Kamis, 27 April 2017

upacara janma prakerti/manusa yadnya

BAB I
PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang
Setiap manusia yang memeluk agama hindu dimana pun berada pasti akan melaksanakan upacara keagaman sesuai yang telah ditentukan dalam Veda, biarpun tata cara pelaksanaannya yang berbeda-beda namun mempunyai arti dan makna yang sama seperti halnya Tuhan disebut dengan banyak nama oleh orang-rang yang memiliki Jnana. Kita tidak boleh mempersalahkan hal itu.
Didalam makalah ini penulis akan menjelaskan beberapa upacara yang harus dilakukan oleh setiap orang  mulai dari acara Megedong-gedongan sampai dengan acara Pawiwahan, dimana kesemua acara tersebut merupakan ritual yang harus dilaksanakan oleh setiap orang  yang dilahirkan di dunia ini.Tujuan dari upacara keagamaan tersebut tidaklah lain untuk meminta keselamatan dan kerahayuan terhadap orang yang diupacarai itu. Orang yang memuput acara tersebut adalah Sulinggih. Sulinggih sebagai pemuput acara tersebut mendoakan orang tersebut beserta keluarganya agara senatiasa mendapatkan kesehatan,rejeki,kerahayuan dan kerahajenagan, dan senantiasa menjung-jung tinggi dharma.
1.2  Rumusan Masalah
            1. Apakah Pengertian dan makna Upacara Janma Prakerti ?
            2. Bagaimanakah Rangkain atau proses Upacara Janma Prakerti ?  

1.3  Tujuan Penulisan
            1. Mengetahui Pengertian dan makna Upacara Janma Prakerti!
            2. Mengetahui Rangkain atau proses Upacara Janma Prakerti!

1.4    Manfaat Penulisan
      Ada banyak manfaat yang baik dari pembuatan makalah. Jika tidak ada manfaatnya maka tentu saja Sekolah atau instansi sejenisnya tidak akan menuntutnya. Beberapa manfaat antara lain :
1.      Melatih kreatifitas mahasiswa dalam menuangkan gagasan pemikirannya (ide-idenya) tentang suatu kajian atau topik dari ilmu-ilmu yang sudah didalami. Di sini secara tidak langsung penulis juga dilatih untuk menerapkan kemampuan berpikir secara logis-sistematis.
2.      Makalah ini, bukan hanya berguna bagi penulis saja tetapi juga sebagai bahan referensi ilmiah dan sumbangan pengetahuan bagi sekolah, bagi para pembaca tentang apa yang disumbangkan lewat ide penulis melalui makalah tersebut.
3.      Sebagai tuntutan akademik bagi para akademisi yang ingin berpetualang terus dalam dunia pengetahuan dan pendidikan. Dengan hasil makalah, penulis dilatih secara khusus untuk terbiasa menulis atau mengolah sesuatu yang menjadi obyek tulisan.
4.      Melatih berpikir tertib dan teratur karena menulis makalah harus mengikuti tata cara penulisan yang sudah ditentukan prosedur tertentu, metode dan teknik, aturan / kaidah standar, disajikan teratur, runtun dan tertib.
5.      Menumbuhkan etos ilmiah di kalangan mahasiswa, sehingga tidak hanya menjadi konsumen ilmu pengetahuan, tetapi juga mampu menjadi penghasil (produsen) pemikiran dan karya tulis dalam bidang ilmu pengetahuan.













BAB II
PEMBAHASAN
Upacara Janma Prakerti

2.1 Upacara Janma Prakerti / Manusa Yajna
(dari Magedong-gedongan sampai pawiwahan)
Manusa Yajna artinya memberikan sedekah kepada manusia,sejak ia masih dalam kandungan hingga sampai ia menikah. Sebabnya ialah,setiap manusia telah ketempatan percikan Hyang Widhi yang disebut,Atman.
Maksud dan tujuan melaksanakan upacara manusa yajna ialah untuk membersihkan lahir-bathin seseorang,demi kesempurnaan dan keselamatan hidupnya.Dengan demikian Sang Hyang Atma yang menempatinya tidak dicemari oleh pikiran,laksana dan perbuatan badan kasarnya.
2.2. Rangkain Upacara Janma Prakerti / Manusa Yajna tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Magedong-gedongan
Upacara ini dilaksanakan ketika sang bayi masih ada dalam kandungan ibunya (Garbha Wedana), yang lebih dikenal dengan Magedong-gedongan. Secara rohaniah, Magedong-gedongan ini merupakan pembersihan dan pemeliharaan keshatan ibu dan anak,dengan harapan agar anak yang akan lahir nanti menemukan kebahagian dan menjadi anggota masyarakat yang berguna.Kepada si ibu (juga suami),dipesankan agar menghindari perbuatan dan tingkah laku yang kurang baik.Sebaliknya,agar mereka senantiasa melaksanakan hal-hal yang baik dan bermanfaat,sebab tingkah laku/kegemaran mereka bisa berpengaruh kepada si bayi yang akan lahir.
Upacara Magedong-gedongan
            Upacara ini dapat dimulai,ketika janin bayi berumur 5 bulan didalam kandungan sang ibu. Sebelum umur itu jabang bayi belum sempurna. Karena itu ia belum boleh diupacarai.
            LontarKanda Empat Butha (Tjateng,1979) mengatakan,bahwa bayi yang sudah berumur 5 bulan,sudah lengkap menjadi manusia, sudah berambut, berkuping, bermata, berhidung, bermulut, berbahu, berbadan, bertangan, berkaki, bergigi, berperut, berodel, berdagu, berkemaluan, berpantat, berjeriji, dan sudah sempurna isi dada dan perutnya.
            Sejak umur 5 bulan itu Dewatanya adalah Sang Hyang Citragotra Citrobotri diemban oleh Babuktas Bang dan Babu Gundi.Dilindungi oleh Sang Hyang Mandiraksa dan Babu Galungan.
            Ketika bayi berumur 6 bulan di dalam kandungan ibu,keluarlah saudaranya dari kandungan ibundanya yang bernama Babu Lebana lalu nama bayi itu bernama I Larakuranta.
            Ketika janin berumur 7 bulan di dalam kandugan ibunya,dari Bapaknya keluarlah saudaranya yang lain bernama Babu Abra,lalu lain bayi berubah menjadi Sang Hyang Lumut.
Ketika janin berumur 8 bulan dalam kandungan ibunya,keluar saudaranya yang ketiga dari Bapaknya,bernama Babu Kakere. Nama bayi itu berubah menjadi Sang Hyang Kamarenga.
            Ketika itu semua saudara janin itu kasih-mengasihi dirinya,dan makan bersama janin.Ketika janin berumur 9 bulan di dalam kandungan ibunya,sudah waktunya ia lahir.Segerasetelah bayi lahir, ia menangis sejadi-jadinya.Ini namanya mantran peneseh. Semua saudaranya ikut juga meninggalkan kandungan ibunya.
            Upacara magedong-gedongan ada tiga tingkatan, nista, madya dan utama. Dibawah ini yang dikemukakan ialah yang nista.
Untuk pembersihan :
1.      Byakala, terdiri dari dua suku kata ialah bya dan kala. Bya artinya membiayai / membayar, kala artinya mahluk jahat. Jadi Byakala itu membiayai /membayar mahluk jahat, agar jangan mengganggu yang mabyakala itu. Gangguan-gangguan yang dapat menimbulkan kemarahan, kesal, loba, dan sebagainya.Dengan byakala semua sifat-sifat yang demikian disirnakan.
2.      Prayascita, Pengertiannya ialah agar pikiran dan bathin menjadi terang dan bersih.
Untuk Ayaban :
Sesayut tuntunan (pengertiannya ialah menegakkan disiplin dan tidak tergoda).
Pangambyan (menetapkan kehidupan yang bersangkutan).
Peras (menyelesaikan permohonan).
Sodaan dan ketipat (makanan untuk orang yang berkepentingan).
Dapetan (pertemuan bagi yang menjelma) dengan sesayut pamahayu tuwuh, agar jiwa dan tubuh sehat dan panjang umur.
Segehan (ditaruh dibawah) untuk kekuatan-kekuatan yang merusak atau mengganggu.
Tamas sesayut (tempat untuk sesayut dibuat dari anyaman daun kelapa yang masih hijau).
Raka-raka selengkapnya :
Nasinya : satu buah tumpeng kuning,kojong rangkadan,ayam panggang.
Sampyannya : sedah who, nagasari, sesedep,wadah uyah,panyeneng, canang,pabersihan payasan.
Tata cara magedong-gedongan
            Biasanya dilakukan didalam kamar mandi (buat pemandian darurat). Terlebih dahulu ibu hamil tersebut dibyakala dan diprayascita. Di hadapan sanggah kemulan ditaruh upakara sebagai berikut :
            Benang hitam 1 tukal yang kedua ujungnya diikatkan pada cabang-cabang kayu dapdap, sebatang bambu runcing,daun kumbang diisi air dan ikan sawah yang masih hidup (belut,nyalian,dan ketam),ceraken dibungkus dengan kain yang baru.
Pelaksanaan Upakara
            Kedua cabang kayu dapdap yang telah terikat tadi ditancapkan pada pintu gerbang / arah benang agar menuju pintu gerbang. Sang istri menjungjung ceraken tersebut, tangan kanan menjung-jung daun kumbang yang berisi air dan ikan itu.Sang suami,tangan kirinya memegang benang dn tangan kanan memegang gelanggang (bamboo runcing) tadi. Setelah itu banten segehan diaturkan di tanah untuk para bhuta kala agar tidak menggoda. Kemudian sang suami berjalan serta memegang gelanggang sambil terus menusuk daun kumbang yang berisi air hingga ikannya keluar. Kemudian kedua suami istri malukat. Setelah itu keduanya bersembahyang lalu natab bebantenan ayaban, mohon agar kandugannya sampai dengan melahirkan dalam keadaan selamat sentausa.
Mantram untuk bebanten pagedong-gedongan adlah sebagai berikut :
“Om Sang Hyang Paduka Ibu Pertiwi, Bhatari Gyatri,Bhatari Sawitri,Bhatari Suparni, Bhatari Wastu, Bhatari Kedep,Bhatari Angukuhi,Bhatari Krendang Kasih, Bhatari Kamanjaya,Kamaratih, mekadi pukulun Hyang Widyadara-Widyadari, Hyang Kuranta-Kuranti,Samadaya,iki tadah saji aturan manusa iris i “………………………”.
Ajakan sarowangun ira amangan anginum,menawi ana kirangan kaluputan ipun dan agung ampuranen manusa nira, mangka ulun aminta nugraha ring sira samua aja sira angedongin,angancingin,muang anyangka-len, awakakena lanangira selacak dana uwakakena den alon sepungana nira anak-anak andepun dena pekik dirgayusa weta urip tan ana saminaksan ipun, Om Sidhi Rastu Swaha”.
2.      Rare Embas (Bayi Lahir).
Dibuatkan upakara penjemput bayi.
            Bayi dibersihkan terlebih dahulu dimandikan,kemudian ari-arinya (plasenta) dipisahkan, juga dibersihkan,ditaruh didalam buah kelapa yang dibelah dua. Belahan atas kelapa tersebut ditulisi Ongkara yang dibelahan bawah ditulisi huruf Ongkara,Angkara dan Ahkara. Bersama-sama dengan ari-ari tadi, juga dimasukkan kertas bersurat rerajahan, OM tabya pukulun.
            Juga dimasukkan duri-duri,isi ceraken,anget-anget,bunga-bunga harum serta minyak wangi.Kelapa dijadikan satu (belahannya dikatupkan/ditutupkan) dibungkus dengan kain putih, lalu dikubur. Bila bayi perempuan dikubur disebelah kiri pintu keluar.Ketika menguburkan disertakan mantram : Om Sang Hyang Ibu Pertiwi rumaga bayu, rumaga amrta sanjiwani,amertani ikang sarwa tumuwuh “………………” (Nama bayi), moga dirgha yusa poma” (mantram diucapkan tiga kali).
            Ketika menutup dengan tanah juga ditanam bamboo kecil(buluh) tegak lurus hingga pangkalnya menyentuh kelapa dan ujung atasnya lebih tinggi dari permukaan tanah. Gunanya ialah bila menyiramkan air, kelapa tersebut juga terkena air. Di samping buluh itu ditaruh batu yang gepeng, disiram dengan air satu gayung.Di sebelah bawah batu bata itu ditanamkan pandan wong,diatas batu ditaruh  bebantenan,terdiri dari nasi empat kepel beralaskan daun dapdap diberi garam dengan areng (uyah areng).
            Di sebelah tetanaman ari-ari tersebut ditaruhi api (baleman) berikut juga daun pandan serta di tancapkan sanggar. Pada sanggar tersebut digantungkan sebuah lampu. Diatas batu dan di sanggar setiap hari ditaruh bunga yang harum.
Beberapa pengertian :
            Ari-ari (plasenta) tersebut disamakan dengan jenasah, baleman itu diartikan api untuk membakar, lampu yang digantung diartikan dengan angenan.Sanggar itu artinya Prajapati dan bayi adalah Atman.Lamanya membakar  ialah 42 hari. Sekurang-kurangnya tiga hari. Baleman itu dinyalakan pada malam hari. Bila tidak demikian, dianggap,bahwa jenazah tersebut tidak terbakar.
3.      Kepus Pungsed (Lepas Puser)
Bagaiman upakaranya?
            Mohonkan Pretiti, yaitu tanggal lahir menurut saptawara,triwara,dan ukunya.Bayi juga dibuatkan pasikepan yang disebut kakambuh. Dibuatkan plangkiran,tempat bersemayamnya Sang Hyang Kumara, digantungkan diatas tempat tidur bayi.Di buatkan juga sanggah kecil ditancapkan di samping ari-ari ditanam.Adalagi palinggih sang satwa-yoni. Disana dimohonkan air Panglukatan untuk ngalukat (membersihkan) saudara bayi yang empat itu. Ini disebut Panglepas Awon, artinya menghilangkan kekotaran. Sebabnya adalah sebagai berikut: Yang disebut saudara bayi empat itu adalah darah (getih), plasenta (ari-ari), lamas (selaput dari lemak tipis pembungkus janin), dan air ketuban (yeh nyom) yang menjaga dan melindungi sang bayi ketika bayi masih ada di dalam kandung. Keempatnya ikut keluar ketika bayi lahir ke bumi.
            Maksud melepas awon tersebut ialah menghilangkan kekotoran yang masih melekat pada keempat saudaranya itu.Sebab saudara bayi itu ikut lahir adalah sebagai berikut : Ketika sanga bayi masih ada di dalam kandungan, Sang Hyang Guru memberitahukan kepada bayi tersebut, bahwa sudah waktunya ia harus lahir.Sang bayi menjadi sangat sedih sebab ia tidak mengetahui jalan keluar.Kemudian ia membuat perjanjian dengan saudara-saudaranya yang empat itu bahwa mereka akan membantu dan menunjukkan jalan keluar dengan janji bahwa sang bayi tidak akan melupakan mereka dan bahwa ia memang bersaudara dengan yang empat itu selama-lamanya hingga maut menjemputnya.
            Keempat saudara bayi tersebut menuntun bayi keluar ada yang membukakan ada yang menuntun dari kiri-kanan dan ada yang  mengantarkan dari belakang. Pusar bayi itu ditempatkan pada kulit ketupat kukur diberi anget-anget digantungkan diarah kaki bayi tidur (teben) diembatkan kain,gelang,bunga emas,dan cincin merah.
4.      Roras Raina ( Bayi berumur 12 hari)
Waktu bayi berumur 12 hari dibuatkan upakara yaitu dengan memohonkan tirtha panglukatan untuk ngalukat Sang Catur Sanak ( empat saudara si bayi). Setelah Malukat (dibersihkan) Sang Catur Sanak tersebut berganti nama menjadi Anggapati, Rajapati, Banaspati, dan Banaspati Raja. Dengan demikian sesuai dengan maksud upacara 12 hari tersebut kedudukan dan letak Atmannya sang bayi menjadi kuat.
5.      Abulan Pitung Dina ( Bayi berumur 42 hari)
(Satu bulan (35 hari) + 7 hari = 42 hari )
            Pada umur ini sudah waktunya bayi memutuskan kakambuh, Jadi tidak lagi memakai kakambuh. Di bali bayi ini disebut telah tutug kambuhan ,sibayi sudah dibersihkan diri secara spiritual yaitu malukat dan matirta oleh Sulinggih. Dengan demikian juga keempat saudar-saudaranya.
6.      Telu Bulan (Bayi berumur 3 bulan )
(Tigang sasih = tiga bulan = 3 x 35 hari )
            Upakaranya adalah sebagai berikut : Sang Sulinggih mendoakan (ngalukat) bayi tersebut dengan disaksikan oleh Dewa-Dewi.Saat itulah bayi memohon izin kehadapan Bhatara Siwa Aditya untuk dibolehkan memakai perhiasan dari emas dan permata. Keempat saudaranya juga ikut dilukat. Setelah itu mereka berganti nama menjadi Sang Malipa, Malipi, Bapa Bajang,dan Babu Bajang.
7.      Otonan (Bayi berumur 6 bulan )
(Awetuan,yaitu 6 x 35 hari )
            Bayi lagi-lagi dilukat oleh Sulinggih agar bersih serta dimohonkan izin kepada Pertiwi agar ia tidak dapat halangan, sebab untuk pertama kali ia akan ,enginjak tanah (tedak siti) dan sejak itu ia menikmati kehidupan dari apa yang diberikan oleh Ibu Pertiwi. Demikian juga keempat saudaranya ikut lagi dilukat dan lagi berganti nama menjadi Sang Gargha,Sang Merti, Sang Kurusya, Sang Pretanjala dan dengan Sulinggih mereka pulang ke tempatnya masing-masing.
8.      Magetep Bok (Upacara Potong Rambut)
Upacara potong rambut ini adayang disatukan dengan upacara bayi berumur satu oton. Ada juga kebiasaan upacara potong rambut itu tidak bersamaan dengan hari otonan.Bila demikian dicarikan hari tersendiri,maksud upacara potong rambut sama seperti diatas yaitu menghilangkan “mala” yang berasal dari bulu.
9.      Ngendagin atau Ngempugin  ( Upacara tumbuh gigi )
Upacara ini dilakukan ketika bayi mulai terlihat tumbuh gigi, caranya ialah sebagai berikut : Ketika pagi-pagi hari matahari baru terbit (cahaya matahari baru terlihat) sang bayi diikutkan melihat cahaya matahari tersebut dari Sanggah Kemulan. Bayi diangkat sedkit dan ditunjukan agar ia lebih mudah melihat cahaya matahari.Setelah itu bayi akan dilukat dan diberi tirta oleh Sulinggih.
       10. Upacara Ganti Gigi
            Gigi susu tanggal diganti dengan gigi tetap. Sejak itu si anak dipersiapkan belajar ilmu pengetahuan.

        11. Upacara Raja Sewala
            (Menek deha / truna menjadi dewasa)
            Seorang anak prempuan dikatakan memasuki masa menek daha / menjadi dewasa, ketika ia untuk pertama mengalami datang bulan (haid). Saat itu lagi diadakan upakara. Maksudnya menurut jayayu – tantra, ialah mensyukuri dan menyatakan terima kasih kepada Sang Hyang Semara – Ratih atas kemurahan-nya menjadikan ia manusia yang menikmati kesuburan, kecantikan dan kelembutan.



       12. Upacara Mepandes ( potong gigi)
            Pada umur 16 tahun, sudah waktunya diadakan upacara potong gigi. Upacara ini dapat disatukan dengan upacara raja sewala.
Maksud dan tujuan upacara potong gigi ada tiga :
a.       Secara simbolis, untuk menghilangkan 6 sifat buruk yang disebut sadripu itu yakni : loba – tamak – menipu – suka dipuji – suka marah, suka menyakiti sesame makhluk dan suka memfitnah;
b.      Melunasi kewajiban orang tua kepada putra – putrinya. Terutama bagi putrinya karena akan meninggalkan rumah orang tua dan ikut suami jika menikah, jangan sampai ia masih membawa gigi yang belum dipotong ( dibersihkan ) kerumah suami.dianggap kurang baik, bila sampai terjadi anak perempuan tersebut di upacarai dirumah suami.
c.       Ada kepercayaan, bahwa nanti setelah meninggal, bila orang belum menjalani upacara potong gigi, atmannya dikatakan menggit bamboo petung, demikian menurut lontar Aji Atma Presangsa. Upacara bantennya ada berbagai jenis, tergantung dari kemampuan dan menurut kebiasaan setempat. Yang penting ialah sulinggih memberikan doa dan jaya – jaya, melukat dan matirtha.

           13. Upacara Wiwaha ( upacara perkawinan)
            Perkawinan ( wiwaha) merupakan salah satu tugas hidup manusia dalam tahap grahastha, mengapa tidak, sebab apabila tidak ada perkawinan, tidak akan ada yang meneruskan kehidupan manusia yang ada didunia ini dan tidak ada yang melaksanakan dharma itu, suatu tugas suci dari Sang Hyang Widhi Wasa.
            Kitab Manawa dharmasastra mengatakan, bahwa tugas utama perkawinan itu bertujuan:
a.       Melaksanakan dan mewujudkan Dharma didunia ini, petunjuk dan kehendak Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
b.      Praja, yaitu menurunkan keturunan, laki – laki atau perempuan.
c.       Rati, yaitu menikmati secara fisik, indriya dan spiritual diantara kedua insan selama hidupnya.
Suami – istri merupakan perwujudan ardhanareswara – ardhanareswari dalam satu tubuh, separo laki – laki, separo perempuan; misalnya siwa dengan uma, kama dan ratih, dewa dengan dewi. Ini menyatakan, bahwa suami istri tersebut merupakan satu kesatuan dalam kasih mengasih,dalam tujuan, dalam melaksanakan dharma dan dalam berbhakti kehadapan Hyang Widhi.
Apa sebab demikian ?
     Sebab kedua insan tersebut dianugrahi cinta, kasih sayang oleh Hyang Widhi, sebagai perwujudan kasih sayang-nya kepada semua ciptaan-nya.
Semua yang ada dalam alam ini hanya ada dan berlangsung berdasarkan cinta kasih-nya yang melimpah.
Oleh Karena itulah, manusia beruntung diberkati kasih sayang-nya. Dengan demikian manusia diberi kesempatan untuk merasakan dan menerapkannya dalam hidupnya, bila ingin selamat / sentausa lahir dan bathin.
Cinta kasih itulah hendaknya menjadi pedoman hidup dalam melaksanakan dharma.
Semua usaha untuk membesarkan putra – putri, menjaga dan menghormati bapak – ibu, para leluhur, pergaulan dengan sanak saudara, kepada sesama manusia, juga sesame ciptaan-nya berdasarkan cinta kasih. Namun demikian, dalam mengarungi hidup ini, suami – istri dihadang penuh godaan, halangan dan cobaan. Tidak sedikit suami – istri yang kandas ditengah jalan melaksanakan dharma, berdasarkan cinta kasih.
Senantiasalah memperkuat diri untuk mengatasi semua godaan / cobaan yang menghadang. Secara kemanusiaan selalu memohon saran petuah dari orang tua, mereka yang mengasihi dan peduli dengan kita. Dalam semua kehidupan, kususnya dalam keadaan penderitaan yang sangat dalam, akhirnya berpaling kehadapan Yang Maha Esa, memohon bimbingan dan petunjuk-nya.

Reg Weda X. 85.23

     Sam jaspatyam suyamam astu dewah

Ya, para dewata, semoga kehidupan perkawinan kami berbahagia dan tentram

Reg Weda VI. 15. 19.

     Asthuri no garhapatyani santu

Hendaknya hubungan suami – istri kami tidak putus, berlangsung abadi

Reg Weda X. 85. 47

Samanjantu visve devah sam apo hrdayani nau

Semoga para dewa dan apah ( Air ) mempersatukan hari kami

            Menurut kitab Manawa Dharmasastra perkawinan ada 8 cara pawiwahan, dari yang paling ideal sampai yang sangat tercela, sebagai berikut :
1.      Brahma wiwaha, yaitu perkawinan yang dilakukan dengan memberikan anak gadisnya kepada seorang pria yang dikenal berbudi luhur dan berpendidikan tinggi. Perkawinan yang memang ideal sekali. Pihak orang tua sigadis percaya, bahwa anak kesayangannya akan memperoleh kebahagiaan dan perlindungan lahir batin dari calon menantunya, sebab karakter si calon menantu sudah dikenal. Tingkat pendidikannya akan memberi kesempatan menduduki tempat yang baik dimasyarakat.
2.      Daiwa wiwaha ialah perkawinan yang dilakukan dengan memberikan anak gadisnya kepada seorang pemuda yang dianggap telah berjasa berbuat kebaikan. Perkawinan ini boleh sama baiknya dengan yang pertama. Orang tua si gadis percaya sepenuhnya kepada calon menantunya yang akan melindungi dan menyayangi calon istrinya, sebab calon menantunya sudah dikenalnya berbuat jasa – jasa yang baik dimasyarakat.
3.      Arsha wiwaha ialah perkawinan yang terjadi karena suka sama suka diantara kedua mempelai (persetujuan kedua belah pihak). Perkawinan ini juga dinilai baik, sebab tidak ada paksaan, baik Antara calon mepelai, maupun antar kedua orang tua.
4.      Prajapatya wiwaha, adalah pihak orang tua si gadis melepaskannya kepada pria yang telah disetujuinya, disertai doa berikut : semoga kamu berdua melaksanakan dharmamu bersama – sama. Ini menunjukan penghargaan kepada calon suami. Perkawinan ini juga dinilai cukup baik. Orang tua bersikap positif dengan pengharapan agar suami – istri saling membantu dan bekerja sama dalam membina kerukunan berkeluarga.
5.      Asura wiwaha adalah perkawinan yang mengharuskan pihak pria memberikan sejumlah uang kepada orang tua si gadis. Keharusan pihak pria memberikan sejumlah uang kepada orang tua si gadis, dapat dinilai sebagai unsur paksaan. Sebab bila pihak pria tidak mampu memenuhi syarat itu, apakah perkawinan harus dibatalkan, sedangkan Antara keduanya sudah saling mencintai!
Dalam hal ini kedua pihak hendaknya berusaha mencapai persetujuan demi kebaikan dan kebahagiaan putra – putri mereka.
6.      Gandharwa wiwaha adalah perkawinan yang dilakukan atas dasar cinta sama cinta Antara calon mempelai, tetapi pihak orang tua tidak turut campur, meskipun mereka memaklumi dan mengetahui. Perkawinan ini dibali dikenal dengan “merangkat” / “ngerorod”. Ada beberapa alasan hal ini ditempuh. Diantara keluarga besar pihak wanita, mungkin ada yang tidak setuju dengan si calon suami; mungkin juga untuk menghemat biaya yang harus dikeluarkan oleh pihak calon suami, bila dilakukan dengan jalan meminang.
Perkawinan demikian memang atas dasar saling mencintai Antara kedua remaja, tetapi mungkin tidak memperoleh restu dari pihak kedua orang tua, sebab mereka tidak turut campur.
7.      Raksasa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan paksa, meskipun si wanita tidak mau sampai ia menjerit – jerit. Mungkin juga terjadi perkelahian antara pihak si gadis dan si pria. Di bali, perkawinan semacam ini dikenal dengan istilah “melegandang”
Bentuk perkawinan demikian dinilai buruk sekali, sebab sigadis dipaksa mengikuti si laki – laki. Ini melanggar tata susila agama, menghina harkat / kedudukan dan kehormatan wanita.
Dari segi hukum bentuk perkawinan tersebut melanggar hak azasi manusia (si gadis).
Pihak keluarga sigadis juga merasa terhina dan diredahkan martabatnya. Dengan sendirinya mereka akan menuntut bela melalui jalan hukum atau kekerasan.
8.      Paisaca wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan cara tipu muslihat yang licik seperti dengan membuat si wanita mabuk / teller sehingga dia tidak sadarkan diri.
Bentuk perkawinan ini juga sangat tercela, sebab ada unsur penipuan, menyakiti dan melanggar susila. Semua ini menentang agama, hak azasi manusia dan menghina keluarga dan keluarga besar sigadis.
            Bentuk perkawinan yang ke 7 dan ke 8 yang ada unsur paksaan, jelas – jelas menodai, menghina dan melanggar tujuan dan bimbingan Agama dan melarang kedua wiwaha yang demikian.
Pelaksanaan upacara perkawinan adalah sebagai berikut :
            Pada zaman modern ini dengan pergaulan yang bebas, membuka kesempatan yang luas bagi pria dan wanita untuk saling mengenal sifat dan perilaku masing masing. Sering terjadi, perkenalan dan pergaulan tersebut dilanjutkan dengan perkawinan.
            Tata cara yang makin umum ditempuh pada jaman yang makin maju ini ialah dengan jalan meminang ( mapadik ), yaitu pihak orang tua pria dengan hormat meminta kepada orang tua si gadis, sudikah mereka menyerahkan putrinya untuk dipersunting anak prianya.

Urut – urutan pelaksanaannya adalah sebagai berikut :
            Rinciannya dapat berbeda dari satu daerah dengan daerah lain., menurut desa kala patra. Upacaranya juga ada yang utama, madya atau nista ( besar – besaran, sedang atau kecil, menurut kemampuan ) tetapi hikmahnya sama saja, sebab sudah mengikuti petunjuk agama. Berikut ini dikemukakan ringkasan urut – urutan perkawinan.


A. Pemberitahuan Pendahuluan ( ngecub )
Pihak keluarga purusha (lelaki) mengutus beberapa anggota keluarganya datang ke rumah keluarga pradhana (gadis ) untuk memberitahukan, bahwa pada hari dan tanggal tertentu akan datang keluarga pihak pria untuk mengadakan pembicaraan dalam rangka meminang. Mohon kesediaan pihak keluarga sigadis untuk menerimanya.
Setelah ada kesanggupan dari pihak keluarga si gadis, tanggal dan hari peminangan ditentukan.

B. Mempertegas
            Pada hari yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, si pria dan bersama orang tua dan keluarga yang ditokohkan, mengadakan pembicaraan dengan pihak keluarga si gadis.
Pihak pria membawa serta berbagai bebanten. Sebelum mereka berangkat, terlebih dahulu mereka harus menghaturkan banten pejati di merajan / sanggah kawitan, mohon doa restu agar perjalanan meminang berhasil baik.
            Pembicaraan dimulai dengan menanyakan kesehatan masing – masing, disertai saling memperkenalkan pihak masing – masing dan beberapa topic lain yang menyenangkan. Kemudian barulah mengarah pada inti maksud kedatangan rombongan, yaitu meminang si gadis untuk di persunting oleh si pria.
Yang ditokohkan berbicara adalah seseorang  anggota keluarga pihak purusha ( lelaki ) yang memang fasih dan pandai mengatur pembicaraan, hingga terkesan simpatik, sopan dan luwes. Pihak keluarga pradhana ( si gadis ) menanggapinya, yang isinya menyetujui peminangan tersebut, tetapi disertai dengan pesan – pesan, bahwa gadisnya itu memiliki berbagai kekurangan dan oleh karena itu mohon dimaklumi saja dan diterima sebagaimana adanya. Bila pembicaraan sudah disepakati bersama, pihak pria memohon untuk datang lagi dalam acara mabasan pupur.


C. Mabasan Pupur
            Artinya ialah pihak keluarga purusha (pria) datang lagi pada hari yang sudah disepakati keluarga pradana ( gadis ) dengan membawa oleh oleh berbagai barang seperti alat – alat kecantikan, cincin, kain,sepatu;  juga pakaian lengkap untuk kedua orang tua si gadis, sebagai tanda terima kasih. Juga dibawa serta berbagai jenis bebanten seperti pejati, canang, satu wadah berisi buah – buahan, gula, kopi, the, rokok, dan berbagai kue. Yang juga ikut dalam rombongan lebih banyak lagi, termasuk teman / kenalan dekat.
Sebelum berangkat, rombongna harus menghaturkan pejati kehadapan para leluhur di pemerajan / sanggah kemulan, semoga perjalanan menjadi selamat.

D. Pangambilan ( menjemput si gadis )
            Ada dua kebiasaan, yaitu si gadis dijemput beberapa hari sebelum hari pernikahan atau pada hari pernikahan, tergantung dari pemilihan hari yang dianggap baik. Pengambilan tersebut juga disertai berbagai bentuk perlengkapan dan bebanten.

E . Si gadis di rumah pria
            Sebelum masuk kedalam rumah keluarga purusha, terlebih dahulu dihaturkan segehan dimuka rumah. Maksudnya agar kekuatan – kekuatan yang negative tidak ikut masuk kedalam rumah. Selanjutnya sulinggih memimpin proses pawiwahan hingga selesai. Yang juga penting dalam rentetan upacara perkawinan adalah :

Upacara Makala – kala (madengen – dengen )
             Upacara ini merupakan pembersihan terhadap kedua mempelai, sekaligus merupakan persaksian kehadapan Hyang Widhi dan masyarakat. Upacara ini hendaknya sesegera mungkin dilaksanakan. Upacara mapajati dan natab merupakan kelanjutan dari pembersihan kedua mempelai secara spiritual. Dalam setiap tahap pelaksanaan upacara mengikuti petunjuk sulinggih menurut yang di syaratkan oleh agama.


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Manusa Yajna artinya memberikan sedekah kepada manusia,sejak ia masih dalam kandungan hingga sampai ia menikah. Sebabnya ialah,setiap manusia telah ketempatan percikan Hyang Widhi yang disebut,Atman.
Maksud dan tujuan melaksanakan upacara manusa yajna ialah untuk membersihkan lahir-bathin seseorang,demi kesempurnaan dan keselamatan hidupnya.Dengan demikian Sang Hyang Atma yang menempatinya tidak dicemari oleh pikiran,laksana dan perbuatan badan kasarnya.
Adapun  Proses atau rangkai dari upacara janma prakerti/manusa yadnya adalah sebagai berikut :
1.Magedong-gedongan
2. Rare embas ( Bayi lahir)
3. Kepus Pungsed (Lepas puser)
4.Roras rahina (Bayi berumur 12 hari )
5. Abulan pitung dina (Bayi berumur 42 hari )
6. Telu bulan (Bayi berumur 3 bulan )
7. Otonan (Bayi berumur 6 Bulan )
8. Magetep bok ( Upacara potong rambut)
9. Ngendagin atau Ngempugin (Upacara Tumbuh gigi)
10. Upacara ganti gigi
11. Upacara raja sewala
12. Upacara Mepandes (Upacara potong gigi)
13. Upacara Wiwaha (Upacara Perkawianan).
            Demikianlah rangkain atau proses dari upacara janma prakerti tersebut yang harus dilaksanakan oleh setiap umat manusia yang memeluk agama hindu dimana pun berada untuk dilaksanakan sesuai dengan ajaran Veda yang benar.

3.2 Saran
            Tentunya kami sebagai kelompok pembuat makalah sangat mengharapkan saran dari temen-temen dan dosen pembimbing mata kuliah ini, karena kami tau dalam makalah ini masih banyak kekurangan kami,tentunya kami meminta saran dan pendapat yang positif dan membangun.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar