin Sāṁkhya) yang jelas dan
eksplisit. Para ahli merasa bahwa beberapa orang mungkin telah belajar menulis Sāṁkhya Sūtra dan Sūtra Sānkhyasamās
dalam nama ṛṣi Kapila. Hal ini karena
tidak ada menyebutkan bahwa dua teks tersebut ditulis 1500 SM. Oleh karena itu,
apa pun pengetahuan yang kita dapat dari Ajaran Sāṁkhya sekarang didasarkan pada Sāṁkhya Karikas. Ajaran Sāṁkhya merupakan filsafat yang menerima
24 Kebenaran dari Prakṛti (Alam
benda) dan 25 kebenaran Puruṣa
(Jiwa).
b. Konsep Puruṣa
dan Prakṛti
Seperti yang telah disinggung di atas, Sāṁkhya memperguṇa kan 3 sistem atau cara mencari pengetahuan dan kebenaran,
yaitu: Pratyakṣa (pengamatan
langsung), Anumāṇa (penyimpulan), dan
Apta Vākya (penegasan yang benar).
Kata Apta artinya ‘pantas’ atau
‘benar’ yang ditunjukkan kepada wahyu-wahyu Veda
atau guru-guru yang mendapatkan wahyu. Sistem Sāṁkhya umumnya dipelajari setelah sistem Nyāya, karena ia merupakan sistem filsafat yang hebat, dimana para
filsuf barat juga sangat mengaguminya, karena secara pasti ia menekankan
pluralitas dan dualitas, karena mengajarkan bahwa ada Puruṣa atau roh yang banyak sekali. Sāṁkhya menyangkal bahwa suatu benda dapat dihasilkan melalui
ketiadaan. Prakṛti dan
Puruṣa adalan Anādi (tanpa awal) dan Ananta
(tanpa akhir;tak terbatas). Ketidak berbedaan (Aviveka) antara keduanya merupakan penyebab adanya kelahiran dan
kematian. Perbedaan antara Prakṛti dan
Puruṣa memberikan Mukti (pembebasan). Baik Prakṛti maupun Puruṣa adalah Sat (nyata).
Puruṣa bersifat Asaṅga (tak terikat) dan merupakan keṢaḍaran yang meresapi segalanya dan abadi. Prakṛti merupakan si pelaku dan si penikmat,
yang tersusun dari asas materi dan rohani yang memiliki atau terpengaruh oleh 3
Guṇa atau sifat, yaitu Sattvam, Rājas dan Tamas. Prakṛti artinya
‘yang mula-mula’, yang mendahului dari apa yang dibuat dan berasal dari kata”Pra”(sebelum), dan “Kri” (membuat yang mirip dengan Māyā
dan Vedānta. Prakṛti merupakan sumber dari alam semesta
dan ia juga disebut Pradhāna (pokok),
karena semua akibat ditemukan padanya dan juga merupakan sumber dari segala
benda.
Pradhāna dan Prakṛti adalah kekal, meresapi segalanya, tak dapat digerakkan dan
cma satu adanya. Ia tak memiliki sebab tapi merupakan sebab dari suatu akibat. Prakṛti hanya bergantung dari pada aktivitas
dari unsure pokok Guṇa-nya sendiri.
Ke-3 Guṇa tersebut tak pernah dan
saling menunjang satu sama lainnya, serta saling bercampur. Ia membentuk
substansi Prakṛti.
Akibat dari pertemuan antara Puruṣa dan Prakṛti timbullah ketidak seimbangan tri guṇa tersebut yang menimbulkan evolusi atau perwujudan. Prakṛti berkembang dibawah pengaruh Puruṣa. produk awal dari evolusi Prakṛti adalah Mahat atau Kecerdasan Utama, yang merupakan penyebab alam semesta
dan selanjutnya muncul Buddhi dan Ahaṁkāra. Dari Ahaṁkāra muncul Manas atau
pikiran, yang membawa perintah-perintah dari kehendak melalui organ-organ
kegiatan (Karma Indriya).
Sattvam merupakan keseimbangan, sehingga
apabila Sattvam lebih berpengaruh,
terjadilah kedamaian atau ketenangan. Rājas
merupakan aktifitas, yang dinyatakan sebagai Rāga-Dveṣa, yaitu suka atau tidak suka, cinta atau benci, menarik
atau memuakkan. Tamas merupakan
belenggu dengan kecenderungan dengan kelesuan, kemalasan, dan kegiatan yang
dungu atau bodoh, yang menyebabkan khayalan atau Aviveka (tanpa perbedaan). Sāṁkhya menerima teori pengembangan dan penyusutan, di mana sebab
dan akibat merupakan keadaan yang belum berkembang dan pengembangan dari suatu
substansi yang sama. Gambaran sentral dari filsafat Sāṁkhya adalah bahwa akibat benar-benar ada sebelumnya di dalam
penyebab, seperti seluruh keberadaan pepohonan yang dalam keadaan terpendam
atau tertidur dalam benih (biji), demikian pula seluruh alam raya ini ada dalam
keadaan tertidur dalam Prakṛti,
yaitu Avyakṛta (tak terbedakan).
Untuk
mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang proses pengembangan dan
penyusutan, Sāṁkhya menguraikannya
sebagai berikut : Dari pertemuan antara Puruṣa
dan Prakṛti,
timbullah Mahat (yang agung), yang merupakan benih alam semesta, di mana
segi psikologinya disebut sebagai Buddhi,
yang memiliki sifat-sifat kebajikan, pengetahuan, tidak bernafsu. Perbedaan
antara Mahat dan Buddhi adalah, Mahat merupakan
asas kosmis sedangkan Buddhi merupakan
asas kejiwaan (merupakan unsur kejiwaan tertinggi). Dari Buddhi timbullah Ahaṁkāra
yang merupakan asas individuasi atau asas keakuan, yang menyebabkan segala
sesuatu memiliki latar belakang sendiri-sendiri.
Perkembangan kejiawaan yang pertama
adalah Ahaṁkāra adalah Manas yang merupakan pusat indra yang
bekerja sama dengan indra-indra yang lain mengamati kenyataan di luar badan
manusia. Tugas Manas adalah untuk
menkoordinir rangsangan-rangsangan indra, dan mengaturnya sehingga menjadi
petunjuk dan meneruskannya kepada Ahaṁkāra
dan
Buddhi.sebaliknya Manas juga bertugas meneruskan putusan
kehendak Buddhi kepada peralatan indra yang lebih rendah. Buddhi, Ahaṁkāra dan Manas secara bersama-sama disebut sebagai peralatan bhatin atau Antaḥkaraṇa.
Perkembangan kejiwaan yang kedua
adalah Pañca
Indra persepsi (Buddhendriya
atau Jñānendriya), yaitu :
1) Pengelihatan
2) Pendengaran
3) Penciuman
4) Perabaan,
dan
5) Perasa
Perkembangan
kejiwaan yang ketiga disebut sebagai Karmendriya
atau organ penggerak, yaitu :
1) Daya
untuk berbicara
2) Daya
untuk memegang
3) Daya
untuk berjalan
4) Daya
untuk membuang kotoran, dan
5) Daya
untuk mengeluarkan benih
Perkembangan
fisik menghasilkan asas dunia luar, yang disebut 5 unsur dan perkembangan
melalui 2 tahapan, yaitu :
1) Pada
tahap pertama, berbentuk unsure halus (Pañca
Tanmātra) yaitu: sari suara, sari raba, sari warna, sari rasa dan sari bau.
2) Pada
tahapan kedua terjadi kombinasi dari unsur-unsur halus yang menimbulkan
unsure-unsur kasar yang disebut pañca
mahābhūta, yaitu :
a) Ākāśa
(ether, ruang)
b) Vāyu
(udara)
c) Agni
atau Tejah (api/panas)
d) Āpah
(air), dan
e) Pṛthivī
(tanah).
c. Tri Guṇa
Prakṛti dibangun oleh guṇa yaitu, Sattva, Rājas,
dan Tamas. Guṇa artinya unsur, atau komponen penyusunan. Guṇa itu tidak dapat kita amati dengan indra. Adanya itu
disimpulkan atas obyek dunia ini yang merupakan akibat dari padanya. Karena
adanya kesamaan azas antara akibat dan sebab, maka dapat kita ketahui
sifat-sifat Guṇa itu dari alam yang
merupakan wujud hasil dari padanya. Semua obyek dunia ini memiliki tiga sifat
yaitu sifat-sifat yang menimbulkan rasa senang. Susah dan netral. Nyanyian
burung yang menyenangkan seorang seniman, menyusahkan orang sakit, tak
berpengaruh apapun untuk orang yang acuh. Sebab semua sifat ini merupakan
akibat suatu sebab, maka sifat-sifat itu haruslah terkandung dalam Sattva, Rājas dan Tamas itu.
1) Sattva adalah suatu Prakṛti yang merupakan alam kesenangan yang ringan, yang tenang
bercahaya. Wujudnya berupa keṢaḍaran
sifat ringan yang menimbulkan gerak keatas, angin dan air di udara dan semua
bentuk kesenangan seperti kepuasan, kegirangan dan sebagainya.
2) Rājas adalah unsur gerak pada benda-benda
ini. Ia selalu gerak dan menyebabkan benda-benda ini bergerak. Ialah
menyebabkan api berkobar, angin berhembus, pikiran berkeliaran kesaana kemari.
Ialah yang menggerakan Sattva dan Tamas untuk melaksanakan tugasnya.
3) Tamas adalah unsur yang menyebabkan
sesuatu menjadi pasip dan bersifat negatif. Ia bersifat keras, menentang
aktifitas menahan gerak pikiran hingga menimbulkan kegelapan, kebodohan
sehingga mengantar orang pada kebingungan. Karena menentang aktifitas menyebabkan
orang menjadi malas, acuh tak acuh, tidur.
Ketiga guṇa ini
tidak dapat dipisahkan satu sama lainya karena masing-masing saling mengsuport
yang lain sebagai satu kesatuan. Ibaratkan “lampu minyak” yang terdiri dari
unsur nyala, unsur minyak dan unsur lampunya, yang secara sendiri-sendiri tidak
akan dapat berfungsi. Dalam kaitan dengan konsep penciptaan, pemeliharaan dan
peniadaan, Sattva adalah penciptaan, Rājas adalah pemeliharaan dan Tamas adalah peniadaan. Prakṛti dicirikan oleh adanya tiga guṇa diatas. Kata guṇa artinya adalah kualitas atau sifat dari Prakṛti, tetapi tidak sekedar aspek permukaan dari alam materiil
ini, tapi hakekat intrinsik dari Prakṛti.
Guṇa itu selalu berubah dari dalam
dirinya sendiri walaupun dalam keadaan keseimbangan, hanya saja ia tidak
menghasilkan apapun sepanjang keseimbangan tidak terganggu. Bila keseimbangan
terganggu maka guṇa dalam situasi Guṇaksobha, dimana masing-masing guṇa beraksi satu sama lainnya yang
disebabkan karena salah satu guṇa
secara dominan tampil walaupun tidak meniadakan guṇa lainnya, dalam benda-benda material yang diam atau yang tidak
bergerak maka yang dominan adalah Tamas
Guṇa dibangdingkan dengan dua guṇa
lainnya. Dalam sesuatu ang bergerak maka Rājas
Guṇa dominan dari pada dua guṇa lainnya. Demikianlah guṇa itu bekerja bersama-sama dalam
membentuk alam semesta ini. Guṇa-Guṇa itu dapat di mengerti dari fakta
berupa ciri-ciri dari dunia materiil ini, baik secara eksternal maupun secara
internal, baik itu berupa unsur fisik atau pikiran, yang semanya itu memiliki
kemampuan dalam menghasilkan kesenangan, penderitaan atau seimbang tidak
keduanya. Suatu objek yang sama barangkali menyenangkan seseorang tapi
menyakiti bagi yang lainnya atau sama sekali tidak keduanya itu. Seorang wanita
yang cantik akan sangat menarik bagi pacarnya, tapi akan menyakitkan wanita
lainnya yang juga tertarik pada laki-laki pacar wanita cantik itu, dan tidak
ada apa-apanya bagi orang lain yang tidak terlibat ”kecantikan” dari wanita
itu, menunjukkan adanya hubungan dengan orang-orang lainnya disekitarnya, yang
muncul dari guṇa yang ada pada dunia
ini. Dari contoh ini kita akan dibantu dalam memahami bagaimana asal-usul dari
semua fenomena Prakṛti yang memiliki
ciri-ciri yang dapat kita temukan. Pada obyek-obyek dunia ini. Prakṛti dan produk-produk yang
dihasilkannya membutuhkan guṇa
tersebut karena, Prakṛti dan
produknya tidak mempunyai kekuatan untuk membedakan dirinya dengan Puruṣa. Mereka adalah Objek sedangkan Puruṣa adalah Subyek. Filsafat Sāṁkhya menyatakan bahwa keseluruhan
alam semesta ini berkembang dari Guṇa,
dimana dalam keadaan ketiga Guṇa itu
seimbang alami disebut Prakṛti dan
dalam keadaan tidak seimbang disebut sebagai Vikṛti, yaitu keadaan yang heterogen. Tiga Guṇa ini oleh filsuf Sāṁkhya
yang beraliran nonteistik dinyatakan sebagai penyebab terakhir dari aktifitas
dan Tamas adalah berat dan gelap,
lesu atau menutupi. Guṇa itu tidak
berbentuk dan selalu ada (omnipresent)
yang dalam keadaan seimbang menyerahkan sifat-sifatnya kedalam yang satu dengan
yang lainnya. Dalam keadaan tidak seimbang, Rājas
dikatakan sebagai pusat dari Sattva
dan Tamas, yang menghasilkan
penciptaan karena memanifestasikan dirinya dengan demikian Rājas menghasilkan pasangan-pasangan yang berlawanan. sebaliknya Rājas juga tergantung dari Sattva dan Tamas, karena aktifitas tidakakan terjadi tanpa adanya obyek di
mana ia beraktifitas. Dalam keadaan memanifestasikan diri, salah satu guṇa mendominasi dua guṇa lainnya, tetapi tidak pernah
terjadi secara sepenuhnya terpisah atau absen satu sama lainnya karena secara
keseimbangan mereka bereaksi antara satu dengan yang lainnya. Dengan pengaruh Rājas maka kekuatan Sattvika maka kecepatan yang tinggi dan unit kekuatan itu terpecah
menjadi bagian-bagian. Dalam tahapan tertentu barang kali percepatan berkurang
dan mereka mulai mendekat dan mendekat satu sama lainnya. Kontraksi dari
kekuatan Sattvika maka akan terbentuk
Tamas, dan dalam waktu yang bersamaan
dorongan dari kekuatan aktif (Rājas)
juga terjadi pada Tamas dan dalam
kontraksi itu terjadilah ekspansi yang cepat. Dengan demikian guṇa itu secara terus menerus merubah
keunggulan mereka mengatasi yang lainnya. Keunggulan Sattva dari Tamas dan
sebaliknya, keunggulan Sattva pada Tamas terjadi secara bersamaan dalam
proses tersebut, dan pergantiian itu terjadi pada setiap saat. Sattva dan Tamas dan dalam penampakannya merupakan terang dan tidak berbobot
sedang yang lain merupakan gelap dan berat. Tapi pasangan ini bekerja secara
bersama-sama dalam penciptaan dan peleburan seperti halnya benda-benda bergerak
dari yang halus. Ekspansi kekuatan energi yang tertimbun dalam bentuk-bentuk
yang halus, darimana ia memanifestasikan dari dalam bentuk keseimbangan yang
baru. Keseimbangan yang sifatnya relatif ini merupakan suatu tahapan tertentu
dari proses evolusi itu sendiri. Memang kelihatannya ada suatu konflik yang
berkesinambungan antara Guṇa itu,
tapi sesungguhnya ada kerjasama yang sempurna selama proses penciptaan oleh
karena lewat interaksi yang berkesinambungan itulah aliran kosmis dan kehidupan
individual terus berlangsung. Guṇa
itu memiliki peranan yang sama dalam tubuh dan pikian manusia sepertihalnya
yang terjadi pada alam semesta secara keseluruhan.
d. Evolusi alam semesta.
Prakṛti akan mengembang menjadi alam ini
bila berhubungan dengan Puruṣa.
Melalui perhubungan ini Prakṛti
dipengaruhi oleh Puruṣa seperti
halnya anggota badan kita dapat bergerak karena hadirnya pikiran. Evolusi alam
semesta tidak mungkin terjadi hanya karena Puruṣa,
karena ia bersifat pasif. Tidak juga hal itu dapat terjadi karena ia tanpa kesadaran.
Hanya karena perhubungan Puruṣa dan Prakṛti ini adalah seperti kerja sama
orang lumpuh dengan orang buta untuk dapat keluar hutan. Mereka bekarja sama
untuk mencapai tujuannya.
Hubungan antara Puruṣa dan Prakṛti menyebabkan terganggunya keseimbangan dalam Tri Guṇa. Yang mula-mula tergantung
ialah Rājas yang menyebabkan Guṇa yang lain ikut terguncang pula.
Masing-masing Guṇa itu berusaha
mengatasi kekuatan Guṇa lainnya. Maka
terjadilah pemisah dan penyatuan Tri Guṇa
itu yang menyebabkan munculnya obyek yang kedua ini. Yang pertama terjadi dari Prakṛti ialah Mahat dan Buddhi. Mahat adalah benih besar alam semesta
ini sedangkan Buddhi adalah unsur
intelek.
Fungsi buddhi
ialah untuk memberikan pertimbangan dan memutuskan segala apa yang datang dari
alat-alat yang lebih rendah dari padanya. Dalam keadaannya yang murni ia
bersifat dharma, jñana, vāiragya dan aiṣarya
yaitu kebijakan, pengetahuan, tidak bernafsu dan ketuhanan. Ia berada amat
dekat dengan roh. Ahaṁkāra atau rasa
aku adalah hasil Prakṛti yang kedua.
Ia langsung timbul dari mahat dan merupakan manifestasi pertama dari mahat. Fungsi Ahaṁkāra ialah merasakan rasa aku. Dengan Ahaṁkāra sang diri merasa dirinya yang bertindak, yang ingin, yang
bermilik.
Ada tiga macam Ahaṁkāra sesuai dengan Guṇa
mana yang lebih unggul dalam keinginan itu. Ahaṁkāra
itu disebut sattvika bila unsur Sattvam yang unggul, Rājasa bila Rājas yang unggul dan Tamasa
bila Tamas yang unggul. Dari Sattvika timbullah pañca jñanendriya, pañca karmendriya
dan manas. Dari Tamasa lahirlah pañca tanmātra
sedangkan Rājasa memberikan tenaga
baik pada Sattvika maupun Tamasa untuk merubah mana berfungsi
menuntun alat-alat tubuh untuk mengetahui dan bertindak.
Pañca tanmātra adalah
sari-sari benih suara, sentuhan, warna, rasa dan bau. Semuanya ini hanya
diketahui orang akibat yang ditimbulkannya, sedangkan ia sendiri tidak dapat
dikenal karena amat halusnya. Dari semua anasir kasar itu berkembanglah alam
semesta ini dengan segala isinya, namun perkembangan ini tidak menimbulkan
azas-azas baru lagi seperti perkembangan Mahat.
Alam semesta ini dengan segala isinya, namun perkembangan Mahat. Alam semesta adalah benda-benda yang dijadikan bukan
benda-benda yang menjadikan.
Suatu
azaz lagi setelah terbentuknya alam semesta ini, belumlah sempurna sampai
disitu, sebab ia memerlukan adanya dunia roh yang menjadi saksi dan yang
menikmati isi alam ini. Bila roh nyata ada, maka perlulah adanya penyesuaian
moral, kenikmatan dan kesusahan hidup ini. Evolusi Prakṛti menjadi dunia obyek memungkinkan roh nikmat atau menderita
sesuai dengan baik buruk perbuatanya. Namun tujuan akhir evolusi Prakṛti ialah kelepasan.
e. Ajaran tentang kelepasan.
Hidup
didunia ini adalah campuran antara senang dan susah. Banyak kesenangan dapat
dinikmati, banyak pula kesusahan dan sakit yang diderita orang. Bila orang
dapat menghindari diri dari kesusahan dan sakit, maka ia tak dapat menghindari
diri dari ketuaan dan kematian. Ada tiga macam sakit dalam hidup ini yaitu Adhyātmika, Adhibāutika, dan Adhidāivika.
1) Adhyātmika adalah sakit karena sebab-sebab
dari dalam badan sendiri seperti kerja alat-alat tubuh yang tidak normal dan
gangguan perasaan. Dengan demikian ia merupakan gangguan perasaan. Ia merupakan
gangguan jasmani dan rokhani seperti sakit kepala, takut, marah, dan sebgainya.
2) Adhibāutika adalah sakit yang disebabkan oleh
faktor luar tubuh, seperti terpukul, kena gigitan nyamuk dan sebagainya, dan
3) Adhidāivika adalah sakit karena tenaga gaib
seperti setan, hantu dan lain-lainnya.
Tidak ada seorangpun yang ingin
menderita sakit, semuanya ingin hidup bahagia lepas dari susah dan sakit.
Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Selama orang masih berbadan lemah, selama
itu suka dan duka, sakit dan sehat selalu berdampingan. Dengan demikian kita
perlu bercita-cita hidup bersenang-senang selalu, cukup hidup biasa-biasa saja
dengan berusaha melepaskan penderitaan atas dasar pikiran sehat.
Dalam
ajaran Sāṁkhya kelepasan itu adalah
penghentian yang sempurna dari semua penderitaan. Inilah tujuan terakhir dari
hidup kita. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memperingan hidup kita,
namun tidak dapat melepaskan kita dari penderitaan sepenuh-penuhnya. Sāṁkhya mengajarkan bahwa cara mencapai
kelepasan itu ialah melalui pengetahuan yang benar atas kenyataan dunia ini.
Tiadanya pengetahuan itulah yang menyebabkan orang menderita. Dalam banyak hal
orang-orang yang tidak punya pengetahuan tentang hukum alam dan hukum kehidupan
terbentur pada masalah yang membawanya pada kesedihan. Berbeda halnya
orang-orang yang berpengetahuan akan menerima dan menikmati kenyataan itu tidak
sempurna, maka ia tidak lepas dari penderitaan sepenuhnya. Kelepasan itu hanya
akan dicapai bila pengetahuan orang akan kenyataan itu sudah sempurna.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tattva adalah
ilmu yang mempelajari kebenaran sedalam-dalamnya (sebenarnya) tentang sesuatu
seperti mencari kebenaran tentang Tuhan, tentang atma serta yang lainya. Darśana
berasal dari urat kata dṛś yang
artinya melihat, menjadi kata Darśana (kata
benda) artinya pengelihatan atau pandangan. Istilah Nawadarśana sebenarnya adalah penggabungan Ṣaḍ Darśana dengan filsafat Nāstika
yaitu aliran filsafat yang tidak mengakui otoritas Veda sehingga disebut dengan Nāstika
atau filsafat heterodox.
Enam filsafat Hindu yang dikenal dengan Ṣaḍ Darśana adalah enam sistem filsafat
orthodox yang merupakan enam cara mencari kebenaran, yaitu : Nyāyā, Sāṁkya, Yoga, Vaisiseka, Mīmāmsā, dan Vedānta.
Disamping
enam Darśana pokok awal yang termasuk
jaman Sūtra- sūtra juga terdapat beberapa darśana
yang termasuk jaman scholastic, yaitu Dvaita,
Viśiṣtādvaita dan Advaita.
Filsafat Hindu bukan hanya merupakan spekulasi
atau dugaan belaka, namun ia memiliki nilai yang sangat luhur, mulia, khas, dan
sistematis, yang didasarkan atas pengalaman spiritual mistis yang dikenal
sebagai Aparokṣa Anubhūti. Para
pengamat spiritual, para orang bijak, dan para Ṛṣi yang telah mengarahkan persepsi intuitif dari Kebenaran, adalah
para pendiri dari berbagai sistem filsafat yang berbeda-beda, yang secara
langsung maupun tidak langsung mendasarkan semuanya pada Veda.
Sāṁkhya kata berasal
dari kata Sanskṛta 'Sāṁkhya' (pencacahan, perhitungan).
Dalam Filsafat, pencacahan akurat dari kebenaran telah ditentukan. Akibatnya,
Filsafat ini bernama 'Sāṁkhya'.
Mungkin ada alasan lain adalah bahwa salah satu arti dari 'Sāṁkhya' adalah musyawarah atau refleksi atas hal-hal yang
berkaitan dengan kebenaran. Didirikan oleh Mahaṛṣi
Kapila Muni, ini adalah Filsafat yang paling kuno.
Filsafat ini di bangun oleh ṛṣi Kapila. Filsafat Sankhya darsana ini
menekankan pada proses evolusi dan penciptaan alam semesta.
3.2 Saran
Tentunya kami sebagai kelompok pembuat makalah sangat
mengharapkan saran dari temen-temen dan dosen pembimbing mata kuliah ini,
karena kami tau dalam makalah ini masih banyak kekurangan kami,tentunya kami
meminta saran dan pendapat yang positif dan membangun.
DAFTAR PUSTAKA
I Wayan Maswinara,1999.Sistem Filsafat Hindu :
Paramita Surabaya.
Hadiwijono,
Harun, Sari Filsafat India, Jakarta,
BPK Gunung Mulia Kwitang, 1985.
I GEDE RUDIA
ADIPUTRA, TATTWA DARSANA, (Jakarta, yayasan dharma sarath, 1990)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar