BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Setiap manusia yang memeluk agama hindu dimana pun berada pasti
akan melaksanakan upacara keagaman sesuai yang telah ditentukan dalam Veda,
biarpun tata cara pelaksanaannya yang berbeda-beda namun mempunyai arti dan
makna yang sama seperti halnya Tuhan disebut dengan banyak nama oleh orang-rang
yang memiliki Jnana. Kita tidak boleh mempersalahkan hal itu.
Didalam makalah ini penulis akan menjelaskan beberapa upacara
yang harus dilakukan oleh setiap orang mulai dari acara Megedong-gedongan sampai
dengan acara Pawiwahan, dimana kesemua acara tersebut merupakan ritual yang
harus dilaksanakan oleh setiap orang yang
dilahirkan di dunia ini.Tujuan dari upacara keagamaan tersebut tidaklah lain
untuk meminta keselamatan dan kerahayuan terhadap orang yang diupacarai itu.
Orang yang memuput acara tersebut adalah Sulinggih. Sulinggih sebagai pemuput
acara tersebut mendoakan orang tersebut beserta keluarganya agara senatiasa
mendapatkan kesehatan,rejeki,kerahayuan dan kerahajenagan, dan senantiasa
menjung-jung tinggi dharma.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apakah Pengertian dan makna Upacara Janma Prakerti ?
2.
Bagaimanakah Rangkain atau proses Upacara Janma Prakerti ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Pengertian dan
makna Upacara Janma Prakerti!
2.
Mengetahui Rangkain atau proses Upacara Janma Prakerti!
1.4 Manfaat
Penulisan
Ada
banyak manfaat yang baik dari pembuatan makalah. Jika tidak ada manfaatnya maka
tentu saja Sekolah atau instansi sejenisnya tidak akan menuntutnya. Beberapa
manfaat antara lain :
1. Melatih
kreatifitas mahasiswa dalam menuangkan gagasan pemikirannya (ide-idenya)
tentang suatu kajian atau topik dari ilmu-ilmu yang sudah didalami. Di sini
secara tidak langsung penulis juga dilatih untuk menerapkan kemampuan berpikir
secara logis-sistematis.
2. Makalah
ini, bukan hanya berguna bagi penulis saja tetapi juga sebagai bahan referensi
ilmiah dan sumbangan pengetahuan bagi sekolah, bagi para pembaca tentang apa
yang disumbangkan lewat ide penulis melalui makalah tersebut.
3. Sebagai
tuntutan akademik bagi para akademisi yang ingin berpetualang terus dalam dunia
pengetahuan dan pendidikan. Dengan hasil makalah, penulis dilatih secara khusus
untuk terbiasa menulis atau mengolah sesuatu yang menjadi obyek tulisan.
4. Melatih
berpikir tertib dan teratur karena menulis makalah harus mengikuti tata cara
penulisan yang sudah ditentukan prosedur tertentu, metode dan teknik, aturan /
kaidah standar, disajikan teratur, runtun dan tertib.
5. Menumbuhkan
etos ilmiah di kalangan mahasiswa, sehingga tidak hanya menjadi konsumen ilmu
pengetahuan, tetapi juga mampu menjadi penghasil (produsen) pemikiran dan karya
tulis dalam bidang ilmu pengetahuan.
BAB II
PEMBAHASAN
Upacara Janma Prakerti
2.1
Upacara Janma Prakerti / Manusa Yajna
(dari
Magedong-gedongan sampai pawiwahan)
Manusa
Yajna artinya memberikan sedekah
kepada manusia,sejak ia masih dalam kandungan hingga sampai ia menikah.
Sebabnya ialah,setiap manusia telah ketempatan percikan Hyang Widhi yang disebut,Atman.
Maksud
dan tujuan melaksanakan upacara manusa
yajna ialah untuk membersihkan lahir-bathin seseorang,demi kesempurnaan dan
keselamatan hidupnya.Dengan demikian Sang
Hyang Atma yang menempatinya tidak dicemari oleh pikiran,laksana dan
perbuatan badan kasarnya.
2.2. Rangkain Upacara Janma Prakerti /
Manusa Yajna tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Magedong-gedongan
Upacara
ini dilaksanakan ketika sang bayi masih ada dalam kandungan ibunya (Garbha Wedana), yang lebih dikenal
dengan Magedong-gedongan. Secara
rohaniah, Magedong-gedongan ini
merupakan pembersihan dan pemeliharaan keshatan ibu dan anak,dengan harapan
agar anak yang akan lahir nanti menemukan kebahagian dan menjadi anggota
masyarakat yang berguna.Kepada si ibu (juga suami),dipesankan agar menghindari
perbuatan dan tingkah laku yang kurang baik.Sebaliknya,agar mereka senantiasa
melaksanakan hal-hal yang baik dan bermanfaat,sebab tingkah laku/kegemaran
mereka bisa berpengaruh kepada si bayi yang akan lahir.
Upacara Magedong-gedongan
Upacara
ini dapat dimulai,ketika janin bayi berumur 5 bulan didalam kandungan sang ibu.
Sebelum umur itu jabang bayi belum sempurna. Karena itu ia belum boleh
diupacarai.
LontarKanda
Empat Butha (Tjateng,1979) mengatakan,bahwa bayi yang sudah berumur 5
bulan,sudah lengkap menjadi manusia, sudah berambut, berkuping, bermata,
berhidung, bermulut, berbahu, berbadan, bertangan, berkaki, bergigi, berperut,
berodel, berdagu, berkemaluan, berpantat, berjeriji, dan sudah sempurna isi
dada dan perutnya.
Sejak umur 5 bulan itu Dewatanya adalah Sang Hyang Citragotra Citrobotri diemban oleh Babuktas Bang dan Babu Gundi.Dilindungi
oleh Sang Hyang Mandiraksa dan Babu Galungan.
Ketika bayi berumur 6 bulan di dalam
kandungan ibu,keluarlah saudaranya dari kandungan ibundanya yang bernama Babu Lebana lalu nama bayi itu bernama I Larakuranta.
Ketika janin berumur 7 bulan di
dalam kandugan ibunya,dari Bapaknya keluarlah saudaranya yang lain bernama Babu Abra,lalu lain bayi berubah menjadi
Sang Hyang Lumut.
Ketika
janin berumur 8 bulan dalam kandungan ibunya,keluar saudaranya yang ketiga dari
Bapaknya,bernama Babu Kakere. Nama
bayi itu berubah menjadi Sang Hyang
Kamarenga.
Ketika itu semua saudara janin itu
kasih-mengasihi dirinya,dan makan bersama janin.Ketika janin berumur 9 bulan di
dalam kandungan ibunya,sudah waktunya ia lahir.Segerasetelah bayi lahir, ia
menangis sejadi-jadinya.Ini namanya mantran
peneseh. Semua saudaranya ikut juga meninggalkan kandungan ibunya.
Upacara magedong-gedongan ada tiga tingkatan, nista, madya dan utama.
Dibawah ini yang dikemukakan ialah yang nista.
Untuk
pembersihan :
1. Byakala,
terdiri dari dua suku kata ialah bya
dan kala. Bya artinya membiayai / membayar, kala artinya mahluk jahat. Jadi Byakala itu membiayai /membayar mahluk jahat, agar jangan
mengganggu yang mabyakala itu.
Gangguan-gangguan yang dapat menimbulkan kemarahan, kesal, loba, dan
sebagainya.Dengan byakala semua
sifat-sifat yang demikian disirnakan.
2. Prayascita,
Pengertiannya ialah agar pikiran dan bathin menjadi terang dan bersih.
Untuk
Ayaban :
Sesayut tuntunan (pengertiannya
ialah menegakkan disiplin dan tidak tergoda).
Pangambyan (menetapkan
kehidupan yang bersangkutan).
Peras (menyelesaikan
permohonan).
Sodaan dan
ketipat (makanan untuk orang yang
berkepentingan).
Dapetan (pertemuan
bagi yang menjelma) dengan sesayut
pamahayu tuwuh, agar jiwa dan tubuh sehat dan panjang umur.
Segehan (ditaruh
dibawah) untuk kekuatan-kekuatan yang merusak atau mengganggu.
Tamas sesayut (tempat
untuk sesayut dibuat dari anyaman
daun kelapa yang masih hijau).
Raka-raka
selengkapnya :
Nasinya
: satu buah tumpeng kuning,kojong rangkadan,ayam panggang.
Sampyannya : sedah who, nagasari,
sesedep,wadah uyah,panyeneng, canang,pabersihan payasan.
Tata cara magedong-gedongan
Biasanya dilakukan didalam kamar
mandi (buat pemandian darurat). Terlebih dahulu ibu hamil tersebut dibyakala dan diprayascita. Di hadapan sanggah
kemulan ditaruh upakara sebagai
berikut :
Benang hitam 1 tukal yang kedua
ujungnya diikatkan pada cabang-cabang kayu dapdap, sebatang bambu runcing,daun
kumbang diisi air dan ikan sawah yang masih hidup (belut,nyalian,dan ketam),ceraken dibungkus dengan kain yang baru.
Pelaksanaan
Upakara
Kedua cabang kayu dapdap yang telah
terikat tadi ditancapkan pada pintu gerbang / arah benang agar menuju pintu
gerbang. Sang istri menjungjung ceraken tersebut,
tangan kanan menjung-jung daun kumbang yang berisi air dan ikan itu.Sang
suami,tangan kirinya memegang benang dn tangan kanan memegang gelanggang
(bamboo runcing) tadi. Setelah itu banten
segehan diaturkan di tanah untuk para bhuta
kala agar tidak menggoda. Kemudian sang suami berjalan serta memegang
gelanggang sambil terus menusuk daun kumbang yang berisi air hingga ikannya
keluar. Kemudian kedua suami istri malukat.
Setelah itu keduanya bersembahyang lalu natab
bebantenan ayaban, mohon agar kandugannya sampai dengan melahirkan dalam
keadaan selamat sentausa.
Mantram
untuk bebanten pagedong-gedongan adlah sebagai berikut :
“Om Sang Hyang Paduka Ibu Pertiwi,
Bhatari Gyatri,Bhatari Sawitri,Bhatari Suparni, Bhatari Wastu, Bhatari
Kedep,Bhatari Angukuhi,Bhatari Krendang Kasih, Bhatari Kamanjaya,Kamaratih,
mekadi pukulun Hyang Widyadara-Widyadari, Hyang Kuranta-Kuranti,Samadaya,iki
tadah saji aturan manusa iris i “………………………”.
Ajakan sarowangun ira amangan
anginum,menawi ana kirangan kaluputan ipun dan agung ampuranen manusa nira,
mangka ulun aminta nugraha ring sira samua aja sira
angedongin,angancingin,muang anyangka-len, awakakena lanangira selacak dana
uwakakena den alon sepungana nira anak-anak andepun dena pekik dirgayusa weta
urip tan ana saminaksan ipun, Om Sidhi Rastu Swaha”.
2.
Rare
Embas (Bayi Lahir).
Dibuatkan
upakara penjemput bayi.
Bayi dibersihkan terlebih dahulu
dimandikan,kemudian ari-arinya (plasenta) dipisahkan, juga dibersihkan,ditaruh
didalam buah kelapa yang dibelah dua. Belahan atas kelapa tersebut ditulisi Ongkara yang dibelahan bawah ditulisi
huruf Ongkara,Angkara dan Ahkara. Bersama-sama dengan ari-ari
tadi, juga dimasukkan kertas bersurat rerajahan, OM tabya pukulun.
Juga dimasukkan duri-duri,isi ceraken,anget-anget,bunga-bunga harum
serta minyak wangi.Kelapa dijadikan satu (belahannya dikatupkan/ditutupkan)
dibungkus dengan kain putih, lalu dikubur. Bila bayi perempuan dikubur
disebelah kiri pintu keluar.Ketika menguburkan disertakan mantram : Om Sang Hyang Ibu
Pertiwi rumaga bayu, rumaga amrta sanjiwani,amertani ikang sarwa tumuwuh
“………………” (Nama bayi), moga dirgha
yusa poma” (mantram diucapkan tiga kali).
Ketika menutup dengan tanah juga
ditanam bamboo kecil(buluh) tegak lurus hingga pangkalnya menyentuh kelapa dan
ujung atasnya lebih tinggi dari permukaan tanah. Gunanya ialah bila menyiramkan
air, kelapa tersebut juga terkena air. Di samping buluh itu ditaruh batu yang
gepeng, disiram dengan air satu gayung.Di sebelah bawah batu bata itu
ditanamkan pandan wong,diatas batu
ditaruh bebantenan,terdiri dari nasi empat kepel beralaskan daun dapdap
diberi garam dengan areng (uyah areng).
Di sebelah tetanaman ari-ari tersebut
ditaruhi api (baleman) berikut juga daun pandan serta di tancapkan sanggar.
Pada sanggar tersebut digantungkan sebuah lampu. Diatas batu dan di sanggar
setiap hari ditaruh bunga yang harum.
Beberapa
pengertian :
Ari-ari (plasenta) tersebut
disamakan dengan jenasah, baleman itu diartikan api untuk membakar, lampu yang
digantung diartikan dengan angenan.Sanggar
itu artinya Prajapati dan bayi adalah
Atman.Lamanya membakar ialah 42 hari. Sekurang-kurangnya tiga hari.
Baleman itu dinyalakan pada malam hari. Bila tidak demikian, dianggap,bahwa
jenazah tersebut tidak terbakar.
3.
Kepus
Pungsed (Lepas Puser)
Bagaiman
upakaranya?
Mohonkan Pretiti, yaitu tanggal lahir menurut saptawara,triwara,dan ukunya.Bayi
juga dibuatkan pasikepan yang disebut
kakambuh. Dibuatkan plangkiran,tempat bersemayamnya Sang Hyang Kumara, digantungkan diatas
tempat tidur bayi.Di buatkan juga sanggah
kecil ditancapkan di samping ari-ari ditanam.Adalagi palinggih sang satwa-yoni. Disana dimohonkan air Panglukatan untuk ngalukat (membersihkan) saudara bayi yang empat itu. Ini disebut Panglepas Awon, artinya menghilangkan
kekotaran. Sebabnya adalah sebagai berikut:
Yang disebut saudara bayi empat itu adalah darah (getih), plasenta (ari-ari),
lamas (selaput dari lemak tipis pembungkus janin), dan air ketuban (yeh nyom)
yang menjaga dan melindungi sang bayi ketika bayi masih ada di dalam kandung.
Keempatnya ikut keluar ketika bayi lahir ke bumi.
Maksud melepas awon tersebut ialah menghilangkan kekotoran yang masih
melekat pada keempat saudaranya itu.Sebab saudara bayi itu ikut lahir adalah
sebagai berikut : Ketika sanga bayi masih ada di dalam kandungan, Sang Hyang Guru memberitahukan kepada
bayi tersebut, bahwa sudah waktunya ia harus lahir.Sang bayi menjadi sangat
sedih sebab ia tidak mengetahui jalan keluar.Kemudian ia membuat perjanjian
dengan saudara-saudaranya yang empat itu bahwa mereka akan membantu dan
menunjukkan jalan keluar dengan janji bahwa sang bayi tidak akan melupakan
mereka dan bahwa ia memang bersaudara dengan yang empat itu selama-lamanya
hingga maut menjemputnya.
Keempat saudara bayi tersebut
menuntun bayi keluar ada yang membukakan ada yang menuntun dari kiri-kanan dan
ada yang mengantarkan dari belakang.
Pusar bayi itu ditempatkan pada kulit ketupat kukur diberi anget-anget
digantungkan diarah kaki bayi tidur (teben) diembatkan kain,gelang,bunga
emas,dan cincin merah.
4.
Roras
Raina ( Bayi berumur 12 hari)
Waktu
bayi berumur 12 hari dibuatkan upakara
yaitu dengan memohonkan tirtha
panglukatan untuk ngalukat Sang Catur
Sanak ( empat saudara si bayi).
Setelah Malukat (dibersihkan) Sang Catur
Sanak tersebut berganti nama menjadi Anggapati,
Rajapati, Banaspati, dan Banaspati
Raja. Dengan demikian sesuai dengan maksud upacara 12 hari tersebut
kedudukan dan letak Atmannya sang
bayi menjadi kuat.
5.
Abulan
Pitung Dina ( Bayi berumur 42 hari)
(Satu
bulan (35 hari) + 7 hari = 42 hari )
Pada umur ini sudah waktunya bayi
memutuskan kakambuh, Jadi tidak lagi
memakai kakambuh. Di bali bayi ini
disebut telah tutug kambuhan ,sibayi
sudah dibersihkan diri secara spiritual yaitu malukat dan matirta oleh Sulinggih. Dengan demikian juga keempat
saudar-saudaranya.
6.
Telu
Bulan (Bayi berumur 3 bulan )
(Tigang
sasih = tiga bulan = 3 x 35 hari )
Upakaranya adalah sebagai berikut : Sang Sulinggih mendoakan (ngalukat) bayi tersebut dengan
disaksikan oleh Dewa-Dewi.Saat itulah
bayi memohon izin kehadapan Bhatara Siwa
Aditya untuk dibolehkan memakai perhiasan dari emas dan permata. Keempat
saudaranya juga ikut dilukat. Setelah itu mereka berganti nama menjadi Sang Malipa, Malipi, Bapa Bajang,dan Babu Bajang.
7.
Otonan
(Bayi berumur 6 bulan )
(Awetuan,yaitu
6 x 35 hari )
Bayi lagi-lagi dilukat oleh
Sulinggih agar bersih serta dimohonkan izin kepada Pertiwi agar ia tidak dapat halangan, sebab untuk pertama kali ia
akan ,enginjak tanah (tedak siti) dan
sejak itu ia menikmati kehidupan dari apa yang diberikan oleh Ibu Pertiwi. Demikian juga keempat
saudaranya ikut lagi dilukat dan lagi berganti nama menjadi Sang Gargha,Sang Merti, Sang Kurusya, Sang
Pretanjala dan dengan Sulinggih
mereka pulang ke tempatnya masing-masing.
8.
Magetep
Bok (Upacara Potong Rambut)
Upacara
potong rambut ini adayang disatukan dengan upacara bayi berumur satu oton. Ada
juga kebiasaan upacara potong rambut itu tidak bersamaan dengan hari otonan.Bila demikian dicarikan hari
tersendiri,maksud upacara potong rambut sama seperti diatas yaitu menghilangkan
“mala” yang berasal dari bulu.
9.
Ngendagin
atau Ngempugin ( Upacara tumbuh gigi )
Upacara
ini dilakukan ketika bayi mulai terlihat tumbuh gigi, caranya ialah sebagai
berikut : Ketika pagi-pagi hari matahari baru terbit (cahaya matahari baru
terlihat) sang bayi diikutkan melihat cahaya matahari tersebut dari Sanggah Kemulan. Bayi diangkat sedkit
dan ditunjukan agar ia lebih mudah melihat cahaya matahari.Setelah itu bayi
akan dilukat dan diberi tirta oleh Sulinggih.
10.
Upacara Ganti Gigi
Gigi susu tanggal diganti dengan
gigi tetap. Sejak itu si anak dipersiapkan belajar ilmu pengetahuan.
11. Upacara Raja Sewala
(Menek deha / truna menjadi dewasa)
Seorang
anak prempuan dikatakan memasuki masa menek daha / menjadi dewasa, ketika ia
untuk pertama mengalami datang bulan (haid). Saat itu lagi diadakan upakara.
Maksudnya menurut jayayu – tantra, ialah mensyukuri dan menyatakan terima kasih
kepada Sang Hyang Semara – Ratih atas kemurahan-nya menjadikan ia manusia yang
menikmati kesuburan, kecantikan dan kelembutan.
12. Upacara Mepandes ( potong gigi)
Pada
umur 16 tahun, sudah waktunya diadakan upacara potong gigi. Upacara ini dapat
disatukan dengan upacara raja sewala.
Maksud dan tujuan upacara potong gigi ada
tiga :
a.
Secara simbolis, untuk menghilangkan 6
sifat buruk yang disebut sadripu itu yakni : loba – tamak – menipu – suka
dipuji – suka marah, suka menyakiti sesame makhluk dan suka memfitnah;
b.
Melunasi kewajiban orang tua kepada putra
– putrinya. Terutama bagi putrinya karena akan meninggalkan rumah orang tua dan
ikut suami jika menikah, jangan sampai ia masih membawa gigi yang belum
dipotong ( dibersihkan ) kerumah suami.dianggap kurang baik, bila sampai
terjadi anak perempuan tersebut di upacarai dirumah suami.
c.
Ada kepercayaan, bahwa nanti setelah
meninggal, bila orang belum menjalani upacara potong gigi, atmannya dikatakan
menggit bamboo petung, demikian menurut lontar Aji Atma Presangsa. Upacara
bantennya ada berbagai jenis, tergantung dari kemampuan dan menurut kebiasaan
setempat. Yang penting ialah sulinggih memberikan doa dan jaya – jaya, melukat
dan matirtha.
13. Upacara Wiwaha ( upacara
perkawinan)
Perkawinan
( wiwaha) merupakan salah satu tugas hidup manusia dalam tahap grahastha,
mengapa tidak, sebab apabila tidak ada perkawinan, tidak akan ada yang meneruskan
kehidupan manusia yang ada didunia ini dan tidak ada yang melaksanakan dharma
itu, suatu tugas suci dari Sang Hyang Widhi Wasa.
Kitab
Manawa dharmasastra mengatakan, bahwa tugas utama perkawinan itu bertujuan:
a. Melaksanakan
dan mewujudkan Dharma didunia ini, petunjuk dan kehendak Ida Sang Hyang Widhi
Wasa.
b. Praja,
yaitu menurunkan keturunan, laki – laki atau perempuan.
c. Rati,
yaitu menikmati secara fisik, indriya dan spiritual diantara kedua insan selama
hidupnya.
Suami – istri merupakan
perwujudan ardhanareswara – ardhanareswari dalam satu tubuh, separo laki –
laki, separo perempuan; misalnya siwa dengan uma, kama dan ratih, dewa dengan
dewi. Ini menyatakan, bahwa suami istri tersebut merupakan satu kesatuan dalam
kasih mengasih,dalam tujuan, dalam melaksanakan dharma dan dalam berbhakti
kehadapan Hyang Widhi.
Apa sebab demikian ?
Sebab kedua insan tersebut dianugrahi cinta, kasih sayang oleh
Hyang Widhi, sebagai perwujudan kasih sayang-nya kepada semua ciptaan-nya.
Semua yang ada dalam alam
ini hanya ada dan berlangsung berdasarkan cinta kasih-nya yang melimpah.
Oleh Karena itulah,
manusia beruntung diberkati kasih sayang-nya. Dengan demikian manusia diberi
kesempatan untuk merasakan dan menerapkannya dalam hidupnya, bila ingin selamat
/ sentausa lahir dan bathin.
Cinta kasih itulah
hendaknya menjadi pedoman hidup dalam melaksanakan dharma.
Semua usaha untuk
membesarkan putra – putri, menjaga dan menghormati bapak – ibu, para leluhur,
pergaulan dengan sanak saudara, kepada sesama manusia, juga sesame ciptaan-nya
berdasarkan cinta kasih. Namun demikian, dalam mengarungi hidup ini, suami –
istri dihadang penuh godaan, halangan dan cobaan. Tidak sedikit suami – istri
yang kandas ditengah jalan melaksanakan dharma, berdasarkan cinta kasih.
Senantiasalah memperkuat
diri untuk mengatasi semua godaan / cobaan yang menghadang. Secara kemanusiaan
selalu memohon saran petuah dari orang tua, mereka yang mengasihi dan peduli
dengan kita. Dalam semua kehidupan, kususnya dalam keadaan penderitaan yang
sangat dalam, akhirnya berpaling kehadapan Yang Maha Esa, memohon bimbingan dan
petunjuk-nya.
Reg Weda X. 85.23
Sam jaspatyam suyamam astu
dewah
Ya, para dewata, semoga
kehidupan perkawinan kami berbahagia dan tentram
Reg Weda VI. 15. 19.
Asthuri no garhapatyani
santu
Hendaknya hubungan suami
– istri kami tidak putus, berlangsung abadi
Reg Weda X. 85. 47
Samanjantu
visve devah sam apo hrdayani nau
Semoga para dewa dan apah
( Air ) mempersatukan hari kami
Menurut
kitab Manawa Dharmasastra perkawinan ada 8 cara pawiwahan, dari yang paling
ideal sampai yang sangat tercela, sebagai berikut :
1.
Brahma wiwaha, yaitu perkawinan yang
dilakukan dengan memberikan anak gadisnya kepada seorang pria yang dikenal
berbudi luhur dan berpendidikan tinggi. Perkawinan yang memang ideal sekali.
Pihak orang tua sigadis percaya, bahwa anak kesayangannya akan memperoleh
kebahagiaan dan perlindungan lahir batin dari calon menantunya, sebab karakter
si calon menantu sudah dikenal. Tingkat pendidikannya akan memberi kesempatan
menduduki tempat yang baik dimasyarakat.
2.
Daiwa wiwaha ialah perkawinan yang
dilakukan dengan memberikan anak gadisnya kepada seorang pemuda yang dianggap
telah berjasa berbuat kebaikan. Perkawinan ini boleh sama baiknya dengan yang
pertama. Orang tua si gadis percaya sepenuhnya kepada calon menantunya yang
akan melindungi dan menyayangi calon istrinya, sebab calon menantunya sudah
dikenalnya berbuat jasa – jasa yang baik dimasyarakat.
3.
Arsha wiwaha ialah perkawinan yang terjadi
karena suka sama suka diantara kedua mempelai (persetujuan kedua belah pihak).
Perkawinan ini juga dinilai baik, sebab tidak ada paksaan, baik Antara calon
mepelai, maupun antar kedua orang tua.
4.
Prajapatya wiwaha, adalah pihak orang tua
si gadis melepaskannya kepada pria yang telah disetujuinya, disertai doa
berikut : semoga kamu berdua melaksanakan dharmamu bersama – sama. Ini
menunjukan penghargaan kepada calon suami. Perkawinan ini juga dinilai cukup
baik. Orang tua bersikap positif dengan pengharapan agar suami – istri saling
membantu dan bekerja sama dalam membina kerukunan berkeluarga.
5.
Asura wiwaha adalah perkawinan yang
mengharuskan pihak pria memberikan sejumlah uang kepada orang tua si gadis.
Keharusan pihak pria memberikan sejumlah uang kepada orang tua si gadis, dapat
dinilai sebagai unsur paksaan. Sebab bila pihak pria tidak mampu memenuhi
syarat itu, apakah perkawinan harus dibatalkan, sedangkan Antara keduanya sudah
saling mencintai!
Dalam
hal ini kedua pihak hendaknya berusaha mencapai persetujuan demi kebaikan dan
kebahagiaan putra – putri mereka.
6.
Gandharwa wiwaha adalah perkawinan yang
dilakukan atas dasar cinta sama cinta Antara calon mempelai, tetapi pihak orang
tua tidak turut campur, meskipun mereka memaklumi dan mengetahui. Perkawinan
ini dibali dikenal dengan “merangkat” / “ngerorod”. Ada beberapa alasan hal ini
ditempuh. Diantara keluarga besar pihak wanita, mungkin ada yang tidak setuju
dengan si calon suami; mungkin juga untuk menghemat biaya yang harus
dikeluarkan oleh pihak calon suami, bila dilakukan dengan jalan meminang.
Perkawinan
demikian memang atas dasar saling mencintai Antara kedua remaja, tetapi mungkin
tidak memperoleh restu dari pihak kedua orang tua, sebab mereka tidak turut
campur.
7.
Raksasa wiwaha adalah bentuk perkawinan
yang dilakukan dengan paksa, meskipun si wanita tidak mau sampai ia menjerit –
jerit. Mungkin juga terjadi perkelahian antara pihak si gadis dan si pria. Di
bali, perkawinan semacam ini dikenal dengan istilah “melegandang”
Bentuk
perkawinan demikian dinilai buruk sekali, sebab sigadis dipaksa mengikuti si
laki – laki. Ini melanggar tata susila agama, menghina harkat / kedudukan dan
kehormatan wanita.
Dari
segi hukum bentuk perkawinan tersebut melanggar hak azasi manusia (si gadis).
Pihak
keluarga sigadis juga merasa terhina dan diredahkan martabatnya. Dengan
sendirinya mereka akan menuntut bela melalui jalan hukum atau kekerasan.
8.
Paisaca wiwaha adalah bentuk perkawinan
yang dilakukan dengan cara tipu muslihat yang licik seperti dengan membuat si
wanita mabuk / teller sehingga dia tidak sadarkan diri.
Bentuk perkawinan
ini juga sangat tercela, sebab ada unsur penipuan, menyakiti dan melanggar
susila. Semua ini menentang agama, hak azasi manusia dan menghina keluarga dan
keluarga besar sigadis.
Bentuk
perkawinan yang ke 7 dan ke 8 yang ada unsur paksaan, jelas – jelas menodai,
menghina dan melanggar tujuan dan bimbingan Agama dan melarang kedua wiwaha
yang demikian.
Pelaksanaan upacara perkawinan adalah
sebagai berikut :
Pada
zaman modern ini dengan pergaulan yang bebas, membuka kesempatan yang luas bagi
pria dan wanita untuk saling mengenal sifat dan perilaku masing masing. Sering
terjadi, perkenalan dan pergaulan tersebut dilanjutkan dengan perkawinan.
Tata
cara yang makin umum ditempuh pada jaman yang makin maju ini ialah dengan jalan
meminang ( mapadik ), yaitu pihak orang tua pria dengan hormat meminta kepada
orang tua si gadis, sudikah mereka menyerahkan putrinya untuk dipersunting anak
prianya.
Urut – urutan pelaksanaannya adalah
sebagai berikut :
Rinciannya
dapat berbeda dari satu daerah dengan daerah lain., menurut desa kala patra.
Upacaranya juga ada yang utama, madya atau nista ( besar – besaran, sedang atau
kecil, menurut kemampuan ) tetapi hikmahnya sama saja, sebab sudah mengikuti
petunjuk agama. Berikut ini dikemukakan ringkasan urut – urutan perkawinan.
A.
Pemberitahuan Pendahuluan ( ngecub )
Pihak keluarga purusha
(lelaki) mengutus beberapa anggota keluarganya datang ke rumah keluarga
pradhana (gadis ) untuk memberitahukan, bahwa pada hari dan tanggal tertentu
akan datang keluarga pihak pria untuk mengadakan pembicaraan dalam rangka
meminang. Mohon kesediaan pihak keluarga sigadis untuk menerimanya.
Setelah ada kesanggupan
dari pihak keluarga si gadis, tanggal dan hari peminangan ditentukan.
B.
Mempertegas
Pada hari yang
telah disepakati oleh kedua belah pihak, si pria dan bersama orang tua dan
keluarga yang ditokohkan, mengadakan pembicaraan dengan pihak keluarga si
gadis.
Pihak pria membawa serta berbagai bebanten.
Sebelum mereka berangkat, terlebih dahulu mereka harus menghaturkan banten
pejati di merajan / sanggah kawitan, mohon doa restu agar perjalanan meminang
berhasil baik.
Pembicaraan
dimulai dengan menanyakan kesehatan masing – masing, disertai saling
memperkenalkan pihak masing – masing dan beberapa topic lain yang menyenangkan.
Kemudian barulah mengarah pada inti maksud kedatangan rombongan, yaitu meminang
si gadis untuk di persunting oleh si pria.
Yang ditokohkan berbicara adalah
seseorang anggota keluarga pihak purusha
( lelaki ) yang memang fasih dan pandai mengatur pembicaraan, hingga terkesan
simpatik, sopan dan luwes. Pihak keluarga pradhana ( si gadis ) menanggapinya,
yang isinya menyetujui peminangan tersebut, tetapi disertai dengan pesan –
pesan, bahwa gadisnya itu memiliki berbagai kekurangan dan oleh karena itu
mohon dimaklumi saja dan diterima sebagaimana adanya. Bila pembicaraan sudah
disepakati bersama, pihak pria memohon untuk datang lagi dalam acara mabasan
pupur.
C.
Mabasan Pupur
Artinya
ialah pihak keluarga purusha (pria) datang lagi pada hari yang sudah disepakati
keluarga pradana ( gadis ) dengan membawa oleh oleh berbagai barang seperti
alat – alat kecantikan, cincin, kain,sepatu;
juga pakaian lengkap untuk kedua orang tua si gadis, sebagai tanda
terima kasih. Juga dibawa serta berbagai jenis bebanten seperti pejati, canang,
satu wadah berisi buah – buahan, gula, kopi, the, rokok, dan berbagai kue. Yang
juga ikut dalam rombongan lebih banyak lagi, termasuk teman / kenalan dekat.
Sebelum berangkat,
rombongna harus menghaturkan pejati kehadapan para leluhur di pemerajan /
sanggah kemulan, semoga perjalanan menjadi selamat.
D.
Pangambilan ( menjemput si gadis )
Ada
dua kebiasaan, yaitu si gadis dijemput beberapa hari sebelum hari pernikahan
atau pada hari pernikahan, tergantung dari pemilihan hari yang dianggap baik.
Pengambilan tersebut juga disertai berbagai bentuk perlengkapan dan bebanten.
E . Si gadis di rumah
pria
Sebelum masuk kedalam rumah keluarga purusha, terlebih
dahulu dihaturkan segehan dimuka rumah. Maksudnya agar kekuatan – kekuatan yang
negative tidak ikut masuk kedalam rumah. Selanjutnya sulinggih memimpin proses
pawiwahan hingga selesai. Yang juga penting dalam rentetan upacara perkawinan
adalah :
Upacara
Makala – kala (madengen – dengen )
Upacara ini merupakan pembersihan terhadap
kedua mempelai, sekaligus merupakan persaksian kehadapan Hyang Widhi dan
masyarakat. Upacara ini hendaknya sesegera mungkin dilaksanakan. Upacara
mapajati dan natab merupakan kelanjutan dari pembersihan kedua mempelai secara
spiritual. Dalam setiap tahap pelaksanaan upacara mengikuti petunjuk sulinggih
menurut yang di syaratkan oleh agama.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Manusa
Yajna artinya memberikan sedekah
kepada manusia,sejak ia masih dalam kandungan hingga sampai ia menikah.
Sebabnya ialah,setiap manusia telah ketempatan percikan Hyang Widhi yang disebut,Atman.
Maksud
dan tujuan melaksanakan upacara manusa
yajna ialah untuk membersihkan lahir-bathin seseorang,demi kesempurnaan dan
keselamatan hidupnya.Dengan demikian Sang
Hyang Atma yang menempatinya tidak dicemari oleh pikiran,laksana dan
perbuatan badan kasarnya.
Adapun Proses atau rangkai dari upacara janma prakerti/manusa yadnya adalah sebagai berikut :
1.Magedong-gedongan
2.
Rare embas ( Bayi lahir)
3.
Kepus Pungsed (Lepas puser)
4.Roras
rahina (Bayi berumur 12 hari )
5.
Abulan pitung dina (Bayi berumur 42 hari )
6.
Telu bulan (Bayi berumur 3 bulan )
7.
Otonan (Bayi berumur 6 Bulan )
8.
Magetep bok ( Upacara potong rambut)
9.
Ngendagin atau Ngempugin (Upacara Tumbuh gigi)
10.
Upacara ganti gigi
11.
Upacara raja sewala
12.
Upacara Mepandes (Upacara potong gigi)
13.
Upacara Wiwaha (Upacara Perkawianan).
Demikianlah rangkain atau proses
dari upacara janma prakerti tersebut yang harus dilaksanakan oleh setiap umat
manusia yang memeluk agama hindu dimana pun berada untuk dilaksanakan sesuai
dengan ajaran Veda yang benar.
3.2 Saran
Tentunya kami sebagai kelompok pembuat makalah
sangat mengharapkan saran dari temen-temen dan dosen pembimbing mata kuliah ini,
karena kami tau dalam makalah ini masih banyak kekurangan kami,tentunya kami
meminta saran dan pendapat yang positif dan membangun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar