BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Kata Niti Sastra memang sudah tidak
asing lagi dikalangan tokoh terpelajar, akan tetapi bagi masyarakat yang awam
masih terasa asing dengan kata ini. Pada masyarakat Hindu di Bali lebih
mengenal dengan istilah Kekawin Niti Sastra. Kekawin Niti Sastra berisikan
tentang ilmu kepemimpinan yang bisa digunakan dan diterapkan kedalam kehidupan
masyarakat dan pendidikan. Banyak tokoh yang mengatakan bahwa Niti Sastra
adalah ajaran tentang ilmu politik, dan tidak sedikit juga berpandangan bahwa
Niti Sastra berarti ilmu kepemimpinan
Pemimpin merupakan sosok yang sudah dikenal di
berbagai aspek kehidupan, baik di masyarakat, sekolah, maupun dalam sebuah
negara. Tanpa sosok pemimpin kehidupan akan tidak terarah bagaikan ayam
kehilangan induknya. Pemimpinlah yang akan menjadi otak sehingga segala
aktivitas kehidupan akan lebih teratur, terkontrol dan terkendali. Pemimpin
sudah dikenal bahkan sebelum zaman weda hanya generasinya yang berbeda.
Pemimpin tidak harus orang yang secara fisik besar, ataupun secara umur paling
tua, tetapi pemimpin adalah sosok yang bisa memimpin dan memiliki kelebihan
yang bisa diayomi oleh para bawahan.
Generasi ke generasi terus berjalan hingga sampailah
sekarang ini pada era globalisasi. Namun pada prinsipnya di generasi manapun
sosok pemimpin akan selalu mengarahkan hal yang terbaik untuk bawahannya
sehingga tujuan dari perkumpulan yang dipimpin bisa tercapai. Untuk menjadi
seorang pemimpin yang disegani ada pedoman-pedoman yang sama di setiap zaman,
yang mana dalam agama Hindu pedoman ini disebut Niti Sastra, Niti berarti
kemudi, pemimpin, politik dan sosial etik, pertimbangan, dan kebijakan.
Sedangkan Sastra berarti perintah, ajaran, nasehat, aturan, teori, dan tulisan
ilmiah. sehingga Nitisastra berarti ajaran mengenai kepemimpinan menurut Hindu.
Terkait dengan kepemimpinan pula, sekarang sudah
berkembang adanya sistem demokrasi, yang mana dalam sistem ini pemimpin tidak
lagi diangkat berdasarkan garis keturunan, atau berdasarkan varna tetapi
melalui pemilihan langsung oleh para bawahan. Para bawahan bebas memilih siapa
yang dianggap mampu, dan bahkan diantaranya boleh mencalonkan diri kalau merasa
diri mampu mangemban tanggung jawab sebagai seorang pemimpin. Hal ini sudah
dirasakan sendiri oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang hidup di
sebuah negara yang menganut asas demokrasi.
Ada banyak kelebihan dan kekurangan dari asas
demokrasi ini. Salah satu kelebihannya adalah rakyat dapat memilih pemimpin
sesuai dengan keinginannya sehingga orang yang akan menjadi pemimpin adalah
orang yang mendapat suara terbanyak, dan akhirnya pemimpin akan lebih mudah
medapat tempat di hati bawahan. Akan tetapi, salah satu kekurangan yang juga
bisa dirasakan adalah rakyat terkadang salah pilih, pemimpin yang terpilih
terkadang tidak melakukan hal-hal yang telah dijanjikan, sehingga akhirnya akan
timbul penyesalan di kalangan bawahan.
Mencari pemimpin yang baik memang merupakan sesuatu
yang sangat sulit di era globalisasi ini, banyak para pemimpin yang hanya ingin
mencari keuntungan pribadi dari jabatan yang dipangku, sehingga tujuan utama
pemimpin dalah tugas kepemimpinannya akan sangat sulit dipenuhi. Hal ini
tentunya akan mengakibatnya ketidakseimbangan antara unsur pemimpin dengan yang
dipimpin dan akhirnya akan timbul krisis kepercayaan. Berkaca dari hal ini
penulis ingin mencoba mencari solusi agar bisa mendapat sosok pemimpin yang
bisa dijadikan suri tauladan di era globalisasi ini dengan kembali membangkitkan
ajaran niti sastra yang sarat dengan ajaran-ajaran kepemimpinan dalam agama
hindu. Akan tetapi, walaupun niti sastra milik agama Hindu dalam praktiknya
bisa diterapkan oleh semua kalangan, karena niti sastra ini universal hukumnya.
1.2
Rumusan Masalah
1. Apakah
Pengertian Nitisastra?
2.
Bagaimanakah Perkembangan Agama Hindu ?
3.
Bagaimanakah Kepemimpinan Hindu ?
4.
Bagaimanakah Pemimpin di Era Globalisasi?
5.
Bagaimanakah Ajaran Nitisastra di Era Globalisasi?
1.3
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Pengertian
Nitisastra
2. Untuk
mengetahui Perkembangan Agama Hindu
3. Untuk
mengetahui Kepemimpinan Hindu
4. Untuk
mengetahui Pemimpin di Era Globalisasi
5. Untuk
mengetahui Ajaran Nitisastra di Era Globalisasi
1.4 Manfaat Penulisan
Ada
banyak manfaat yang baik dari pembuatan makalah. Jika tidak ada manfaatnya maka
tentu saja Sekolah atau instansi sejenisnya tidak akan menuntutnya. Beberapa
manfaat antara lain :
1. Melatih
kreatifitas mahasiswa dalam menuangkan gagasan pemikirannya (ide-idenya)
tentang suatu kajian atau topik dari ilmu-ilmu yang sudah didalami. Di sini
secara tidak langsung penulis juga dilatih untuk menerapkan kemampuan berpikir
secara logis-sistematis.
2. Makalah
ini, bukan hanya berguna bagi penulis saja tetapi juga sebagai bahan referensi
ilmiah dan sumbangan pengetahuan bagi sekolah, bagi para pembaca tentang apa
yang disumbangkan lewat ide penulis melalui makalah tersebut.
3. Sebagai
tuntutan akademik bagi para akademisi yang ingin berpetualang terus dalam dunia
pengetahuan dan pendidikan. Dengan hasil makalah, penulis dilatih secara khusus
untuk terbiasa menulis atau mengolah sesuatu yang menjadi obyek tulisan.
4. Melatih
berpikir tertib dan teratur karena menulis makalah harus mengikuti tata cara
penulisan yang sudah ditentukan prosedur tertentu, metode dan teknik, aturan /
kaidah standar, disajikan teratur, runtun dan tertib.
5. Menumbuhkan
etos ilmiah di kalangan mahasiswa, sehingga tidak hanya menjadi konsumen ilmu
pengetahuan, tetapi juga mampu menjadi penghasil (produsen) pemikiran dan karya
tulis dalam bidang ilmu pengetahuan.
BAB
II
PEMBAHASAN
Implementasi
Konsep Perkembangan Nitisastra Zaman Hindu Kuno Terhadap Zaman Modern
2.1 Pengertian
Nitisastra.
Kata Niti Sastra memang sudah tidak
asing lagi dikalangan tokoh terpelajar, akan tetapi bagi masyarakat yang awam
masih terasa asing dengan kata ini. Pada masyarakat Hindu di Bali lebih
mengenal dengan istilah Kekawin Niti Sastra. Kekawin Niti Sastra berisikan
tentang ilmu kepemimpinan yang bisa digunakan dan diterapkan kedalam kehidupan
masyarakat dan pendidikan. Banyak tokoh yang mengatakan bahwa Niti Sastra
adalah ajaran tentang ilmu politik, dan tidak sedikit juga berpandangan bahwa
Niti Sastra berarti ilmu kepemimpinan. Berikut pandangan para ahli mengenai
ajaran Niti Sastra:
Anandakusuma
(1986) dalam kamus bahasa Balinya mengatakan bahwa Niti berarti undang-undang
mengatur negeri sedangkan sastra berarti pelajaran agama dan pelajaran dharma.
Menurut
Athur Antoni Macdonell mengatakan bahwa Niti Sastra berasal dari kata Niti dan
Sastra. Niti dalam bahasa sansekertanya berarti kebijaksanaan duniawi atau juga
berarti “etika sosial politik” Niti juga berarti menuntun. Sedangkan sastra
diartikan doa berarti pujaan.
Menurut
Dr. Rajendra Misrhra pengetahuan Niti Sastra adalah ditactic poem atau Upadesa
Kavya yaitu karya sastra yang bersifat mendidik.
Dari sekian banyak pandangan mengenai Niti Sastra dapat
disimpulkan bahwa Niti Sastra berarti ilmu pengetahuan tentang moralitas yang
mengajarkan tentang bagaimana mendidik, membimbing, memimpin, bertingkal laku
serta menjalani kehidupan berdasarkan dharma atau kebenaran.
- Rsi
Canakya
Dari beberapa pendapat para ahli memang meragukan bahwa yang
menyusun Kitab Arthasastra adalah Canakya. Beliau juga mengakui bahwa
penyusunan karyanya berdasarkan atas kitab-kitab serupa pada masa lalu.
Penyusunan kitab Arthasastra memang sangatlah banyak ditemukan dan selalu
bertuliskan tentang Canakya didalamnya. Rupanya ini ada kaitannya tentang
ramalan bahwa Canakya adalah penghancur Raja Nanda yang ada dalam kitab-kitab
Purana yaitu Visnu Purana dan Bhagavata Purana. Dari ramalan tersebut dapat
disimpulkan bahwa memang benar Canakya yang menghancurkan Raja Nanda dan
menempatkan Candragupta sebagai Raja. Canakya juga disebut dengan Wisnugupta
yang berarti seorang menteri negara, ahli politik, tokoh agamawan (Brahmana)
adalah orang yang dianggap sebagai penulis karya yang agung.
2.1.1
Tujuan
Ajaran Niti Sastra
Berbicara
mengenai ruang lingkup tentu saja Niti sastra mencakup ruang lingkup yang
sangat luas. Cakupannya adalah dalam segi Pemerintahan, Kepemimpinan,
Moralitas, Perekonomian, Bhakti dan segala yang berhubungan dengan kegiatan
sehari-hari. Tujuan mepelajari Niti Sastra adalah agar tercapainya tujuan
dharma atau disebut dengan dharma Sidhyartha. Dalam mencapai kebenaran
hendaknya harus mempertimbangkan lima unsur yang disebut dengan Iksa, Sakti,
Desa, Kala dan Tattwa. Dengan tercapainya Dharma Sidhyartha Hindu juga
mempunyai tujuan yaitu mencapai Dharma, Artha, Kama dan Moksa.
2.1.2
Niti
Sastra dalam Diri
Ajaran Niti Sasrta hendaknya
dipahami dan diterapkan dalam diri kita terlebih dahulu sehingga kita mudah
memberikan contoh kepada oranglain sebelum masuk ke masyarakat. Ada tiga
perbuatan dalam diri yang harus disucikan atau yang sering disebut dengan Tri
Kaya Parisudha yaitu Manacika Parisudha (berfikir yang baik), Wacika Parisudha
(berkata yang baik), Kayika Parisudha (berbuat baik).
2.1.3
Niti Sastra Dalam Keluarga
Keluarga
adalah bagian terdekat dalam hidup kita, karena bersama mereka kita habiskan sisa
waktu kita. Baik buruknya keluarga akan berpengaruh dalam diri kita. Kita
sebagai anggota keluarga hendaknya berusaha selalu menciptakan suasana yang
enak dalam keluarga.
- Peran seorang Suami/ayah
Dalam
keluarga hendaknya ayah selalu berperan menjadi kepala keluarga, yang bertugas
melindungi dan membimbing keluarganya. Seorang ayah hendaknya memberikan bekal
kepada putra-putrinya untuk meniti masa depannya. Bekal yang diberikan tidak
hanya berupa materi melainkan pengetahuan. Karena pengetahuan tidak akan pernah
habis, dan dengan pengetahuan juga akan membuat orang di hormati.
2.
Peran
seorang Istri
Seorang
ibu yang baik harus bisa melayani suami serta anak-anaknya dengan tulus iklas.
Suami serta putranya adalah tempat bergantung seorang istri apabila sudah tua
nanti. Baik atau buruknya seorang istri akan berpengaruh kepada suami serta
anak-anaknya, hendaknya seorang istri harus memiliki sifat yang suci dan mulia.
3.
Tugas
seorang Putra
Seorang
putra ataupun putri yang dilahirkan dalam keluarga tentu akan melewati empat
tahapan yang sering disebut Catur Asrama. Pada seorang putra yang belum menikah
dikatakan dalam masa Brahmacari yaitu masa menuntut ilmu. Ketika memasuki masa
Brahmacari hendaknya memusatkan pikiran sepenuhnya pada ilmu pengetahuan agar
ilmu yang didapat sempurna hasilnya.
2.1.4
Niti
Sastra dalam Masyarakat
Penerapan
ajaran Niti sastra dimasyarakat sudah ada sejak zaman dahulu meski belum
diketahui sesungguhnya itu merupakan ajaran Niti Sastra. Karena pada masyarakat
terdiri dari banyak keluarga dan memiliki pola pikir yang berbeda maka agak
susah untuk menerapkan ajaran sastra kecuali mereka yang mengerti tentang makna
sastra. Pada kehidupan dimasyarakat terdapat banyak sekali orang yang memiliki
sifat-sifat yang berbeda, ada yang bersifat baik, ada juga yang bersifat kurang
baik. Dengan pengetahuan seseorang mampu memilah mana yang baik dan mana yang
kurang baik. Jadi hendaknya pengetahuan harus selalu dipraktekkan untuk
membantu sesama.
·
Memilih
Sahabat
Sahabat
yang sejati adalah sahabat yang selalu datang dan menyelamatkan seseorang
dkalam keadaan apapun. Tujuan memiliki sahabat adalah untuk berbagi antar suka
dan duka. Dalam memilih sahabat juga harus mempertimbangkan banyak hal, jangan
sampai memiliki sahabat yang hanya memanfaatkan kita saja.
·
Kewaspadaan
Kewaspadaan
menuntun seseorang untuk selalu berkata, bersikap, dan melakukan seseuatu
dengan hati-hati. Dengan kewaspadaan seseorang bisa mencapai atau meraih suatu
keberhasilan. Sikap yang selalu waspada pada diri seseorang itu sangat
diperlukan kapanpun dan dimanapun.
·
Kebahagiaaan
Semua
makhluk yang masih mempunyai pemikiran pasti menginginkan kebahagiaan.
Beranekaragam hal yang bisa membuat orang menjadi bahagia. Kebahagiaan itu akan
hilang apabila orang tersebut selalu melihat hal yang lebih dengan ego dan
tanpa mensyukuri apa yang dimiliki.
2.2 Perkembangan
agama hindu
Awal agama Hindu muncul diperkirakan
pada tahun 3000-1300 sebelum masehi. Agama Hindu merupakan agama yang berasal
dari anak benua India, yang merupakan kelanjutan dari agama Weda (Brahmaisme)
yang merupakan kepercayaan ras Indo-Iran (Arya). Akulturasi budaya adalah salah
satu cara didalam penyebaran agama Hindu, budaya-budayaa setempat diberikan
berkembang dan tumbuh, diberikan legalisasi sebagai bentuk perpaduan yang utuh
antara unsur agama dan budaya.
Ketika kitab suci Weda diturunkan,
manusia belum bisa membaca dan menulis, sehingga wahyu yang diterima cukup
didengarkan saja dan diajarkan secara turun temurun. Setelah jaman sejarah,
barulah wahyu itu ditulis kedalam bentuk kitab suci Weda, yang terdiri dari 4
bagian yang dikenal dengan Catur Weda. Pengetahuan suci yang diterima oleh para
Rsi tersebut tidak hanya satu orang, melainkan banyak orang yang digolongkan
kedalam kelompok Catur Weda. Penulisan kitab suci Weda pertama kali dilakukan
oleh Bhagawan Wyasa yang dibantu 4 orang muridnya.
Berdasarkan data arkeologis, Agama
Hindu merupakan agama yang tertua dan pertama didunia. Didalam perkembangannya,
agama Hindu mengalami pasang surut, yang disebabkan oleh perkembangan peradaban
manusia yang mengalami perubahan. Jika dicermati, agama Hindu tidak lepas
dengan yang namanya budaya, kepercayaan, dan peradaban manusia. Terlebih-lebih
hubungannya terhadap penguasa dan agama yang dijadikan symbol, makanya ada
istilah Dharma Agama dan Dharma Negara.
Agama Hindu pernah berkembang di
Negara Mesir, Arab Saudi, Australia, Jerman, Eropa, Indonesia, dan lain
sebagainya. Didalam perkembangannya juga memanfaatkan perilaku budaya setempat,
yang mempunyai karakternya yang berbeda-beda dan hal itu dikarenakan tiap
negara mempunyai struktur budaya yang berbeda.
Didalam bidang kepercayaan juga sama.
Nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengenal kepercayaan. Setelah itu, barulah
agama Hindu masuk dan diterima dengan mudah. Ini disebabkan oleh kesamaan unsur-unsur
kepercayaan. Keberadaan agama Hindu juga membuat semakin suburnya kepercayaan
dan kebudayaan yang telah berkembang dan melahirkan kebudayaan baru.
1. Hindu Kuno
Di mulai
dengan adanya :
·
Agama Hindu di India pada zaman Veda
Zaman
ini dimukai dengan kedatangan bangsa Arya 2500 SM ke India melalui lembah
Sungai Sindhu. Pada zaman ini, mulainya penulisan Wahyu suci yitu Reg Veda.
Kehidupan beragama pada zaman ini didasarka atas ajaran-ajaran yang tercantum
pada Veda Samhita, yang lebih menekankan pada pembacaan perafalan ayat-ayat
Veda secara oral, yaitu dengan menyanyikan dan mendengarkan secara berkelompok.
Selain
itu, pada zaman ini orang-orang percaya dengan adanya dewa sebagai manifestasi
Ida Sang Hyang Widhi, adapun dewa-dewa yang dimaksud yaitu, Dewa Agni, Indra,
Rudra, dan Waruna.
·
Agama Hindu di India pada zaman Brahmana
Zaman
ini adalah awal munculnya kitab Brahmana yang merupakan bagian dari Veda Sruti
yang disebut Karma Kanda. Kitab ini memuat himpunan doa-doa serta penjelasan
upacara korban dan kewajiban keagamaan. Oleh karena itu keberadaan umat Hindu
pada zaman Brahmana ini didominasi oleh pelaksanaan upacara keagamaan dalam
bentuk upacara korban.
·
Agama Hindu di India pada zaman Upanisad
Zaman
Upanisad ini merupakan reaksi terhadap yang terjadi pada zaman Brahmana. Diman
sejalan dengan berjalannya waktu, Agama Hindu terus berkembang yang meskipun
umat terpecah mengikuti aliran yang berbeda, yang secara keseluruhan disebut
aliran Nawa Darsana, yaitu enam aliran tergabung dalam kelompok Astika (yang
masih meneima keberadaan Veda) dan tiga aliran tergabung dalam kelompok Nastika
(yang menolak keberadaan Veda). Aliran Nastika inilah secara otomatis keluar
dari agama Hindu, sedangkan kelompok Astika tetap mengikuti Agama Hindu dan
kembali kepada Veda sebagai sumber segalanya bagi umat Hindu secara
keseluruhan. Pada zaman ini, lahirlah kitab Upanisad yang merupaka bagian dari
Jnana Kanda dan kitab Veda Sruti yang isinya bersifat ilmiah, spekulatif,
tetapi tetap dalam ruang lingkup keagamaan.
·
Agama Hindu di India pada zaman Purana
Zaman
Purana menandai terjadinya evolusi Hindu di India, yaitu munculnya berbagai
macam mazhab atau sekte. Meskipun demikan, agama Purana mewarisi konsep-konsep
kegamaan dari zaman Brahmana. Keduanya sama-sama menekankan praktik agama yang
penuh dengan upacara. Agama Brahmana dan agama Purana mementingkan upacara
yajna sebagai jalan untuk mencapai moksa. Hal ini diuraikan teliti dan mendalam
dalam kitab Mimamsasutra. Ajaran yang mengajrkan pentingnya kedudukan yajna
dalam Agama Hindu ini dikembangkan dan diajarkan oleh rsi pada zaman ini.
Sekte-sekte Agama Hindu
di India
1.
Pemujaan kepada Dewa Wisnu.
2.
Pemujaan kepada Dewa Siwa.
3.
Pemujaan kepada Sakti para dewa.
4.
Pemujaan kepada Brahmana.
Pada
abad 6 SM terjadi proses pembaharuan dalam bidang keagamaan yang terus
berkembang dan berkelanjutan. Hal ini terjadi karena mereka ingin bebas dari
dominasi para brahmana dalam melakukan aktivitas keagamaan. Akibatnya muncul
dua ajaran yaitu jainisme dan budhisme. Kedua ajaran ini pada dasarnya tidak
menolak keberadaan dewa-dewa karena itu banyak orang yang mudah masuk kedalam
ajaran ini karena tanpa harus meninggalkan kepercayaan pada dewa-dewa, akan
tetapi dalam ajaran budhisme dapat dikatakan anti kasta yang ada dalam
masyarakat Hindu. tentu saja hal ini disambut baik oleh kaum yang merasa di
diskriminasi oleh kasta tersebut, akibatnya muncullah agama baru di India
2. Hindu Modern.
Seperti
yang di lihat pada zaman sekarang, Agama Hindu sudah berkembang sesuai dengan
zaman. Mulai dengan sarana prasarana dalam pembuatan upakara, dekorasi,
keyakinan,pemikiran yang tentu tidak meningglkan dari jalannya Dharma.
Pada
mulanya Hindu tidak memiliki pusat agama, tapi sekarang Hindu sudah mempunyai
pusat Agama yang di namakan PHDI Parisada Hindu Dharma Indonesia, di mana
terdapat banyak informasi tentang Hindu. Pada zaman sekarang Hindu sudah banyak
mendirikan organisasi-organisasi yang berkaitan dengan Hindu, ada Juga yang
mendirikan Asram-asram di mana untuk memperluas wawasan dan cakrawala tentang
Hindu itu sendiri
3
Perbandingan Hindu kuno dengan Hindu
Modern
Yang
lebih menonjol pada hal ini adalah keyakinan/ kepercayaan dan sistem kehidupan
Hindu Kuno dengan Hindu Modern.
Di
mana pada Hindu kuno banyak sekali terdapat Sekte-sekte dan kepercayaan yang
mereka percayai, misalnya pada waktu hindu kuno, mereka menyembah pada hal apa
yang mereka takuti, yang memeberikan mereka penghidupan itu yang mereka sembah,
contohnya misalnya kalau mereka pada saat itu mengalami kekeringan mereka pada
saat itu pasti menyembah dewa hujan, dan pada kalau ada pohon besar di hutan
yang pada saat itu di percayai mengeluarkan hal-hal gaib, itu yang akan mereka
sembah. Dalam hal ini penyembaahan terhadap Tuhan pada saat itu belum mereka
ketahui secara benar.
Dan
Sistem Kehidupan yang terdapat di Hindu kuno pada saat itu masih belum tertata,
waktu itu belum adanya sistem kepemimpinan yang benar.
Dan
Di Hindu Modern, dalam sistem kepercayaanya itu sudah tidak terdapat
sekte-sekte seperti dulu,dan pengetahuan tentang keagamaan sudah semakin luas
dan baik, dimana mereka mendapatkan dari suatu buku-buku dan jejaring-jejaring
yang terdapat dengan pemahaman tentang Hindu tersebut .tetapi ada juga ajaran
yang di percayai, contohnya, mengikuti sai baba, alairan krisna dan
lain-lain,tetapi itu tidak jadi permasalahan karena sesuai dengan kepercayaan
penganutnya.
Dan
Sistem kehidupan yang terdapat di Hindu Modern sudah tertata, mengingat sudah
ada banyak cara untuk melakukan sistem kepemimpinan. Banyaknya terdapat
pandangan tentang hindu yang memeberikan suatu ajaran yang sangat penting
sehingga mudah untuk memahami karena penyampaian dan ajarannnya di permudah.
2.3 Kepemimpinan Hindu
2.3.1 Pengertian Pemimpin
Pemimpin
berarti oarang yang memimpin atau menuntun, juga memiliki padanan kata dalam
bahasa Ingris yaitu leader. Sedangkan Kepemimpinan adalah suatu kemampuan dalam
membimbing atau menuntun yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Sifat sebagai
seorang pemimpin sudah ada semenjak kita dilahirkan. Menurut Dr. Kartini
Kartono (dalam Sudhardana, 2008;33) dikatakn bahwa ada tiga teori yang menonjol
yang menjelaskan seorang pe.mimpin, yakni: Teori genetis, teori sosial, dan
teori ekologis.
- Peranan Seorang Pemimpin
Dalam
Niti Sastra diajarkan bagimana bersikap menjadi seorang pemimpin dan bagaimana
bertindak sebagai seorang pemimpin. Pemimpin memiliki wewenang untuk
mensejahterakan orang yang dipimpinnya. Pemimpin yang baik tidak pernah
memikirkan drinya sendiri, akan tetapi lebih mementingkan kepentingan umum
dibandingkan kepentingan pribadi. Dalam memimpin hendaknya dilakukan dengan
sepenuh hati, dan jangan memimpin hanya untuk mencari keuntungan saja. Menjadi
pemimpin harus siap menanggung resiko apapun demi menjalankan tugas negaranya.
2.
Syarat-syarat
Pemimpin
Setiap
orang bisa untuk menjadi seorang pemimpin, akan tetapi tidak semua orang bisa
memimpin dengan baik. Dalam kitab Arthasastra dikatakan bahwa seorang pemimpin
hendaknya memiliki sifat Uthana (giat) dan jangan memiliki sifat Pramada (lengah).
Dalam sastra Hindu dikatakan seorang Pemimpin harus memiliki sifat-sifat
sebagai berikut: Catur Pariksa, Panca Stiti Dharmaning Prabhu, Sad Warnaning
Rajaniti, Catur Kotamaning Nrpati, Tri Upaya Sandhi, Panca Upaya Sandhi, Asta
Brata, Nawa Natya, Panca Dasa Pramiteng Prabhu, Sad Upaya Guna, Panca Satya.
3.
Catur Warna
Pandangan
Catur Varna di masyarakat masih belum sepenuhnya dipahami. Titik lemah
menghitami agama Hindu adalah penyimpangan pengertian Varna yang sebenarnya
menurut kitab suci Veda, menjadi kasta yang berarti keturunan. Sesungguhnya
kedudukan kasta dengan Varna adalah berbeda. Istilah Kasta dibuat oleh bangsa
Portugis ketika menjajah Bali. Mereka membuat Kasta untuk memecah belah
masyarakat yang ada di Bali. Sedangkan Varna memang diatur dalam kitab suci
agama Hindu. Dalam kitab suci agama Hindu dikenal dalam istilah Catur Varna,
kata Varna berarti sifat dan bakat kelahiran dalam mengabdi kepada masyarakat
berdasarkan kecintaan yang menimbulkan kegairahan kerja (Sudharta dan Atmaja,
2001:49). Jadi Varna memiliki arti empat golongan kerja berdasarkan profesinya
di Masyarakat. Adapun keempat golongan tersebut adalah: Brahmana, Ksatriya,
Waisya, dan Sudra. Keempat golongan Varna adalah memiliki kedudukan yang sama
di mata Tuhan, karena semua itu adalah ciptaan-Nya.
- Brahmana
Brahmana
ialah golongan karya yang setiap orangnya memiliki ilmu pengetahuan suci dan
mempunyai bakat kelahiran untuk mensejahterakan masyarakat, Negara dan umat
manusia dengan jalan mengamalkan ilmu pengetahuannya dan dapat memimpin upacara
keagamaan. Beliau yang bisa desebut sebagai Brahmana tidak hanya yang memiliki
profesi sebagai Pandita, melainkan sastrawan yang memiliki keahlian Veda juga
bisa disebut Brahmana.
- Ksatriya
Ksatrya
adalah golongan karya yang setiap orangnya yang memiliki kewibawaan cinta tanah
air serta bakat kelahiran untuk memimpin dan mempertahankan kesejahteraan
masyarakat, Negara dan umat manusia berdasarkan dharmanya. Golongan Brahmana
dan golongan Ksatruya sama-sama sebagai seorang pemimpin, akan tetapi yang
membedakannya adalah Brahmana memimpin upacara Yadnya dan Ksatriya memimpin
Rakyatnya.
- Vaisya
Vaisya
ialah golongan karya yang setiap orangnya memiliki watak-watak tekun, trampil,
hemat, cermat, dan keahlian serta bakat kelahiran untuk menyelenggarakan
kemakmuran masyarakatn kenegaraan dan kemanusiaan. Mereka yang bisa disebut
vaisya adalah seperti pedagang, peternak dan pengusaha.
- Sudra
Sudra
ialah golongan karya yang setiap orangnya memiliki kekuatan jasmaniah, ketaatan
serta kelahiran untuk sebagai pelaku utama dalam tugas-tugas memakmurkan
masyarakat Negara dan umat manusia atas petunjuk-petujuk golongan karya
lainnya. Mereka yang termasuk golongan Sudra adalah: petani, buruh, pelayan dan
pekerja lainnya.
4.
Bhakti Dalam Niti Sastra
Agama
Hindu memiliki keyakinan kepada Tuhan Yang maha Esa. Selain kepada Tuhan, ada
empat keyakinan lagi yang sering disebut Panca Sradha. Panca Sradha berarti
lima keyakinan atau kepercayaan. Kelimka kepercayaan itu antara lain:
- Percaya dengan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).
- Percaya dengan Atma
- Percaya dengan hukum Karma
Phala
- Percaya dengan Punarbawa
(reingkarnasi)
- Percaya dengan Moksa
(pelepasan)
Lima
keyakinan atau Sradha diatas sebagai dasar umat Hindu melaksanakan Bhakti.
Bhakti merupakan wujud cinta kasih serta penyerahan diri sepenuhnya kepada Ida
Sang Hyang Widhi. Penyerahan diri dilakukan berdasarkan pemahaman serta
keyakinan bahwa sesungguhnya apa yang ada dalam diri manusia adalah diciptakan
oleh Beliau. Dalam pelaksanaa Bhakti kepada Tuhan, dilakukan dengan tiga cara
yang disebut dengan Tri Kerangka Dasar Agama Hindu. Ketiga kerangka dasar
tersebut antara lain: Tattwa/Filsafat, Etika/Susila, dan Ritual/Upacara.Ketiga
ke4rangka dasar tersubutmerupakan wujud jalan Bhakti kepada Ida Sang Hyang
Widhi Wasa. Seberapa besarpun penerapannya tanpa didasari rasa Bhakti tidak
akan ada gunanya. Bhakti adalah sebagai dasar dari segala persembahan yang
dilakukan karena Bhakti merupakan ketulus iklasan yang bersal dari lubuk hati
yang paling dalam.
5.
Wanita Dalam Niti Sastra
- Kedudukan Wanita dan Sastra Hindu
Dalam
sastra Hindu wanita memiliki kedudukan yang sangat uatama dalam kehidupan.
Wanita dikatakan sebagai sumber kehidupan, kedamaian, serta kebahagiaan.
Seperti diuraikan dalam kitab Manawa Dharmasastra III.56 diuraikan pandangan
terhadap hakikat wanita yaitu:
Yatra naryastu pujyante
Ramante tartra dewatah
Yatraitastu na pujyante
Sarvastalah kriyah
Terjemahan:
Diman
wanita dihormati disanalah para Dewa senang dan melimpahkan anugrahnya. Dimana
wanita tidak dihormati tidak ada upacar suci apapun yang memberikan pahala
mulia (sudharta, 2009;105).
Wanita
memiliki peranan yang sangat mulia karena telah berjuang sampai mempertaruhkan
nyawa hanya untuk melahirkan seorang putra. Kakekat wanita lebih istimewa
dibandingkan laki-laki, karena wanita memiliki peran yang multifungsi yaitu
bisa menjadi seorang ibu yang bisa melahirkan dan bisa menjadi seorang ayah
yang membesarkan dan menjaga putranya. Disamping sosok wanita yang agung dan
mulia, ridah sedikit yang mengatakan wanita adalah sumber kesengsaraan bagi
manusia. Dalam saastra diuraikan bahwa ada tiga hal penyebab kehancuran bagi
seseorang yaitu Harta, Tahta dan Wanita. Wanita dikatakan sebagai sumber
kehancuran bagi laki-laki karena dengan kecantikannya wanita akan memikat
laki-laki dan tidak sedikit laki-laki yang rela melakukan apa saja demi wanita.
- Swadharma Wanita
Wanita dan
laki-laki dalam hindu memiliki tugas yang berbeda, baik dalam masa Brahmacari
maupun sudah memasuki Grahasta. Selain tugas serta wewenang, wanita dan
laki-laki juga memiliki sifat yang berbeda. Wanita sangat diperhatikan sebagai
penerus keturunan dan sekaligus sarana terwujudnya Punarbawa atau reinkarnasi,
sebagai salah satu srdha (kepercayaan/keyakinan Hindu.
- Wanita pada masa Brahmacari
Masa
Brahmacari adalah masa belajar, bisa juga dikatakan masa menuntut ilmu
pengetahuan. Pada masa Brahmacari hendaknya seseorang bisa mengendalikan
indriya-indriyanya. Wanita ketika memasuki masa-masa Brahmacari sama halnya
dengan memasuki masa-masa yang rentan karena apabila benar melangkah ia akan
menjadi emas dan apabila salah melangkah ia akan menjadi sampah. Mengingat
demikian penting dan sucinya kedudukan wanita dalam rumah tangga, maka para
orang tua memberikan perhatian khusus dibidang pendidikan dan pengajaran kepada
anak wanita sejak kecil.
- Wanita dalam masa Grahasta
Perikahan
atau wiwaha dalam ajaran Hindu adalah Yajna dan perbuatan dharma. Wiwaha
merupakan momentum awal dari Grahasta Ashram yaitu tahap kehidupan berumah
tangga. Ketika sudah memasuki masa-masa Grahasta seorang wanita bisa disebut
dengan istilah istri, dan apabila sudah memiliki putra bisa disebut dengan
seorang ibu. Ketika sudah memasuki masa Grahasta tugas seorang wanita pun
berbeda dengan masa brahmacari. Tugas seorang wanita ketika menjadi istri
adalah melayani suami dan anak-anaknya.
- Memperlakukan dan Menjaga Wanita
Wanita
adalah makhluk yang kuat tetapi bisa menjadi sangat lemah baik dilihat secara
fisik maupun psikis. Kelemahan pada wanita memberikan ciri bahwa ia memiliki
sifat atau naluri yang lembut. Akan tetapi kelemahan dan kelembutannya bisa
mengakibatkan kebahagiaan ddan juga kesengsaraan. Maka dari itu hendahnya
seorang wanita harus dilindungi agar terciptanya keharmonisan dalam keluarga.
Orang yang bertugas melindungi wanita yang tertera dalam Manawa Dharmasastra,
IX. 3,6 dan 9: Ayah, Suami, dan Anak Lai-laki.
6.
Pengetahuan Dalam Niti Sastra
Artha
yang paling abadi dan tak mungkin bisa dicuri oleh orang lain adalah pengetahuan.
Dibandingkan dengan orang yang memiliki banyak harta benda, orang yang memiliki
pengetahuan lebih dihormati dan dikenang. Orang yang memiliki ilmu pengetahuan
akan selalu siap ditempatkan dimana saja, dan dengan mudah akan menyesuaikan
diri dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan. Walaupun
seseorang dikatakan kurang memiliki pengetahuan bukan berarti ia adalah orang
bodoh seorang bisa mencari ilmu pengetahuan dengan cara belajar yang lebih
tekun dan serius. Hambatan bagi seseorang yang ingin mendapatkan pengetahuan
sesungguhnya adalah dirinya sendiri yaitu rasa malas. Selain karena faktor
kemalasan diri sendiri dan faktor kelahiran juga dikarenakan faktor-faktor yang
lainnya. Dalam Kekawin Niti sastra Sargah XIV, sloka 3 dan 4 dikatakan ada enam
hambatan atau musuh seseorang dalam memperoleh ilmu pengetahuan yaitu:
- Kelalaian
- Kebiasaan melakukan hal-hal
yang buruk atau dusta
- Penyakit atau kelemahan badan
atau fisik
- Pada orang yang masih muda
yaitu gila asmara dan berzinah
- Kemiskinan terus menerus
- Berjudi
Keenam
musuh diatas sangatlah menjadi penghalang bagi seseorang yang ingin mendapatkan
ilmu pengetahuan. Karena keenam musuh tersebut bisa mencuri pikiran seseorang,
dan ilmu pengetahuan bisa didapat dengan pikiran yang suci dan jernih.
7.
Berbohong
yang Dibenarkan
Setiap
orang yang hidup di dunia ini pasti pernah melakukan kebohongan, yang
membedakannya adalah besar dan kecilnya tingkat kebohongan tersebut. Walaupun
kebohongan dikatakan sebagai perbuatan yang kurang baik, akan tetapi terkadang
kita juga harus berbohong demi kebaikan. Selama kebohongan yang dilakukian
untuk suatu kebaikan itu bisa dibenarkan. Dengan demikian kebohongan yang bisa
dibenarkan dlam kehidupan sehari-hari yaitu:
- Berbohong kepada orang sakit
- Berbohong kepada anak kecil
- Berbohong kepada musuh yang
mengancam
- Berbohong kepada orang jahat
- Berbohong demi menyelamatkan
nyawa seseorang
- Berbohong pada saat bercumbu
rayu
- Berbohong pada saat bercanda
- Berbohong disaat bergadang
Dosa
dari kebohongan yang dilakukan tidak sepenuhnya diterima asalkan didasari
dengan keinginan untuk kebaikan.
8.
Nilai Dharma
Pandangan
dari para tokoh agama maupun masyarakat mengatakan bahwa Dharma adalah suatu
yang bersifat baik atau kebenaran. Baik tingkah laku, perkataan serta pikiran
harus berlandaskan atas kebenaran. Setiap orang terlahir di dunia ini
diwajibkan untuk berbuat Dharma. Karena Dharma merupakan jalan untuk mencapai
kebahagiaan. Hidup adalah untuk berbuat Dharma, karena dharma adalah
satu-satunya bekal ketika kita meninggal nanti. Apabila dharma yang kita
lakukan selama di dunia maka surga lah tempat kita, begitu juga sebaliknya
apabila Adharma yang lebih dominan maka neraka lah rumah kita nanti. Ketika
berbicara Dharma atau kebenaran itu bersifat relatif. Benar menurut kita sendiri
dan belum tentu benar menurut orang lain. Pada dasarnya Dharma atau kebenaran
memiliki lima dasar yang dijadikan acuan. Kelima dasar tersebut adalah:
- Sruti
- Smerti
- Sila
- Sadacara/acara
- Atmanastuti
Melaksanakan
Dharma harus berdasarkan dari ketulusan hati yang paling dalam. Walaupun itu
kecil akan tetapi dilaksanakan dengan keinginan yang tulus makan akan menjadi
besarlah dharma itu, begitu juga sebaliknya walau sebesar apapun perbuatan
apabila tidak dilandasi ketulusan maka tidak akan ada artinya. Mati dalam
melakukan kewajiban kita adalah suatru hal yang agung dan sebaliknya Dharma
yang seharusnya menjadi hak orang lain malahan akan menimbulakan bahaya
spiritual bagi kita, seandainya kita memaksakannya juga. Jadi seorang yang
bersifat Brahmana tidak perlu melakukan pekerjaan seorang waishya, dan begitu
pula sebaliknya. Tidak ada masalah bagi Yang Maha Esa mengenai tinggi –
rendahnya nilai suatu pekerjaan atau kewajiban, semuanya bagi Yang Maha Esa
sama saja sifatnya.Tetapi mengerjakan kewajiban kita masing-masing secara baik
dan penuh dedikasi nilanya lebih baik untuk kepuasan bantin kita sendiri, dan
secara spiritual berkatNya ditentukan olehNya sesuai dengan kehendakNya juga.
2.3.2 Konsep-konsep Kepemimpinan Hindu
Dalam
konsep kepemimpinan Barat yang lebih banyak dijadikan dasar adalah sikap dan
tingkah laku dari para pemimpin-pemimpin besar di dunia. Oleh kerena itu mereka
banyak mengemukakan jenis-jenis kepemimpinan yang sesuai dengan tokoh
personalnya, seperti : kepemimpinan Karismatik, kepemimpinan Paternalistik,
kepemimpinan Maternalistik, kepemimpinan Militeristik, kepemimpinan Otokrasi,
kepemimpinan Lassez Faire, kepemimpinan Populistik, kepemimpinan Eksekutif,
kepemimpinan Demokratik, kepemimpinan Personal, kepemimpinan Sosial dan masih
banyak lagi lainnya.
Lain
halnya dengan konsep kepemimpinan Hindu. Selain dasar tersebut, yang terutama
sekali kepemimpinan Hindu bersumber dari kitab suci Weda dan diajarkan oleh
para orang-orang suci. Kepemimpinan Hindu juga banyak mengacu pada tatanan alam
semesta yang merupakan ciptaan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Adapun
konsep-konsep Kepemimpinan Hindu yang banyak diajarkan dalam sastra dan
susastra-nya antara lain : Sad Warnaning Rajaniti, Catur Kotamaning Nrpati,
Tri Upaya Sandi, Pañca Upaya Sandi, Asta Brata, Nawa Natya, Pañca
Dasa Paramiteng Prabhu, Sad Upaya Guna, Pañca Satya dan
lain-lain. Berikut ini rincian dari konsep-konsep kepemimpinan Hindu.
·
Sad Warnaning Rajaniti
Sad
Warnaning Rajaniti atau
Sad Sasana adalah enam sifat utama dan kemampuan yang harus dimiliki
oleh seorang raja. Konsep ini ditulis Candra Prkash Bhambari dalam buku “Substance
of Hindu Politiy”. Adapun bagian-bagian Sad Warnaning Rajaniti ini
adalah :
- Abhigamika, artinya seorang raja atau pemimpin
harus mampu menarik perhatian positif dari rakyatnya.
- Prajña, artinya seorang raja atau
pemimpin harus bijaksana.
- Utsaha, artinya seorang raja atau
pemimpin harus memiliki daya kreatif yang tinggi.
- Atma Sampad, artinya seorang raja atau
pemimpin harus bermoral yang luhur.
- Sakya samanta, artinya seorang raja atau
pemimpin harus mampu mengontrol bawahannya dan sekaligus memperbaiki
hal-hal yang dianggap kurang baik.
- Aksudra Parisatka, artinya seorang raja atau
pemimpin harus mampu memimpin sidang para menterinya dan dapat menarik
kesimpulan yang bijaksana sehingga diterima oleh semua pihak yang
mempunyai pandangan yang berbeda-beda.
·
Catur Kotamaning Nrpati
Catur
Kotamaning Nrpati
merupakan konsep kepemimpinan Hindu pada jaman Majapahit sebagaimana ditulis
oleh M. Yamin dalam buku “Tata Negara Majapahit”. Catur Kotamaning
Nrpati adalah empat syarat utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.
Adapun keempat syarat utama tersebut adalah :
- Jñana Wisesa Suddha, artinya raja atau pemimpin
harus memiliki pengetahuan yang luhur dan suci. Dalam hal ini ia harus
memahami kitab suci atau ajaran agama (agama agëming aji).
- Kaprahitaning Praja, artinya raja atau pemimpin
harus menunjukkan belas kasihnya kepada rakyatnya. Raja yang mencintai
rakyatnya akan dicintai pula oleh rakyatnya. Hal ini sebagaimana
perumpamaan singa (raja hutan) dan hutan dalam Kakawin Niti Sastra I.10
berikut ini :
Singa
adalah penjaga hutan, akan tetapi juga selalu dijaga oleh hutan. Jika singa
dengan hutan berselisih, mereka marah, lalu singa itu meninggalkan hutan.
Hutannya dirusak binasakan orang, pohon-pohonnya ditebangi sampai menjadi
terang, singa yang lari bersembunyi dalam curah, di tengah-tengah ladang,
diserbu dan dibinasanakan.
- Kawiryan, artinya seorang raja atau
pemimpin harus berwatak pemberani dalam menegakkan kebenaran dan keadilan
berdasarkan pengetahuan suci yang dimilikinya sebagainya disebutkan pada
syarat sebelumnya.
- Wibawa, artinya seorang raja atau
pemimpin harus berwibawa terhadap bawahan dan rakyatnya. Raja yang berwibawa
akan disegani oleh rakyat dan bawahannya.
·
Tri Upaya Sandhi
Di
dalam Lontar Raja Pati Gundala disebutkan bahwa seorang raja harus memiliki
tiga upaya agar dapat menghubungkan diri dengan rakyatnya. Adapun
bagian-bagian Tri Upaya Sandi adalah :
- Rupa, artinya seorang raja atau
pemimpin harus mengamati wajah dari para rakyatnya. Dengan begitu ia akan
tahu apakah rakyatnya sedang dalam kesusahan atau tidak.
- Wangsa, artinya seorang raja atau
pemimpin harus mengetahui susunan masyarakat (stratifikasi sosial) agar
dapat menentukan pendekatan apa yang harus digunakan.
- Guna, artinya seorang raja atau
pemimpin harus mengetahui tingkat peradaban atau kepandaian dari rakyatnya
sehingga ia bisa mengetahui apa yang diperlukan oleh rakyatnya.
·
Pañca Upaya Sandhi
Dalam
Lontar Siwa Buddha Gama Tattwa disebutkan ada lima tahapan upaya yang harus
dilakukan oleh seorang raja dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang
menjadi tanggung jawab raja. Adapun bagian-bagian dari Pañca Upaya Sandi
ini adalah :
- Maya, artinya seorang pemimpin
perlu melakukan upaya dalam mengumpulkan data atau permasalahan yang masih
belum jelas duduk perkaranya (maya).
- Upeksa, artinya seorang pemimpin
harus meneliti dan menganalisis semua data-data tersebut dan
mengkodifikasikan secara profesional dan proporsional.
- Indra Jala, artinya seorang pemimpin
harus bisa mencarikan jalan keluar dalam memecahkan persoalan yang
dihadapi sesuai dengan hasil analisisnya tadi.
- Wikrama, artinya seorang pemimpin
harus melaksanakan semua upaya penyelesaian dengan baik sesuai dengan
aturan yang telah ditetapkan.
- Logika, artinya seorang pemimpin
harus mengedepankan pertimbangan-pertimbangan logis dalam menindak lanjuti
penyelesaian permasalahan yang telah ditetapkan.
·
Asta Brata
Asta
Brata adalah ajaran kepemimpinan yang diberikan oleh Sri Rama kepada Gunawan
Wibhisana sebelum ia memegang tampuk kepemimpinan Alengka Pura pasca kemenangan
Sri Rama melawan keangkaramurkaan Rawana. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam
Pustaka Suci Manu Smrti IX.303 berikut ini
Hendaknya
raja berbuat seperti perilaku yang sama dengan dewa-dewa, Indra, Surya, Wayu,
Yama, Waruna, Candra, Agni dan Prthiwi (Pudja dan Sudharta,2002:607).
Hal
itu kemudian ditegaskan dalam Kakawin Ramayana XXIV.52 sebagai berikut:
Sang
Hyang Indra, Yama, Surya, Candra dan Bayu, Sang Hyang Kwera, Baruna dan Agni
itu semuanya delapan. Semua beliau itu menjadi pribadi sang raja. Oleh karena
itulah beliau harus memuja Asta Brata (Tim Penyusun,2004:98).
Ada
perbedaan sedikit antara konsep Asta Brata dalam Pustaka Suci Manu Smrti dan
Kakawin Ramayana. Pada Pustaka Suci Manu Smrti disebutkan Prthiwi Brata
sementara itu pada Kakawin Ramayana disebutkan Kwera Brata. Semua raja harus
memuja Asta Brata ini. Karena Asta Brata ini merupakan delapan landasan sikap
mental bagi seorang pemimpin. Adapun delapan bagian Asta Brata tersebut adalah
:
- Indra Brata, kepemimpinan bagaikan Dewa
Indra atau Dewa Hujan; Di mana hujan itu berasal dari air laut yang
menguap. Dengan demikian seorang pemimpin berasal dari rakyat harus
kembali mengabdi untuk rakyat.
- Yama Brata, kepemimpinan yang bisa
menegakkan keadilan tanpa pandang bulu bagaikan Sang Hyang Yamadipati yang
mengadili Sang Suratma.
- Surya Brata, kepemimpinan yang mampu
memberikan penerangan kepada warganya bagaikan Sang Surya yang menyinari
dunia.
- Candra Brata, mengandung maksud
pemimpin hendaknya mempunyai tingkah laku yang lemah lembut atau
menyejukkan bagaikan Sang Candra yang bersinar di malam hari.
- Bayu Brata, mengandung maksud
pemimpin harus mengetahui pikiran atau kehendak (bayu) rakyat dan
memberikan angin segar untuk para kawula alit atau wong cilik
sebagimana sifat Sang Bayu yang berhembus dari daerah yang bertekanan
tinggi ke rendah.
- Baruna Brata, mengandung maksud
pemimpin harus dapat menanggulangi kejahatan atau peyakit masyarakat yang
timbul sebagaimana Sang Hyang Baruna membersihkan segala bentuk kotoran di
laut.
- Agni Brata, mengandung maksud pemimpin
harus bisa mengatasi musuh yang datang dan membakarnya sampai habis
bagaikan Sang Hyang Agni.
- Kwera atau Prthiwi Brata,
mengandung maksud seorang pemimpin harus selalu memikirkan kesejahteraan
rakyatnya sebagaimana bumi memberikan kesejahteraan bagi umat manusia dan
bisa menghemat dana sehemat-hematnya seperti Sang Hyang Kwera dalam menata
kesejahteraan di kahyangan.
·
Nawa Natya
Dalam
Lontar Jawa Kuno yang berjudul “Nawa Natya” dijelaskan bahwa seorang
raja dalam memilih pembantu-pembantunya (menterinya). Ada sembilan kriteria
yang harus diperhatikan oleh seorang raja dalam memilih para pembantunya.
Sembilan kriteria inilah yang dikenal sebagai Nawa Natya. Adapun
kesembilan kriteria itu adalah:
1.
Prajña Nidagda
(bijaksana dan teguh pendiriannya).
2.
Wira Sarwa Yudha
(pemberani dan pantang menyerah dalam setiap medan perang).
3. Paramartha
(bersifat mulia dan luhur)
4. Dhirotsaha
(tekun dan ulet dalam setiap
pekerjaan)
5. Wragi
Wakya (pandai
berbicara atau berdiplomasi)
6. Samaupaya
(selalu setia pada janji)
7. Lagawangartha
(tidak pamrih pada harta benda)
8. Wruh
Ring Sarwa Bastra
(bisa mengatasi segala kerusuhan)
9.
Wiweka (dapat
membedakan mana yang baik dan yang buruk)
·
Pañca Dasa Pramiteng Prabhu
Dalam
Lontar Negara Kertagama, Rakawi Prapañca menuliskan keutamaan sifat-sifat Gajah
Mada sebagai Maha Patih Kerajaan Majapahit. Sifat-sifat utama itu pula yang
mengahantarkan Majapahit mencapai puncak kejayaannya. Sifat-sifat utama
tersebut ada 15 yang disebut sebagai Pañca Dasa Pramiteng Prabhu. Adapun kelima
belas bagian dari Pañca Dasa Pramiteng Prabhu tersebut adalah :
1.
Wijayana (bijaksana
dalam setiap masalah)
2. Mantri Wira (pemberani dalam membela negara)
3. Wicaksananengnaya (sangat bijaksana dalam memimpin)
4. Natanggwan (dipercaya oleh rakyat dan negaranya)
5. Satya Bhakti Prabhu (selalu setia dan taat pada atasan)
6. Wagmiwak (Pandai bicara dan berdiplomasi)
7. Sarjawa Upasama (sabar dan rendah hati)
8. Dhirotsaha (teguh hati dalam setiap usaha)
9. Teulelana (teguh iman dan optimistis)
10. Tan Satrsna (tidak terlihat pada kepentingan golongan atau pribadi)
11. Dibyacita (lapang dada dan toleransi)
12. Nayakken Musuh (mampu membersihkan musuh-musuh negara)
13. Masihi Samasta Bawana (menyayangi isi alam)
14. Sumantri (menjadi abdi negara yang baik)
15. Gineng Pratigina (senantiasa berbuat baik dan menghindari pebuatan buruk)
2. Mantri Wira (pemberani dalam membela negara)
3. Wicaksananengnaya (sangat bijaksana dalam memimpin)
4. Natanggwan (dipercaya oleh rakyat dan negaranya)
5. Satya Bhakti Prabhu (selalu setia dan taat pada atasan)
6. Wagmiwak (Pandai bicara dan berdiplomasi)
7. Sarjawa Upasama (sabar dan rendah hati)
8. Dhirotsaha (teguh hati dalam setiap usaha)
9. Teulelana (teguh iman dan optimistis)
10. Tan Satrsna (tidak terlihat pada kepentingan golongan atau pribadi)
11. Dibyacita (lapang dada dan toleransi)
12. Nayakken Musuh (mampu membersihkan musuh-musuh negara)
13. Masihi Samasta Bawana (menyayangi isi alam)
14. Sumantri (menjadi abdi negara yang baik)
15. Gineng Pratigina (senantiasa berbuat baik dan menghindari pebuatan buruk)
·
Sad Upaya Guna
Dalam
Lontar Rajapati Gondala dijelaskan ada enam upaya yang harus dilakukan oleh
seorang raja dalam memimpin negara. Keenam upaya ini disebut juga sebagai Sad Upaya
Guna. Adapun keenam upaya tersebut adalah : Siddhi (kemampuan
bersahabat); Wigrha (memecahkan setiap persoalan); Wibawa
(menjaga kewibawaan); Winarya (cakap dalam memimpin); Gascarya
(mampu menghadapi lawan yang kuat) dan Stanha (menjaga hubungan baik).
Dalam
lontar yang sama disebutkan pula ada 10 macam orang yang bisa dijadikan sahabat
oleh Raja. Kesepuluh macam tersebut adalah orang yang :
- Satya (jujur)
- Arya (orang besar/mulia)
- Dharma (baik)
- Asurya (dapat mengalahkan musuh)
- Mantri (bisa mengabdi dengan baik)
- Salya Tawan (banyak kawannya)
- Bali (kuat dan sakti)
- Kaparamarthan (mempunyai visi yang jelas)
- Kadiran (tetap pendiriannya)
- Guna (banyak ilmunya)
·
Pañca Satya
Selain
upaya, sifat dan kriteria sebagaimana yang telah disebutkan di atas, masih ada satu
lagi landasan bagi pemimpin Hindu dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari.
Landasan ini ada lima yang dikenal sebagai Pañca Satya. Lima Satya ini harus
dijadikan sebagai landasan bagi seorang pemimpin Hindu di manapun dia berada.
Kelima landasan itu adalah :
- Satya Hrdaya (jujur terhadap diri sendiri /
setia dalam hati)
- Satya Wacana (jujur dalam perkataan / setia
dalam ucapan)
- Satya Samaya (setia pada janji)
- Satya Mitra (setia pada sahabat)
- Satya Laksana (jujur dalam perbuatan)
Kelima
ini juga harus dijadikan pedoman dalam hidupnya. Sehingga ia akan menjadi
seorang pemimpin yang hebat, berwibawa, disegani dan sebagainya.
Tingkat
keberhasilan dari seorang pemimpin dalam memimpin itu sendiri ditentukan oleh
dua faktor, yaitu : faktor usaha manusia (Manusa atau jangkunging
manungsa) dan faktor kehendak Tuhan (Daiwa atau jangkaning Dewa).
Sementara tingkat keberhasilannya bisa berupa penurunan (Ksaya), tetap
atau stabil (Sthana) dan peningkatan atau kemajuan (Vrddhi)
(Kautilya,2004:392-393)
2.3.3 Kriteria Pokok Pemimpin Bali
Dalam
upaya menyambung kekokohan tradisi budaya yang luhur dan luhur (tekstual),
mempertahankan prestasi pembangunan Bali yang terpuji serta kemampuan secara
cerdas mengantisipasi berbagai peluang dan tantangan ke depan (kontekstual),
maka kriteria utama pemimpin yang diharapkan Provinsi Bali adalah sebagai
berikut:
§ Kriteria
kualitatif
Kokoh dalam jati diri, mampu berpijak dan menerapkan konsep Asta Bratha yang
berlandaskan Tri Kaya Parisudha. Profil ini sangat Ideal dari berbagai
aspek secara komprehensif dan punya komitmen tinggi dalam perwujudan Jagadhita
Bhuana Agung dan Bhuana Alit.
Visioner dan Bersih, profil pemimpin visioner memiliki wawasan luas berdimensi
lokal yang mampu melindungi local Genius dan berdimensi keandalan ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni, serta menjunjung tinggi moral, etika, kejujuran
dan kebenaran (Dharma)
Reformis, Nasionalis, dan Kokoh kebaliannya, Profil pemimipin ini mampu
menawarkan ide-ide pembaharuan kearah perbaikan, kokoh dalam jiwa nasionalisme
yang berpijak kepada aplikasi konsep Bhineka Tunggal Ika, serta loyal dalam
membangun kesatuan dan keragaman Indonesia. Juga loyal, berani dan mampu
menjaga keajegan Bali dari tiga aspek yaitu 1) Adat dan Budaya yang dilandasi
atas nuansa religius dan spiritual, 2) Mengajegkan Tanah Bali, 3) Menjaga
Populasi orang bali demi menjaga Bali yang utuh, maju dan beradab.
Modern dan profesional, profil pemimpin ini mampu menerapkan
asas-asas kepemimpinan dan manajemen yang modern dan profesional, kuat dalam
nuansa perencanaan, implementasi, koordinasi dan pengawasan. Mereka adalah
sosok negarawan yang kharismatik mampu membangun pemerintahan yang baik dan
bersih, serta menghidupkan komuniti yang partisipasif dan mengembangkan
jaringan secara luas.
§ Kriteria
Kuantitatif
Sehat
secara fisik dan mental, juga secara hukum, social, ekonomi, pilitik dan agama
yang dapat diukur dengan parameter yang jelas. Berusia 45-55 tahun
Rentangan
usia tersebut dianggap cukup memadai memiliki kematangan psikologis-emosional-nasional,
serta masih cukup tegas secara fisik jasmaniah.
Pendidikan
minimal sarjana (S1), pemimpin masa depan harus kokoh dalam dasar pendidikan.
Sarjana adalah modal dasar untuk kualitas SDM. Dengan latar belakang
kesarjanaan, pemimpin tersebut akan memiliki PD yang tinggi, cendrung terbuka
dan kritis terhadap ide-ide baru, peka terhadap peluang kemajuan, mampu
mengedepankan otak dari pada otot.
Memiliki
jenjang karier yang bagus. Secara kuantitatif, jenjang karier ini dapat
dicermati melalui Curiculum Vitae pemimpin yang bersangkitan. CV mengakumulasikan
komponen basik dan jenjang pengalaman sebagai refliksi kematangan
psiko-kutural-agama.
§ Kriteria
Khusus dan Perspektif Agama, Sosial, Budaya dan Seni.
Memiliki
apresiasi seni tinggi dan berwawasan budaya dan menjungjung Dharma agama yang
mapan berjiwa reigius. Profil pemimipin ini diharapkan benar-benar memahami
hakekat, jiwa dan inti kehidupan masyarakat dan kebudayaan sebagai masyarakat
seni. Mereka adalah tokoh yang mengakar masyarakat, berkharisma dan dipercaya,
mampu bersama publikmengantarkar kemajuan dan mewujudkan kesejahteraan yang
merata. Pemimpin yang mengedepankan wawasan budaya, berpotensi lebih mampu
menggerakkan dinamika pembangunan secara harmonis , arif, sejuk, damai dan
humanis.
Provinsi
Bali adalah provinsi berbudaya Hindu dan seni dalam citra, rencana dan
realitas. Sepuluh tahun terakhir, Bali mencapai prestasi dan kemajuan yang amat
pesat dan berarti dan dapat berfungsi sebagai modal dasar (inner and outer
power) bagi pembangunan Bali berkelanjutan. Kedepan dalam kurun waktu
20010-2015 peluang dan tatanan Bali makin besar dan kompleks secara sektoral,
lintas sektor dalam konteks lokal, nasional, global. Untuk mampu merespon
kondisi aktual secara positif dan konstruktif diperlukan figur pemimpin yang
unggul dan berkualitas tinggi: (1) kokoh dalam jati diri, pijakan tradisi dan
budaya:(2) cerdas dengan wawasan modern yang visioner dan profesional; (3)
mampu berbuat dan mengantarkan masyarakat Bali melalui aksi nyata yang bertumpu
pada paradigma kenyataan, demokrasi dan keadilan.
Maka
demi menjaga keajegan segala aspek Agama, sosial, budaya dan seni di Bali, sudah seyogyanya pemimpin dan rakyat Bali berbuat lebih maksimal lagi, untuk menjaga nilai-nilai
kearifan lokal agar tetap ajeg. Hal itu sangat jelas dan dipandang sebagai sesuatu
yang wajar, karena Bali memiliki ciri-ciri khas di bidang
religi, sosial, dan budaya dan seni. Keempat hal itu perlu dipupukkembangkan
selain demi kesejahteraan umat Hindu di Bali, juga karena memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan industri pariwisata nasional. Para pemimpin Bali seharusnya
bertekat bulat agar rakyat Bali menjadi tuan di tanah kelahirannya sendiri,
ingin mengatur rumah tangganya dengan kekuatan sendiri, mandiri, dan ingin
mempertahankan warisan leluhurnya yang bernilai sangat tinggi. Rakyat Bali-pun ingin anak-cucunya dikemudian hari mencapai moksartham
jagaditaya ca iti dharmah yakni kebahagiaan lahir dan bathin sesuai dengan
ajaran Agama Hindu. Politik pemerintahan yang sesuai di Bali adalah seperti yang diatur dalam Reg Veda II sampai IX, di
mana secara panjang lebar telah diulas tentang persyaratan pemimpin,
pengambilan sumpah jabatan, swadharma pemimpin, dan model demokrasi menurut
ajaran Veda.
Apabila
pemimpin itu mampu mewujudkan secara keseluruhan, maka para pemimpin mulai
tingkat Gubernur sampai Kepala Desa di Bali diharapkan melaksanakan pola dan kebijakan pemerintahan
menurut Veda, dan untuk ini pihak legislatif dan eksekutif didampingi
pemimpin-pemimpin umat Hindu terlebih dahulu merancangnya dengan matang.
Sekolah dan lembaga pendidikan di semua tingkatan dapat pula ditata bernuansa
Hindu, sosial, budaya dan seni. Dengan kata singkat, kriteria khusus itu diperlukan agar Bali dapat menata kehidupan religi, sosial, seni dan budaya
menurut ajaran Agama Hindu.
2.4. Pemimpin di Era Globalisasi
Era globalisasi yang ditandai dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan
antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi,
perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga
batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit. Dalam kondisi seperti ini,
kepemimpinan menjadi hal yang sangat penting bahkan menentukan dalam pencapaian
suatu tujuan kelompok atau organisasi, untuk mengarahkan dan mengatur
orang-orang untuk mencapai tujuan.
Orang yang mau menjadi pemimpinpun semakin banyak
bermunculan, tanpa memandang kasta, asal, maupun umur. Ketika seseorang merasa
mampu maka dia akan mencoba menjadi seorang pemimpin. Proses pemilihan pemimpin
yang sarat dengan permainan politik sudah tidak asing bagi semua kalangan di
era globalisasi ini. Akan tetapi, dari banyaknya orang yang mencalonkan diri
menjadi pemimpin sangat sulit ditemukan pemimpin yang baik, tetapi kalau
pemimpin yang pintar dan hebat banyak.
Mencari pemimpin yang baik inilah menjadi kendala bagi
seluruh lapisan masyarakat, banyak pemimpin yang mendapatkan jabatannya karena
permainan uang (money politic), alhasil setelah naik yang menjadi prioritas
adalah mengembalikan modal awal. Lalu bagaimana dengan bawahan? Akan menjadi
urusan ke sekian dalam benaknya, malahan rakyat akan tidak diperhatikan. Yang
lebih parah lagi, penyimpangan wewenang sering terjadi hanya dengan maksud
mengutamakan kepentingan pribadi.
Berkaca dari hal tersebut, sudah sewajibnya
kepemimpinan di era globalisasi ini mendapat perhatian khusus dari berbagai
kalangan. Kepemimpinan pada zaman terdahulu, seperti masa-masa kerajaan
sepintas terlihat lebih bagus padahal kalau dilihat dari proses penentuan
pemimpin sekarang ini lebih terstruktur. Peradaban memang terus berganti,
pembaharuan dalam tatanan kehidupan juga terus terjadi, akan tetapi perubahan
yang terjadi tidak selamanya membawa kebaikan bagi semua pihak.
2.5
Ajaran Niti Satra di Era Globalisasi
Kitab atau susastra Hindu yang banyak mengulas tentang
konsep-konsep kepemimpinan termasuk etika dan moral di dalamnya disebut dengan
kitab “Niti Sastra”. Kata ini berasal dari Kata Sanskerta “ niti ” yang berarti
bimbingan, dukungan, bijaksana, kebijakan, etika. Sedangkan “ sastra “ berarti
perintah, ajaran, nasihat, aturan, teori, dan tulisan ilmiah. Berdasarkan
uraian diatas di atas maka kata Nitisastra berarti ajaran pemimpin. Dengan
demikian ruang lingkup niti sastra tentu sangat luas mencakup pula etika,
moralitas, sopan santun dan sebagainya. Dari pemahaman etimologis tersebut maka
“ niti sastra ” dapat diartikan sebagai keseluruhan sastra yang memberikan
ketentuan, bimbingan, arahan bagi umat manusia dalam berbagai aspek kehidupan
agar menjadi lebih teratur, terarah, dan lebih baik.
Untuk memahami kepemimpinan Hindu atau kepemimpinan
yang universal, seseorang dianjurkan untuk mempelajari niti sastra. Mengingat,
pengetahuan dan pemahaman sejarah/konsep pemikiran Hindu (niti sastra) di
bidang Politik, ketatanegaraan, ekonomi, dan hukum yang masih relevan sampai
kini. Konsep-konsep tersebut adalah sumber penting yang memberi kontribusi
perkembangan konsep-konsep selanjutnya di India, Asia bahkan, dunia.
Adapun kontribusi niti sastra dalam peradaban global antara lain:
a) Pemikiran dalam
niti sastra dapat memberi masukan penting berupa konsep dan nilai positif dalam
pengembangan, pembaharuan, penyusunan kembali konsep-konsep politik,
ketatanegaraan, ekonomi, peraturan hukum era kini.
b) Usaha menggali,
mengangkat nilai-nilai Hindu sebagai sumbangan Hindu dalam percaturan dunia
keilmuan. Paradigma sosial bahwa politik itu kotor dapat hilang.
Apabila ajaran nitisastra dibangkitkan kembali di era
globalisasi ini, maka pemimpin dalam kepemimpinannya akan lebih mampu mengemban
tugas yang harus dikerjakan. Sebagaimana pemimpin dalam ajaran nitisastra
sesuai yang tertuang dalam dalam lontar Raja Pati Gondala harus memiliki
sepuluh hal yang selalu melekat pada dirinya, yaitu:
a) Satya, artinya
kejujuran
b) Arya, artinya
orang besar
c) Dharma, artinya
kebajikan
d) Asurya, artinya orang
yang dapat mengalahkan musuh
e) Mantri, artinya
orang yang dapat mengalahkan kesusahan
f) Salyatawan,
artinya orang yang banyak sahabatnya.
g) Bali, artinya
orang yang kuat dan sakti.
h) Kaparamarthan,
artinya kerohanian
i) Kadiran,
artinya orang yang tetap pendiriannya
j) Guna,
artinya orang yang pandai.
Dengan perpaduan antara sistem demokrasi di era
globalisasi ini dengan ajaran nitisastra, maka tidak akan kesulitan menemukan
seorang pemimpin yang baik. Pemimpin yang mampu menjalankan tapuk kepemimpinan
sesuai keinginan rakyat. Pemimpin akan mampu menjalankan tugas-tugasnya sesuai
dengan Dharma Agama dan Dharma Negara. Masyarakat akan menjadikan pimpinannya
sebagai panutan tanpa lagi ada istilah memaksakan bahwa yang boleh menjadi
pemimpin hanya dari satu garis keturunan. Semua orang yang memiliki kriteria
dalam ajaran nitisastra layak menjadi pemimpin.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Kata Niti Sastra memang sudah tidak
asing lagi dikalangan tokoh terpelajar, akan tetapi bagi masyarakat yang awam
masih terasa asing dengan kata ini. Pada masyarakat Hindu di Bali lebih mengenal
dengan istilah Kekawin Niti Sastra. Kekawin Niti Sastra berisikan tentang ilmu
kepemimpinan yang bisa digunakan dan diterapkan kedalam kehidupan masyarakat
dan pendidikan. Banyak tokoh yang mengatakan bahwa Niti Sastra adalah ajaran
tentang ilmu politik, dan tidak sedikit juga berpandangan bahwa Niti Sastra
berarti ilmu kepemimpinan.
Awal agama Hindu muncul diperkirakan
pada tahun 3000-1300 sebelum masehi. Agama Hindu merupakan agama yang berasal
dari anak benua India, yang merupakan kelanjutan dari agama Weda (Brahmaisme)
yang merupakan kepercayaan ras Indo-Iran (Arya). Akulturasi budaya adalah salah
satu cara didalam penyebaran agama Hindu, budaya-budayaa setempat diberikan
berkembang dan tumbuh, diberikan legalisasi sebagai bentuk perpaduan yang utuh
antara unsur agama dan budaya.
Pemimpin
berarti oarang yang memimpin atau menuntun, juga memiliki padanan kata dalam
bahasa Ingris yaitu leader. Sedangkan Kepemimpinan adalah suatu kemampuan dalam
membimbing atau menuntun yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Sifat sebagai
seorang pemimpin sudah ada semenjak kita dilahirkan. Menurut Dr. Kartini
Kartono (dalam Sudhardana, 2008;33) dikatakn bahwa ada tiga teori yang menonjol
yang menjelaskan seorang pe.mimpin, yakni: Teori genetis, teori sosial, dan teori
ekologis.
Era globalisasi yang ditandai
dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia
di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer,
dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi
semakin sempit. Dalam kondisi seperti ini, kepemimpinan menjadi hal yang sangat
penting bahkan menentukan dalam pencapaian suatu tujuan kelompok atau
organisasi, untuk mengarahkan dan mengatur orang-orang untuk mencapai tujuan.
Kitab atau susastra Hindu yang
banyak mengulas tentang konsep-konsep kepemimpinan termasuk etika dan moral di
dalamnya disebut dengan kitab “Niti Sastra”. Kata ini berasal dari Kata
Sanskerta “ niti ” yang berarti bimbingan, dukungan, bijaksana, kebijakan, etika.
Sedangkan “ sastra “ berarti perintah, ajaran, nasihat, aturan, teori, dan
tulisan ilmiah. Berdasarkan uraian diatas di atas maka kata Nitisastra berarti
ajaran pemimpin. Dengan demikian ruang lingkup niti sastra tentu sangat luas
mencakup pula etika, moralitas, sopan santun dan sebagainya. Dari pemahaman
etimologis tersebut maka “ niti sastra ” dapat diartikan sebagai keseluruhan
sastra yang memberikan ketentuan, bimbingan, arahan bagi umat manusia dalam
berbagai aspek kehidupan agar menjadi lebih teratur, terarah, dan lebih baik
3.2
Saran
Tentunya kami sebagai kelompok
pembuat makalah sangat mengharapkan saran dari temen-temen dan dosen pembimbing
mata kuliah ini, karena kami tau dalam makalah ini masih banyak kekurangan
kami,tentunya kami meminta saran dan pendapat yang positif dan membangun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar